Konferensi Nasional Perempuan Indonesia yang diadakan di Jakarta, 12-14 Desember, resmi dibuka. Konferensi yang membahas persoalan-persoalan perempuan, diharapkan pihak panitia penyelenggara bisa menghasilkan solusi atas permasalahan tersebut.
Salah satu permasalahan yang dibahas dalam konferensi tersebut adalah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Secara tidak langsung, kenaikan harga BBM berdampak besar bagi kaum perempuan. Pasalnya, perempuan juga menjalani perannya sebagai ibu rumah tangga. Peran tersebut mengharuskan perempuan mengelola pengeluaran yang tidak sedikit akibat naiknya bahan pangan dan kebutuhan rumah tangga setelah naiknya harga BBM.
Pada pembukaan konferensi, Ketua Panitia Pengarah, Siti Roebaidah, juga mengungkapkan kesulitan yang dialami perempuan akibat kenaikan harga BBM. Kenaikan harga BBM dalam dampak besarnya bisa berakibat pengekangan terhadap perempuan. Karena dengan pendapatan minim tersebut, perempuan kelas menengah ke bawah secara tidak langsung dipaksa bekerja.
“Kenaikan BBM berimbas pada perempuan, karena semua harga naik, listrik naik, air naik, bahan pangan naik, dll,” ungkap Siti.
Kenaikan BBM memungkinkan industri tidak berkembang dengan baik dan berimbas pada PHK buruh. Dampak selanjutnya adalah jumlah pengangguran meningkat. Pemutusan hubungan kerja pada pekerja yang mayoritas laki-laki (sebagai penanggung jawab nafkah keluarga) mengakibatkan para ibu dituntut aktif bekerja mencari penghasilan di luar rumah untuk membantu suami mereka.
Di Indonesia, jutaan perempuan terpaksa masuk dunia kerja dengan menjadi buruh industri, pertanian, dan sisanya masuk dalam sektor perdagangan. Juga terdapat jutaan buruh perempuan yang menjadi TKW di luar negeri. Risiko eksploitasi, penganiayaan, pelecehan seksual, perlakuan tidak layak, bahkan dibunuh, harus dihadapi.
Panitia konferensi nasional perempuan indonesia telah mendata beberapa gambaran masalah dan ketidakadilan yang dialami perempuan. Contohnya dalam bidang pekerjaan, jumlah perempuan yang bekerja hanya 39 persen, dan sepertiganya merupakan pekerjaan keluarga yang secara ekonomi tidak mendapatkan imbalan jasa.
Keterpaksaan perempuan untuk bekerja sebagai buruh juga merupakan salah satu akibat kenaikan BBM. Padahal, upah buruh perempuan lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki, yaitu hanya sekitar 77,8 persen dari upah yang diterima laki-laki.
Jika permasalahan tersebut belum terselesaikan, sampai kapanpun kaum perempuan belum dianggap merdeka. Hal ini juga diungkapkan oleh Ketua Pelaksana Konferensi Nasional Perempuan Indonesia, Ulfa Ilyas. Menurutnya, kebebasan perempuan adalah bagian dari kebebasan nasional.
“Tidak ada kebebasan nasional tanpa kebebasan perempuan,” ujar Ulfa.
Sumber: http://citizendaily.net/ketua-panitia-konferensi-nasional-perempuan-indonesia-tidak-ada-kebebasan-nasional-tanpa-kebebasan-perempuan/
Terkait
79 Tahun Merdeka: Puan, Stop Sandera RUU PPRT
Tepatilah Janji, Film sebagai Media Sosialisasi Pilkada 2024
Ultah ke-30, AJI Tetap Melawan di Tengah Disrupsi Media dan Menguatnya Otoritarianisme