Program pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) terkait Swasembada pangan tentu menjadi sebuah kebijakan yang sangat dinantikan oleh masyarakat Indonesia yang situasinya sama sekali sangat tidak berdikari dalam hal pangan. Kebijakan ini tentu menjadi semacam telaga ditengah gurun pasir mengingat kondisi Indonesia yang sampai hari ini hanya mampu mencapai ketahanan pangan dengan kebijakan impor sebagai andalannya.
Pangan Dan Bangsa
Untuk Negara dengan daratan yang cukup luas dan subur, sangat tidak masuk akal bahkan sekedar cabai merah saja harus import untuk memenuhi kebutuhan pasar, beras juga harus import untuk memenuhi ketahanan pangan, belum lagi produk-produk lain yang mewarnai pasar modern dan tradisonal tanah air. Pertanyaannya, apakah hari ini Indonesia telah kehabisan tanah-tanahnya, sehingga kebutuhan akan bahan pangan harus bergantung pada negara lain yang luas daratannya tidak sebanding dengan Indonesia?
Jawabannya sederhana: pemerintah memang tidak fokus dalam mengurusi persoalan pangan, padahal urusan pangan adalah urusan hajat hidup orang banyak. Pangan juga sangat strategis untuk menajadi sumber kekuatan, juga sebagai sumber kelemahan. Pangan menjadi sumber kekuatan manakala kebutuhan pangan kita mampu kita penuhi sendiri dengan produk lokal, tetapi sebaliknya pangan menjadi kelemahan suatu bangsa ketika pemenuhan kebutuhannya tidak mampu ditangani oleh produksi dalam negeri sehingga bergantung pada negara lain melalui kebijakan impor seperti yang kini kita alamai.
Tahun 1952, saat peletakan batu pertama di Universitas Pertanian Indonesia (sekarang IPB), Bung Karno mengatakan bahwa kebijakan pangan adalah tentang hidup matinya sebuah bangsa dikemudian hari. Bisa dibayangkan, kebutuhan paling dasar rakyat Indonesia yang harus dipenuhi setiap harinya masih belum mampu diwujudkan melalui produksi pertanian lokal. Kondisi ini tentu sangat miris, mengingat bahwa kapan saja Indonesia bisa mengalami musibah kelaparan massal ketika tiba-tiba Negara pensuplai bahan pokok kita tidak mau lagi mengekspor produknya ke Indonesia.
Sungguh menyedihkannya, kondisi Indonesia yang terkenal dengan istilah “gemah ripah loh djinawi” kini harus membungkuk pada negara lain demi tetap bisa makan dan menguli. Kondisi ini tentu juga semakin melemahkan kekuatan politik Indonesia dikancah Asia bahkan dunia, khususnya dihadapan negara-negara pengekspor kebutuhan pokok kita. Indonesia akan semakin mudah disetir dan campuri urusan dapurnya hingga menghasilkan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan asing dan jauh dari cita-cita proklamasi.
Perempuan Dan pertanian
Sebagai negara agraris, jumlah perempuan usia di atas 10 tahun dalam sektor pertanian mencapai 40 persen. Berbagai penelitian dalam sektor pertanian menunjukkkan bahwa peran perempuan pada kegiatan pertanian sangat substansial. Kesemuanya menyebut adanya pembagian kerja seksual dimana perempuan melakukan kerja selama proses produksi yang meliputi penanaman, penyiangan, pemeliharaan, panen, pasca panen, pemasaran, baik yang bersifat manajerial tenaga buruh, pada komoditi tanaman pangan ataupun tanaman industri yang diekspor. Beberapa pekerjaan malah dianggap sebagai pekerjaan perempuan seperti halnya menanam bibit, menabur benih dan menyiang.
Dalam proses budidaya, nyaris tak ada benih jatuh ke bumi tanpa sentuhan tangan perempuan. Bahkan dalam pengairan, yang selama ini dianggap kerja laki-laki, perempuan ternyata ikut menentukan kapan pengairan dilakukan, banyaknya kuantitas air, kedalaman air, frekuensi pengairan, termasuk ‘bagian kerja laki-laki’. Tanpa keterlibatan perempuan, proses produksi tak akan berlangsung, termasuk komoditi ekspor yang diperdagangkan secara internasional. Perempuan juga mempunyai peran dalam pengambilan keputusan rumahtangga.
Pada masa orde baru, secara tegas Soeharto menerapkan sistem Revolusi Hijau sebagai solusi ditengah kelangkaan bahan pangan pada saat itu. Revolusi hijau lahir karena masalah pertambahan penduduk yang pesat dan pertambahan penduduk harus diimbangi dengan peningkatan produksi pertanian. Maka kemudian dilakukanlah perombakan sistem pertanian yang sebelumnya tradisional berubah kearah modern. Dalam proses perubahan teknik budidaya pertanian inilah, sedikit demi sedikit peran terampil perempuan digeser dengan peralatan-peralatan modern yang mulai dilirik oleh petani-petani di Indonesia. Lambat laun, peran aktif perempuan tidak lagi dibutuhkan ketika menyemai padi, memupuk, menyiram hingga memanen sudah bisa menggunakan teknologi. Akhirnya, yang terjadi kemudian adalah perempuan kehilangan lahan untuk berdikari secara ekonomi.
Ditambah lagi, kontribusi tenaga kerja perempuan belum terungkap secara transparan. Baik bila dilihat curahan waktu dan tenaga untuk kegiatan produksi sampai pengolahan hasil dan pemasaran serta kaitannya dengan kegiatan rumah tangga. Dalam perkembangan pertanian, kembali perempuan tidak mampu untuk eksis dikarenakan masih adanya penilaian masyarakat terhadap partisipasi perempuan pada sektor pertanian yang masih mendiskriminasi perempuan serta asumsi yang menyatakan bahwa kegiatan pertanian merupakan urusan laki-laki yang dinyatakan sebagai pengelola usaha tani.
Fenomena di atas dikuatkan dengan norma dan tradisi yang hidup dalam masyarakat. Akibatnya, perempuan kurang menjangkau sumber-sumber ekonomis (tanah, modal dan tenaga) dan berbagai kemudahan dari pemerintah seperti pendidikan keterampilan, penyuluhan dan pelayanan lain. Padahal, seperti halnya kaum laki-laki, perempuan juga memiliki hak – hak asasi selaku manusia.
Disamping itu, kondisi lahan pertanian yang tiap harinya makin berkurang membuat usaha-usaha produksi pertanian juga menyusut. Tidak hanya kaum perempuan, hal ini juga berimbas pada hilangnya akses ekonomi bagi kaum laki-laki. Tetapi, seperti halnya persoalan norma-norma yang tumbuh dimasyarakat yang telah dijelaskan diatas tadi, kaum perempuan berada diposisi yang lebih sulit dimana ketika akses produksi pertanian sudah tidak bisa dicapai, kaum laki-laki bisa lebih mudah mendapatkan pekerjaan meski hanya sebagai buruh serabutan atau kuli bangunan. Sedang perempuan? lagi-lagi dinilai tidak mampu mengerjakan pekerjaan-pekerjaan berat yang dicap sebagai ranah kerja laki-laki.
Perempuan Dan Ketahanan Pangan
Yang perlu diketahui, perempuan sebagai sumber daya insani yang cukup besar jumlahnya saat ini merupakan subyek pembangunan yang cukup handal. Mereka adalah kekuatan potensial bangsa yang hadir dalam jumlah yang tidak hanya besar, tetapi juga berimbang jumlahnya dengan kaum pria. Keberadaan perempuan tidak dapat diabaikan, karena kenyataan menunjukkan bahwa daya tahan fisik perempuan melebihi kaum pria, yakni sekitar 64 tahun bagi perempuan dan 63 tahun bagi pria.
Tentu kita masih ingat, bahwa perempuan adalah pihak paling berjasa pada proses penciptaan budidaya pertanian tradisional. Kondisi ini ditandai dengan peran aktif perempuan dalam mengembangkan budidaya pertanian tradisional melalui keterampilannya. Oleh karena itu, beberapa studi menyebutkan bahwa perempuan sangat berperan penting dalam proses menstabilkan pangan baik skala rumah tangga maupun skala nasional. Dalam skala besar mereka bekerja dalam beberapa aspek produksi, pasca panen, distribusi pangan dan konsumsi. Mereka tidak saja berperan pada kegiatan pertanian yang bertujuan dalam menambah penghasilan keluarga, namun mereka juga ikut dalam proses pengambilan keputusan.
Dalam skala rumah tangga, seorang istri atau seorang Ibu adalah anggota keluarga yang paling penting dalam menentukan kebutuhan pangan serta menu hidangan bagi keluarga, menetukan nilai gizi yang menjadi asupan anggota keluarga serta ketersediaan bahan pangan dalam jangka waktu tertentu. Hal ini membuat perempuan berkontribusi besar dalam menjaga kelangsungan keaneragaman hayati, sebagai upaya paling penting dalam peningkatan ketahanan pangan.
Perempuan Memperjuangkan Swasembada Pangan
Program swasembada pangan yang digemar-gemborkan oleh pemerintahan Jokowi-JK, Patut disambut dengan baik. Karena program swasembada pangan ini, artinya pemerintah akan membuka akses yang sangat luas pada aspek pertanian. Kondisi perempuan yang nyaris kehilangan akses ekonomi dalam proses produksi pertanian pasca adanya pergesaran pola pertanian dari tradisonal kearah modern, seakan kembali mendapat harapan baru. Yakni, kembali tersedianya lahan-lahan pertanian yang dapat digarap.
Harapan ini didasarkan pada program swasembada pangan yang dipastikan harus disertai dengan perluasan lahan produksi pertanian. Ketika luasan lahan pertanian dilakukan maka ini akan membuka peluang bagi perempuan untuk turut aktif dalm proses produksinya. Kreatifitas, keterampilan hingga kekuatan diri perempuan bisa kembali dituangkan dalam proses budidaya pertanian ini guna mencapai swasembada pangan.
Oleh karena itu, penting kiranya mengawal kebijakan ini menjadi kebijakan yang realistis dalam proses penerapannya dengan mempertaruhkan kredibilitas pemerintahan Jokowi-JK, Tentu disertai dengan program-program turunan yang juga mendukung kebijakan tersebut.
Rismayanti Borthon, Mahasiswi Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Lampung, Ketua Eksekutif Kota Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (EK-LMND) Bandar Lampung, dan Staff Deputy Kajian dan Bacaan Dewan Pimpinan Pusat Aksi Perempuan Indonesia (API) Kartini
Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com
Terkait
Sebuah Refleksi di Hari Ulang Tahun TNI
Posisi Perempuan dalam Pilkada 2024
Morowali Dibawah Tekanan Industri Ekstraktif dan Ancaman Kemiskinan