20 April 2024

Kembalinya Gerakan Perempuan dalam Panggung Nasional (4/5)

0Shares

Ketika terjadi gerakan reformasi melawan tirani Soeharto, mulailah muncul bentuk-bentuk perjuangan perempuan progresif. Bahkan, organisasi gerakan perempuan merupakan salah satu organisasi yang pertama kali turun ke jalan di tahun 1998. Mereka melakukan demonstrasi memprotes rezim otoriter Orde Baru yang melakukan pemusatan kekuasaan dalam hampir semua aspek kehidupan. Berbekal kekuatan jaringan dan keterampilan dalam membangun strategi yang terlatih, mereka menghimpun diri dalam suatu organisasi bernama Suara Ibu Peduli. Organisasi ini semula bertujuan untuk mendistribusikan susu yang pada saat itu harganya naik hingga 400 persen, padahal susu sangat dibutuhkan sebagai nutrisi baik bagi anak maupun bagi ibu-ibu. Dengan isu ‘susu’ tersebut, simpati dari banyak ibu tumbuh karena memiliki kebutuhan yang sama dan mereka bergabung dalam organisasi tersebut. Organisasi ini dalam perkembangannya tidak hanya berfungsi mendistribusikan susu, tetapi juga membagi-bagi makanan kepada para demonstran, terutama untuk para mahasiwa, baik di jalan-jalan utama maupun di gedung parlemen.

Sebelumnya, tiga hari menjelang Presiden Soeharto turun, berdiri pula Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi (KPI). Organisasi ini didirikan atas inisiatif para aktivis perempuan di Jakarta dan didukung kurang lebih 75 aktifis perempuan lainnya dari berbagai tempat di tanah air sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintah Orde Baru. Sampai saat itu orba mengendalikan secara cermat dan sistematis organisasi-organisai perempuan ketika itu seperti Kowani, Dharma Wanita, Dharma Pertiwi, Aisyiah, Muslimat NU dan organisasi-organisasi lainnya. Kelahiran organisasi ini didasarkan pada semangat hendak mengembalikan keberadaan organisasi gerakan perempuan berbasis massa independen tanpa kendali negara. Karena itu, untuk mengingatkan peran sejarah peran gerakan perempuan ini, kongres pertama dilakukan di Yogyakarta, tempat Kongres Pertama Perkumpulan Pergerakan Perempuan Indonesia pada tahun 1928 diadakan. Kongres ini menghadirkan kurang lebih dari 500 orang dari pelbagai latar belakang organisasi perempuan dari seluruh Indonesia dengan menegaskan perlunya mengetengahkan kembali peran politik perempuan yang lebih luas, baik dalam ranah domestik maupun publik.

Disaat teridentifikasi bahwa banyak perempuan yang mengalami perkosaan pada peristiwa Mei 1998, sejumlah perempuan mendatangi presiden baru BJ Habibie untuk menyampaikan bahwa negara harus bertanggung jawab terhadap kekerasan pada perempuan yang berlangsung pada Mei 1998 tersebut. Dari kunjungan terhadap presiden tersebut, berdirilah Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dengan mandat utama dari presiden adalah menciptakan situasi yang kondusif untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan, melakukan pemantauan atasnya dan memberi masukan kepada para pengambil kebijakan untuk memastikan bahwa setiap kebijakan tidak diskriminatif yang berdampak kekerasan terhadap perempuan.

Di Era Reformasi ini mereka melakukan konsolidasi gerakan dan menggolkan perbagai peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) di tahun 2004, mendesakkan kebijakan Instruksi Presiden (Inpres) No.9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan yang hendak mewujudkan bahwa semua departemen pemerintah, termasuk birokrasi di daerah harus memberlakukan pengarusutamaan gender dengan penekanannya pada program penguatan institusi. Ide-ide gerakan perempuan pun tidak hanya mewarnai beragam aturan dan kebijakan, tetapi juga mendorong tumbuh dan berkembangnya organisasi-organisasi gerakan perempuan dalam kelompok civil cociety. Organisasi-organisasi tersebut misalnya Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), Migrant Care, KAPAL Perempuan.

Orgaisasi perempuan juga tumbuh subur di lingkungan Islam, antara lain: Rahima, Fahmina, Lembga Kajian Islam dan Sosial (LKIS). Organisasi-organisasi gerakan perempuanpun tumbuh dan berkembang di pelbagai daerah di Indonesia, seperti SAPA Institut dan Institut Perempuan di Bandung, Legal Research Center untuk Keadilan Gender dan Hak Asasi Manusia (LRCKJHAM) di Semarang, Nurani Perempuan di Padang, Sumatera Barat, DPIA (Duek Pakat Inong Aceh) dan Inong Bale di Aceh, Suara Parangpuan di Mando, Lembaga Pemberdayaan Perempuan (LPP) di Bone, Sulawesi Utara, dan Lembaga Tim Relawan untuk Kemanusiaan-Flores (TRUK-F).

Organisasi-organisasi gerakan perempuan di daerah memiliki fokus kerja yang kurang lebih sama dengan organisasi gerakan perempuan di tingkat nasional, meskipun ada program-program khusus yang terkait dengan kebutuhan lokal setempat.

Program-program tersebut diantaranya adalah:

1) Penghapusan kekerasan terhadap perempuan;

2) Pendidikan pemilih bagi perempuan;

3) Mendorong perempuan untuk menjadi bagian dari pengambil keputusan dengan mendorong isu kepemimpinan politik perempuan;

4) Pemberdayaan perempuan di pedesaan;

5) Mendorong akses keadilan bagi perempuan korban;

6) Penguatan ekonomi perempuan dalam bentuk koperasi, terutama bagi perempuan pekerja migran dan perempuan eks prostitusi;

7) Mendorong kebijakan pemerintah untuk memiliki anggaran yang memperhatikan keadilan gender

Meskipun gerakan perempuan semakin luas dan berkembang, tetapi terdapat sejumlah tantangan yang harus dihadapi. Tantangan tersebut muncul di tingkat internal maupun di tingkat eksternal. Tantangan bagi gerakan perempuan antara lain: pertama, belum kuatnya gerakan yang berbasis kesukarelaan diantara anggota gerakan, sehingga ia memiliki ketergantungan pendanaan dari donor internasional. Ketika pendanaan dari donor internasional itu dihentikan, maka banyak organisasi-organisasi gerakan perempuan tidak dapat beroperasi lagi, karena tidak ada program yang bisa dijalankan. Akibat tidak ada dana pula, maka para aktor gerakan banyak yang keluar dari organisasi gerakan dan berpindah kepada lembaga-lembaga yang menjamin dari aspek ekonomi. Kedua, belum kuatnya kader-kader baru yang dapat melanjutkan gerakan perempuan ke depan, sehingga belum terjadi penyebaran pengetahuan dan keahlian kepada generasi berikutnya di dalam anggota gerakan. Ketiga, gerakan perempuan pun cenderung terbagi ke dalam pelbagai faksi karena perbedaan pandangan dan strategi gerakan, sehingga kurang terjadi aksi, refleksi dan aksi bersama dalam menghadapi tantangan yang dapat melemahkan gerakan perempuan. Organisasi-organisasi gerakan perempuan cenderung sibuk dengan pelaksanaan programnya masing-masing, sehingga kurang terjadi interaksi antar anggota gerakan.[i] Keempat, yang lebih bersifat eksternal, tidak adanya perspektif politik dalam gerakan perempuan yang menempatkan persoalan bangsa sebagai persoalan perempuan dan sebaliknya (persoalan perempuan sebagai persoalan bangsa). Orde baru berhasil menjauhkan gerakan perempuan dari politik, sementara era reformasi belum mampu membangkitkan kembali perspektif yang maju tersebut sebagaimana sejarah gerakan perempuan Indonesia mencatatnya.

[i]Gerakan Perempuan di Era Reformasi: Capaian dan Tantangan. Neng Dara Affiah. Disampaikan dalam acara Refleksi Ulang Tahun ke-15 Komnas Perempuan “Merekam Jejak Sejarah Gerakan Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan bersama Komnas Perempuan’ pada 22 Oktober 2013 di Hotel Bidakara, Jakarta.

 

 

0Shares
×

Salam Sejahtera

× Hai