Selamat memperingati Hari Kartini. Tetapi bukan Kartini sebagai perempuan pemakai kebaya dan konde semata, melainkan Kartini sebagai seorang perempuan pemikir besar penentang feodalisme dan kolonialisme.
Tanggal 21 April, seperti biasa, bangsa ini memperingati Hari Kartini. Hendaknya momentum ini menjadi ruang untuk mengenang Kartini sebagai pejuang bangsa beserta gagasan-gagasannya. Dan penting juga melihat relevansi gagasan Kartini pada konteks sekarang ini.
Anti-Kolonialisme
“Pemerintah itu (Hindia-Belanda) juga yang membuat penduduk itu terbungkuk-bungkuk memikul pajak yang berat.” (Jepara, 12 Januari 1900, Panggil Saja Aku Kartini, 2003:135)
Kutipan diatas merupakan surat Kartini tehadap teman eropanya, Estella Zeehandelaar, pada 12 Januari 1900. Sebuah tulisan yang menandakan kebenciannya terhadap Negara asing yang menjajah dan mengeesksploitasi negaranya.
Kartini mengenal tanam paksa—praktek kerja paksa di era kolonial–dari multatuli lewat bukunya, Max Havelaar. Kondisi rakyatnya yang tertindas, bodoh dan terbelakang, mendorong Kartini bersuara dengan bersenjatakan pena mengenai kejamnya kolonialisme yang menjadikan rakyatnya sebagai sapi perahan.
Kartini menggambarkan keadaan masyarakat pribumi di bawah penindasan kolonialisme sebagai masyarakat yang ‘gelap gulita’. Dan dengan bersenjatakan pena dan kertas, karena zaman itu belum dikenal organisasi dan bentuk perlawanan modern lainnya, Kartini muncul sebagai ‘pembawa terang’.
Kartini banyak bersuara tentang nasib rakyatnya. Ia tak jarang mendebat orang-orang Belanda yang menghina rakyatnya. Seperti ditulisnya sendiri, “… dan masih juga, sejumlah orang Belanda mengumpati Hindia sebagai ‘ladang kera yang mengerikan.’ Aku naik pitam jika mendengar orang mengatakan “Hindia yang miskin.” Orang mudah sekali lupa kalau “negeri kera yang miskin ini” telah mengisi penuh kantong kosong mereka dengan emas saat mereka pulang ke Patria setelah beberapa lama saja tinggal di sini.”
Yang menarik, cita-cita memajukan kehidupan dan derajat terus melekat dalam mimpi Kartini. Ia tidak menyerah pada keadaan. Tapi, ia sadar bahwa setiap emansipasi kaum pribumi akan selalu akan dihambat oleh penguasa kolonial.
“Orang-orang Belanda itu menertawakan dan mengejek kebodohan kami, tetapi kalau kami mencoba maju, kemudian mereka bersikap menentang terhadap kami.” (Jepara, 12 Januari 1900, Panggil Aku Kartini Saja, 2003:110).
Anti-Feodalisme
Kartini hidup dalam tatanan feodalisme yang memecah belah susunan masyarakat struktur penghambaan. Dimana golongan rakyat kecil dipaksa menghamba kepada bangsawan dan ningrat—priyayi. Yang menarik, kendati Kartini berasal dari keturunan ningrat, ia tidak setuju dengan tatanan feodal itu.
“…..Aku tahu mereka lakukan itu dengan sukarela, sekalipun aku jauh lebih mudah daripada mereka, tapi aku seorang keturunan ningrat yang mereka puja, yang rela mereka korbankan harta dan darahnya. Sungguh mengharukan betapa bawahan itu begitu patuhnya kepada atasannya.” (Jepara, 18 Agustus 1899, Panggil Aku Kartini Saja, 2003:91)
Dari kutipan diatas tampak jelas, kehormatan manusia terletak pada gelar kebangsawanannya, tidak memandang apakah orang tersebut bodoh, beradab atau kejam. Seseorang dihormati oleh siapapun karena keningratannya, tidak peduli apakah orang tersebut terpelajar atau tidak, atau karena pengabdiannya kepada masyarakat.
Dengan menyatakan sikapnya yang anti-feodal dengan sendirinya Kartini telah berpihak. Ya, dia berpihak pada rakyat. Dia menolak segala kenyamanan dan keistimewaan yang dinikmati kelasnya, kaum feodal, yang diraih dan dipertahankan dengan kekuasaan. Dan dengan bangga Kartini bilang:
“Disebut bersama dengan rakyatku; dengannyalah dia akan berada buat selama-lamanya! Aku sangat bangga, Stella, disebut dengan satu nafas dengan rakyatku” (Jepara, 17 Mei 1902, Panggil Aku Kartini Saja, 2003:86)
Pendidikan sebagai alat pembebasan
Kartini yakin, salah satu senjata yang bisa membebaskan rakyatnya dari kebodohan dan keterbelakangan adalah kurangnya pendidikan. Oleh karena itu, Kartini mempunyai komitmen tinggi menjadikan pendidikan sebagai alat pembebasan, memajukan, mendidik dan menaikan derajat rakyatnya.
Kartini mengatakan, “pendidikan adalah jalan satu-satunya untuk mengubah pola pikir mereka, yakni penanaman kesadaran bahwa saat ini mereka tertindas, tanpa pendidikan mereka akan terus terjajah dan tidak menyadari bahwa diri mereka sebenarnya terbelenggu (The Chronicle of Kartini, 2010:360).
Kartini menginginkan pendidikan yang merata, tanpa diskriminasi dan dapat diakses oleh semua rakyat. Bagi kartini, pendidikan adalah hak untuk semua rakyat, hak rakyat untuk mengembangkan dirinya dan mengejar kemajuan.
Kondisi Saat Ini
Sekalipun usia kemerdekaan Republik Indonesia sudah mendekati 70 tahun, tetapi sejumlah persoalan yang identik dengan jaman kolonial masih belum terselesaikan.
Sekarang ini, sekitar 8,5 juta rakyat Indonesia masih mengalami buta huruf. Lebih dari separuhnya atau 5,1 juta di antaranya adalah kaum perempuan. Salah satu agenda bangsa ini, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa, akan terhambat jika persoalan buta huruf ini belum terselesaikan.
Selain itu, rakyat Indonesia masih dililit oleh persoalan kemiskinan. Dan seperti kita lihat dari angka-angka statistik, kemiskinan di Indonesia berwajah perempuan. Artinya, kemiskinan itu lebih banyak dialami oleh kaum perempuan.
Persoalan lainnya adalah praktek diskriminasi yang masih dialami oleh warga negara, baik diskriminasi berbasis gender, sosial, agama/keyakinan, dan lain-lain. Hingga sekarang ini, bangsa ini belum terbebas dari belenggu patriarki, yang menempatkan kaum perempuan seolah-olah sebagai warga negara kelas dua. Kemerdekaan nasional belum berhasil memberikan kemerdekaan nyata bagi perempuan.
Dan persoalan paling pokok dari berbagai persoalan di atas adalah praktek imperialisme modern atau neokolonialisme yang terus membelenggu bangsa ini. Neokolonialisme, dengan wajah barunya ‘neoliberalisme’, telah merontokkan ekonomi nasional, menghancurkan relasi sosial rakyat, dan merusak kepribadian bangsa.
Perempuan menjadi korban utama dari neoliberalisme. Sebab, kaum perempuan—karena anggapan sosial yang berlaku di masyarakat masih menempatkan kaum perempuan sebagai penanggung jawab urusan domestik/keluarga—menjadi paling merasakan dampak penghapusan subsidi, privatisasi, komersialisasi layanan publik, dan lain-lain.
Relevansi Gagasan Kartini
Sehubungan dengan berbagai persoalan yang dihadapi bangsa kita saat ini, maka menjadi tepat untuk mengajukan relevansi gagasan Kartini dalam konteks sekarang ini.
Kartini adalah seorang pejuang anti-kolonial. Dia bisa menjadi inspirasi bagi kita, rakyat Indonesia, dalam memperkuat kembali semangat anti-kolonialisme guna membebaskan rakyat dari penjajahan modern atau neoliberalisme.
Bukankah Soekarno, bapak pendiri bangsa kita, sudah pernah mengingatkan, “Imperialisme yang memerintah bisa saja lenyap, tetapi imperialisme yang menguasai masih tetap tinggal, hanya penjajahnya, perilaku dan caranya yang berbeda, tetapi sistem kapitalisme-imperialisme Internasional bisa saja mencengkeram bangsa kita. (Indonesia Menggugat, 2010:2).
Kartini mungkin berhadapan dengan imperialisme klasik. Ia hidup di penghujung era tanam paksa. Dia belum sempat menyaksikan kekejaman imperialisme modern. Tetapi tidak ada salahnya mengambil semangat anti-kolonial Kartini sebagai semangat kita juga dalam menghadapi imperialisme modern.
Semangat Kartini dalam memajukan pendidikan dan mencerdaskan kehidupan bangsa juga relevan. Model pendidikan neoliberal, yang menempatkan pendidikan sebagai barang dagangan, sehingga pendidikan hanya dinikmati kaum kaya, bertolak belakang dengan cita-cita pendidikan Kartini yang menghendaki pencerdasan seluruh rakyat tanpa diskriminasi.
Semangat emansipasi Kartini juga relevan, yakni semangat yang menempatkan semangat emansipasi, termasuk emansipasi perempuan, sejalan dengan cita-cita nasional dan kemanusiaan. Bukan emansipasi liberal yang menitik-beratkan kemajuan individual. Melainkan emansipasi kolektif, yakni kemajuan rakyat atau bangsa.
Karena itu, peringatan Hari Kartini bukan sekedar seremonial belaka, apalagi lomba masak, fashion show, seruan mengenakan kebaya dan konde, melainkan sebuah momentum untuk menggali kembali gagasan-gagasan Kartini.
Masih banyak gagasan Kartini yang tertimbun, selain kurangnya dokumen dan peninggalan sejarahnya yang ditemukan, juga akibatnya abainya negara terhadap pentingnya dokumentasi dan penyusunan sejarah nasional yang lengkap. Maka ini menjadi tugas kita, sebagai generasi yang memerlukan sejarah untuk melihat kedepan, untuk menggali kembali gagasan Kartini dan pendiri bangsa lainnya.
Peringatan Hari Kartini juga seharusnya menjadi ruang untuk melihat lebih jernih kondisi rakyat sekarang, termasuk kaum perempuan, dan mengaitkannya dengan cita-cita besar Kartini semasa hidupnya.
Ini juga seharusnya menjadi pencipta kesadaran baru bagi kita, bahwa perjuangan Kartini dan pejuang kemerdekaan lainnya masih jauh dari selesai. Dan, tugas kita untuk melanjutkannya. Nyalakan kembali Api Kartini!
Rini S.Pd, Koordinator Hubungan Internasional Aksi Perempuan Indonesia (API) Kartini
Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com
Terkait
Cerita Perempuan Batulawang, Memperjuangkan Hak Atas Tanah
Resensi Buku: Menghadang Kubilai Khan
Sunat Perempuan, Tradisi Berbalut Agama yang Membahayakan