Kartini di masa lalu melawan Kolonialisme dan Feodalisme
Ketika menyebut nama Kartini, muncul di pikiran kita tentang seorang pendekar perempuan di permulaan Abad ke-20. Tentu kita mengingat Kartini, bukan dari sisi atau sudut pandang domestik rumah seperti dia adalah gadis pingitan, lalu dinikahkan secara paksa, melahirkan dan setelah itu meninggal. Coba singkirkan sejenak kenangan itu dan alihkan pikiran pada bagaimana Kartini melawan itu semua; melawan kesepian karena pingitan, melawan arus kekuasaan besar penjajahan dari dinding tebal kotak Kabupaten Jepara yang menyekapnya bertahun-tahun. Kartini tidak punya massa, atau pedang untuk melawan situasi pada saat itu. Yang dimiliki Kartini adalah kepekaan dan keprihatinan dan ia tuliskan segala perasaannya yang tertekan. Hasilnya sangat luas biasa. Nama Kartini tidak hanya dikenang tapi melambung di seluruh dunia. Suaranya dapat terdengar jauh bahkan sampai ke negeri asal segala kehancuran manusia Pribumi.
Kartini yang hidup di zaman penjajahan banyak menyaksikan tatanan hidup Pribumi yang menyedihkan. Kehidupan Pribumi yang terjajah membuat hati Kartini menangis. Hingga Kartini mengatakan: “Malulah aku terhadap keangkaraanku. Aku renungi dan pikirkan keadaan ku sendiri, dan di luar sana begitu banyak derita dan kemelaratan melingkungi kami! Seketika itu juga seakan udara menggetar oleh ratap tangis, erang, dan rintih orang-orang di sekelilingku. Dan lebih keras dari pada erang dan rintih itu, mendesing dan menderu di kupingku: Kerja! Kerja! Kerja! Perjuangkan kebebasanmu! Baru kemudian kalau kau telah bebaskan dirimu sendiri dengan kerja, dapatlah kau menolong yang lain-lain. Kerja! Kerja! Aku dengar itu begitu jelas, nampak tertulis di depan mata ku”… (Surat, 8 April 1902, kepada Nyonya Abendanon)
Dengan demikian segala pemandangan yang menyinggung kemanusian segera menggerakkan pikirannya. Ia ingin mengulurkan tangannya kepada mereka yang hidup dalam derita dan kemelaratan. Sedang Kartini mengetahui sendiri kekuatannya. Bagaimana Kartini dapat membebaskan orang-orang itu, sedangkan ia sendiri terperjara oleh adat di negerinya. Kedudukan yang tinggi dalam pembagian nilai feodal, tidak mengizinkan dia bergaul dengan semua orang. Bangsawan bergerak di tengah-tengan rakyat dianggap hina. Tetapi justru itu yang dibutuhkannya sebagai sesama kaum Pribumi.
Kartini memang hidup terpisah dengan rakyat kebanyakan. Tetapi untuk selama-lamanya hatinya berada dengan mereka, dan jantungnya berdebar untuk mereka, dan pikirannya diperas untuk mereka. Dan ungkapan Kartini ini ia tulis dalam bentuk surat :” Bersama dengan rakyatku, dengannyalah dia akan berada buat selama-lamanya!. Aku sangat bangga, Stella, disebut satu nafas dengan rakyatku”. (Surat, 17 Mei, kepada Estelle Zeehandelaar)
Tatanan hidup yang terjadi di negerinya disaksikan Kartini setiap waktu. Kartini belajar mengasihi, belajar peka terhadap kaum Pribumi melalui penglihatannya. Di sisi lain Kartini menganggap pengetahuan dari dunia Barat bersifat demokratik, artinya dapat dimiliki oleh siapa saja tanpa memandang tinggi rendahnya kedudukannya dalam masyarakat ataupun kebangsawanannya. Dengan istilah demokratik ini secara sadar Kartini berfikir bahwa keadaan Barat lebih baik dari pada tata hidup Pribumi. Dan dalam perbandingan ini, ia mengerti bahwa kehidupan Pribumi masih sangat terbelakangkan. Dalam tatanan hidup yang hanya mengandalkan atasan dan bawahan, tentu saja menyebabkan orang kurang menghargai perasaan orang lain dan kurang perikemanusian.
Kartini melihat bahwa dalam kehidupan Barat, manusia satu dengan yang lain saling berhadapan sebagai manusia dengan manusia. Sedang dalam Pribumi Jawa, kehidupan seperti itu tidak ditemukannya. Yang ada atasan dengan bawahan; yang satu memerintah, dan yang lain diperintah. Jika yang diperintah melakukannya kurang baik, maka yang memerintah marah dan berhak memberikan hukuman.
Namun Kartini sendiri tidak mengagung-agungkan segala sesuatu yang berasal dari Barat. Ini terbukti dengan sikap Kartini yang sangat marah pada Pieter Johannes Veth, seseorang penulis artikel-artikel politik dan banyak juga menulis tentang Hindia Belanda. Dalam bukunya berjudul “Java jilid I”, Prof. Veth memandang kehidupan Pribumi yang serba negatif, selaras dengan cara pikir kolonial yang menganggap Pribumi sebagai warga kelas dua sehingga memang tidak pantas untuk merdeka. Kartini menolak buku yang sempat menjadi “jadi buah bibir”, dan telah menggerakkan begitu banyak pena dan membangkitkan badai kekecewaan.
Kartini menganggap buku tersebut mengupas kehidupan rakyat Hindia dari jurusan kekurangan saja, tidak melihat dari segi-seginya yang positif. Hingga Kartini membela diri : “ Negeri manakah yang tiada punya cacatnya? Hindia atau Negeri lain di bawah kolong langit manapun punya”.
Situasi Hari ini
Letupan-letupan Kartini lewat tulisannya pada masa itu membuka pintu yang luas untuk dirinya dan bangsanya. Ia memberikan sumbangsih yang begitu besar untuk bangsanya dengan metodenya sendiri agar terwujudnya cita-cita mulia; mengangkat perempuan dari penindasan budaya, sehingga perempuan bisa setara dan bebas untuk belajar dan menuntut ilmu. Memang terbukti pada masa sekarang, banyak perempuan yang mengakses pendidikan bahkan hingga tingkat tinggi. Namun, masalah baru justru terjadi sehingga timbul pertanyaan besar: apakah perjuangan Kartini yang lalu sudah bisa menciptakan dunia (Indonesia) tanpa diskriminasi, eksploitasi, dominasi, dan penindasan pada masa sekarang?
Sebelum menjawab pertanyaan diatas, ada baiknya kita menoleh sedikit untuk membahas apa sebenarnya akar dari permasalahan ketidakadilan yang terjadi dalam rentetan sejarah kolonialisme di masa lalu sampai saat ini ketika negara sudah merdeka.
Terdapat beberapa perbedaan dan kesamaan masa Kartini dan masa sekarang, antara lain:
- Di abad ke 20, masa kehidupan Kartini, bangsa ini masih dijajah secara langsung oleh kolonialisme Belanda. Penguasa administrasi pemerintahan adalah orang asing, dan modal yang mendominasi Tanah Air juga adalah modal asing. Sedangkan sekarang, negeri ini sudah hampir 70 tahun merdeka, memiliki pemerintahan sendiri. Meski demikian, modal asing mendominasi perekonomian, dan sikap politik pemerintah pun kerap kali tidak mendaulatkan rakyatnya.
- Pada masa Kartini mayoritas rakyat Indonesia masih berwatak inlander (terjajah). Tidak ada kebanggaan sebagai orang Pribumi. Bahkan di kalangan bangsawan pun menganggap tuan-tuan dari Belanda lebih terhormat dibanding dirinya sendiri. Hari ini rakyat Indonesia relatif sudah bebas berfikir. Tapi tidak sulit juga ditemui ada diantara bangsa ini yang suka mengagung-agungkan segala sesuatu yang berasal dari luar negeri.
- Tradisi adat yang melarang kaum perempuan keluar dari tahanan rumah dan pingitan di masa kolonialisme sudah jarang ditemui. Namun domestifikasi perempuan masih sangat umum ditemui. Keterbatasan perempuan dalam kerangkeng feodalisme dulu sekarang berubah menjadi budaya patriarki.
Berdasarkan kenyataan-kenyatan diatas, membuktikan bahwa kaum perempuan belum merdeka sepenuhnya. Sikap dan prilaku perempuan masih di bawah aturan yang bersifat patriarki dan feodal. Sehingga keterlibatan perempuan dalam ranah yang lebih luas seakan dibatasi. Ini disebabkan kurangnya perhatian negara dalam memberdayakan perempuan sehingga menjadi tidak merdeka dan mandiri. Kehadiran sisa-sisa feodal dan tafsiran yang keliru atas ajaran agama juga memberi pengaruh kemunduran kaum perempuan.
Jika menilik kembali gagasan-gagasan Kartini, tampak usahanya untuk membebaskan pikirannya untuk keluar dari belenggu jajahan. Namun sekarang penjajahan telah dipoles dengan gaya serta tampilan berbeda, sehingga banyak di antara kaum perempuan yang tidak menyadari penindasan atas dirinya.
Apa Yang Akan dilakukan Kartini Bila Hidup Hari ini ?
Jiwa merdeka Kartini tidak semata digunakan untuk kebutuhan pribadinya saja, tapi ia abdikan untuk rakyat Pribumi agar keluar dari cengkraman kolonialisme. Lalu bagaimana bila Kartini hidup hari ini? Apa yang akan ia lakukan?
Pramoedya Ananta Toer menekankan daya observasi serta kepekaan Kartini yang membantunya memahami bahwa demokrasi dan ilmu pengetahuan telah memajukan dunia Barat. Sebaliknya, keterjajahan dan feodalisme telah membuat rakyat Pribumi menjadi terbelakang.
Melalui daya observasinya itu pula, bila Kartini hidup sekarang, ia akan menemukan kenyataan-kenyataan sosial yang menempatkan kaumnya dan mayoritas bangsanya pada posisi yang tidak menguntungkan. Dari situ tentu ia akan menelurkan gagasan-gagasan besar serta cita-cita mulianya.
Di sini saya bukan hanya ingin berandai-andai bila Kartini masih hidup. Tapi bagaimana semangat Kartini untuk membangun dunia (Indonesia) yang merdeka, tanpa diskrimasi, tanpa penindasan manusia atas manusia, dapat menjadi semangat yang juga hidup dalam sanubari kita, perempuan Indonesia kini.
Menulis, bagi Kartini, tidak hanya sebuah ungkapan perasaan. Menulis adalah salah satu tindakan melawan, menyampaikan kebenaran atau kenyataan-kenytaan yang ia temukan, yang masih belum dapat disimpulkan atau berani disuarakan oleh orang lain di zamannya. Di zaman yang semakin modren, teknologi semakin canggih, tentu berbeda dengan zaman kolonial dimasa lalu. Mungkin (semangat) Kartini sudah seharusnya tampil di layar-layar televisi untuk menyerukan perlawanan terhadap ketidakadilan.
Sebagai seorang perempuan dengan status bangsawan, tentu tidaklah susah bagi Kartini untuk mendapatkan martabat dan kehormatan. Namun dalam status kebangsawanannya itu tidak ia temukan “kebebasan” yang sesungguhnya. “Bebas” bagi Kartini tidak bermakna bebas berbuat sekehendak hatinya tanpa perlu mengenaal batas. Bila Kartini menyebut kata ini, yang dimaksudkannya adalah “kebebasan jiwa”, karena jiwa yang harus menempuh perjuangan itu tidak patut dibebani oleh ikatan-ikatan yang tidak mengandung suatu guna. Kartini menggunakan kebebasan itu untuk melahirkan pemikiran-pimikiran yang progresif, dan kemudian lebih lanjut dengan membangun sekolah-sekolah rakyat.
Apa Yang Harus Di lakukan Perempuan Indonesia Sekarang
Seperti apakah sikap perempuan hari ini? Mengenang Kartini, tidaklah cukup hanya bersolek ala Kartini, memakai kebaya, dan lain-lain sebagai bentuk seremonial. Meski memakai kebaya itu tidak salah, bahkan patut didukung dalam konteks mengangkat produk budaya dalam negeri, tapi Kartini tidaklah layak diperlakukan seperti itu. Tokoh yang hidup di setiap zaman ini, memiliki gagasan-gagasan besar dan mulia, yang harus diwarisi perempuan Indonesia.
Dalam konteks menghadapi neoliberalisme saat ini, pertama, perempuan Indonesia harus berTrisakti. Harus ditanamkan kesadaran perempuan untuk berdaulat dalam menentukan sikap politiknya, mandiri dalam membangun perekonomiannya, dan berkpribadian dalam budaya. Sitem Neoliberalisme yang menghantam ruang gerak perempuan, haruslah diatasi oleh kaum perempuan yang progresif.
Kedua, kaum perempuan harus terlibat dalam organisasi. Terlibat di sini bukan sekedar menjadi anggota yang pasif, melainkan mengaktifkan diri untuk berperan dalam ruang yang lebih luas di hadapan publik. Organisasi adalah alat perjuangan kaum perempuan, yang sekaligus menjadi wahana pembelajaran, tempat menempa diri sehingga semakin luas pengetahuan dan pengalamannya. Lewat wadah ini pula perempuan dapat mengimplematasikan praktek nyata dalam merebut panggung politik.
Oleh karena itu, ketiga, kaum perempuan harus berpolitik. Perempuan dapat memaksimalkan kesempatan masuk ke ranah politik, memenangkan jabatan-jabatan publik dari tingkat RT/RW, anggota parlamen, kepala daerah, sampai ke tingkat yang setinggi-tingginya, dalam rangka membela dan memperjuangkan kaumnya sendiri dan rakyat pada umumnya. Kebijakan afirmasi yang memberi kuota tiga puluh persen kepada perempuan harus dimaksimalkan, tidak sebatas kuantitatif tapi dengan kontribusi kualitatif.
Demikianlah materi diskusi yang saya tuliskan, untuk menjadi bahan diskusi kita bersama.
Selamat hari Hari Kartini!
Minaria Christyn Natalia, S.H, Ketua Umum Aksi Perempuan Indonesia (API) Kartini
*) Tulisan ini disampaikan dalam diskusi bertema “Menggali Gagasan Kartini Dalam Gerakan Perempuan Hari Ini”, yang diselenggarakan oleh DPP API Kartini di Jakarta, pada tanggal 22 April 2015.
Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com
Merdeka