Peserta konferensi datang dari 32 kota diseluruh Indonesia. Mereka termasuk perempuan yang terlibat sebagai mahasiswa, pekerja dan kaum miskin kota. Konferensi ini menghabiskan 3 hari untuk membahas isu-isu yang dihadapi perempuan dibidang politik, ekonomi dan budaya.
Dibandingkan Negara-negara asia lainnya, seperti India, tidak ada gerakan perempuan yang besar dan aktif seperti di Indonesia. Partai sayap kiri Partai Rakyat Demokratik (PRD) memprakarsai konferensi ini untuk membangun sebuah organisasi yang luas yang dapat menghubungkan perjuangan hak-hak perempuan untuk perjuangan yang lebih luas melawan neoliberalisme.
PRD melihat perjuangan hak-hak perempuan sebagai bagian dari perjuangan untuk demokrasi dan pembebasan nasional.
Salah satu isu yang paling dibahas dalam konferensi ini adalah kekerasan terhadap perempuan. Menurut catatan Komisi Nasional Perempuan, selama tahun 1998-2011 ada 93.960 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan.
Isu-isu lain yang dibahas adalah angka kematian ibu, partisipasi perempuan dalam politik yang masih rendah, dan fakta bahwa masih ada 5 juta perempuan yang buta huruf.
Pekerja perempuan menghadapi pelecehan seksual dan diskriminasi. Banyak perempuan yang bekerja di pabrik Garmen yang dipaksa lembur tanpa bayaran yang juga dihadapkan pada kerja domestifikasi. Konferensi ini menyetujui kampanye untuk mengangkat upah perempuan dan mendorong pemerintah untuk membangun koperasi.
Selain itu, delegasi menyetujui sejumlah tuntutan terkait dengan hak-hak reproduksi, seperti hak untuk anak, cuti haid dan cuti melahirkan.
Konferensi ini juga mengutuk pratek tes keperawanan bagi kaum perempuan yang akan melamar pekerjaan. Seperti di Kota Jember Jawa Timur yang membatalkan tes keperawanan bagi persyaratan kelulusan SMA karena mendapatkan protes dari siswa dan pihak keluarga.
Aktivis hak asasi manusia menyebut ini sebagai praktek yang tidak ilmiah, kejam, merendahkan dan mendiskriminasi perempuan.
Penyelenggara konferensi, Vivin Sri Wahyuni, menyebutkan bahwa peserta konferensi banyak terinspirasi oleh perempuan Indonesia yang telah berjuang untuk hak-hak perempuan di masa lalu.
Hal ini tercermin dari nama organisasi itu sendiri, yang diambil dari salah satu pahlawan nasional, yang berjuang terhadap kesetaraan perempuan dan melawan kolonialisme pada pergantian abad ke-20, Kartini.
Gerakan perempuan sayap kiri pernah kuat di Indonesia sebelum dihancurkan oleh tindakan represifitas pada zaman kediktatoran Orde Baru, 1965-1966. Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pda tahun 1945, ruang politik terbuka bagi perempuan untuk mengatur dan memperjuangkan persamaan hak.
Tujuan API Kartini adalah membawa perubahan melalui aksi massa. Kelompok ini sedang membangun komite aksi disetiap kota.
Bertepatan dengan hari perempuan internasional, pada tanggal 8 Maret, aktivis API Kartini mengadakan aksi unjuk rasa dibeberapa wilayah. Di Jakarta, unjuk rasa diadakan di luar kantor Kementerian Pemeberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Ketua umum API Kartini, Minaria Christyn Natalia mengatakan bahwa banyak perempuan Indonesia masih mengalami diskriminasi dan kekerasan seksual. Dia mengatakan kebijakan ekonomi pemerintah, sangat berdampak pada perempuan.
“kemiskinan saat ini mengambil wajah perempuan, karena sebagian besar yang miskin dan rentan terhadap kemiskinan adalah kaum perempuan,”kata Minaria.
Dia menambahkan bahwa saat ini Neoliberalisme melemparkan sejumlah tugas Negara kepada perempuan. Privatisasi, penghapusan tanggung jawab Negara dalam hal pendidikan, kesehatan dan lain-lain, mempengaruhi kehidupan perempuan, dimana hal ini menjadi beban perempuan dalam rumah tangga.
Para pengunjuk rasa mendesak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk pemberdayaan ekonomi perempuan melalui pengembangan koperasi.
Sumber: www.greenleft.org.au, Diterjemahkan Oleh: Rini
Terkait
79 Tahun Merdeka: Puan, Stop Sandera RUU PPRT
Tepatilah Janji, Film sebagai Media Sosialisasi Pilkada 2024
Ultah ke-30, AJI Tetap Melawan di Tengah Disrupsi Media dan Menguatnya Otoritarianisme