11 Desember 2024

Negara harus Hadir Menghentikan Kekerasan terhadap Perempuan

0Shares

Logo API KARTINI

Pernyataan Sikap API Kartini

YY, siswi sekolah menengah pertama di Padang Ulak Tanding, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu, diperkosa lalu dibunuh oleh 14 laki-laki pada 2 April lalu. Kejadian itu telah membangkitkan kemarahan publik yang luar biasa.

Kejadian itu juga mendapat perhatian khusus dari Presiden Joko Widodo. Melalui akun twitternya, Presiden Jokowi menyampaikan ungkapan duka cita sekaligus meminta para pelaku ditangkap dan dihukum seberat-beratnya.

Yang patut diketahui, kejadian memilukan yang menimpa YY merupakan satu dari ratusan ribu kasus kekerasan terhadap perempuan Indonesia tiap tahunnya. Komnas Perempuan pada tahun 2015 menyebutkan, setiap dua jam terdapat tiga perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual di Indonesia.

Itu baru yang terungkap. Kami yakin, ada banyak kasus kekerasan terhadap perempuan, termasuk kekerasan seksual, yang tidak terungkap ke permukaan. Sebab, seperti terungkap oleh data temuan Komnas Perempuan, dari  93 ribu kasus kekerasan seksual selama 10 tahun, sebanyak 70 persen pelakunya adalah anggota keluarga dan orang-orang dekat. Dalam kejadian seperti ini, korban cenderung tertutup untuk mengungkap kekerasan yang dialaminya. Dan kalaupun terungkap, biasanya ditutupi atau diselesaikan lewat jalur damai/keluarga.

Karena itu, bagi kami, kejadian memilukan yang menimpa YY seharusnya menjadi lonceng peringatan bahwa kekerasan seksual merupakan ancaman nyata bagi setiap perempuan Indonesia, khususnya perempuan miskin.

Yang patut dicatat juga, ada beberapa kondisi sosial yang memungkinkan perempuan sangat rentan menjadi objek kekerasan, termasuk kekerasan seksual.

Pertama, masih kuatnya konstruksi sosial dan ideologis yang mengukuhkan superioritas laki-laki terhadap perempuan atau patriarki. Patriarki ini memberikan legitimasi kepada laki-laki untuk merasa menguasai perempuan, termasuk melakukan tindakan kekerasan.

Karena itu, kami kurang setuju dengan kesimpulan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang menyederhanakan persoalan hanya dengan memandang bahwa kasus perkosaan bermula dari aktivitas mabuk-mabukan/menenggak miras. Kesimpulan itu jelas punya cacat epistemologis. Sebab, mengabaikan konstruksi sosial patriarkal yang menguasai kesadaran individu.

Kedua, masih lemahnya kehadiran Negara dalam bentuk regulasi untuk melindungi kaum perempuan. Memang sudah ada beberapa regulasi yang bertujuan mengatasi kekerasan terhadap perempuan, seperti UU No. 23 Tahun 2004 tentang Pengapusan KDRT. Tetapi belum ada regulasi, yang dari defenisi, cakupan, hingga sanksinya, benar-benar melindungi perempuan dari berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi.

Ketiga, kondisi sosial, seperti kemiskinan, ketimpangan sosial dan kurangnya pendidikan, turut menciptakan kondisi dan tekanan yang membuat perempuan rentan dari kekerasan. Kejadian yang menimpa YY menguatkan kesimpulan ini. Korban maupun pelaku hidup di tengah setting social masyarakat yang sangat miskin.

Terkait soal kemiskinan ini, kebijakan ekonomi Negara punya andil besar. Kebijakan ekonomi Negara saat ini, yang cenderung neo-liberal, telah memiskinkan rakyat, membuat akses terhadap pendidikan makin sulit, pengangguran makin banyak, upah murah, privatisasi aset/layanan publik dan lain sebagainya.

Karena itu, API Kartini menuntut:

  1. Mendesak DPR dan Pemerintah untuk mempercepat pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual;
  2. Mendesak DPR dan Pemerintah untuk menyusun UU anti kekerasan terhadap perempuan dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk organisasi perempuan;
  3. Menuntut negara menyediakan akses seluas-luasnya bagi setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan dan lapangan pekerjaan;
  4. Menuntut penghapusan semua regulasi yang mendiskriminasi perempuan;

 

Jakarta, 7 Mei 2016

Aksi Perempuan Indonesia Kartini (API-Kartini)

0Shares
×

Salam Sejahtera

× Hai