22 Januari 2025

Diskusi bersama: Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak-anak dalam Konflik Agraria

0Shares

img-20161103-wa0046

Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, MA menyatakan bahwa kekerasan dalam konflik agraria ini sudah terjadi sejak tahun 90-an. Kekerasan atau teror seringkali dilakukan oleh negara  terhadap warganya. Bentuk kekerasan semacam ini terjadi juga pada masyarakat Aceh, Papua, Halmahera, Ternate. kekerasan dalam konflik agraria ini merupakan bagian dari sejumlah contoh kekerasan yang terjadi di Indonesia.

Berbeda dengan pembicara lainnya, Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, MA sebagai salah satu pembicara justru mengajak dialog kepada peserta. Ibu-ibu petani Telukjambe yang hadir dalam diskusi diminta menceritakan kekerasan yang dialaminya selama ini, termasuk kekerasan yang dialami oleh anak-anaknya dalam sebuah diskusi yang bertema: “Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak-anak pada Konflik Agraria” yang diselenggarakan API-Kartini, pada Kamis, 3 November 2016 merespon adanya gelombang pengungsian petani Telukjambe Kerawang ke Jakarta.

Salah seorang petani yang bernama Remiyati menyampaikan, “Karena ada intimidasi terus-menerus dari pihak perusahaan, aparat dan pemerintah Kerawang kami menjadi bingung. Akhirnya kami mengungsi dan meminta perlindungan ke Jakarta.”

Sebagaimana diketahui, kini ada sejumlah petani yang mengungsi ke Jakarta dan menginap di kantor  LBH Jakarta dan kantor Kontras karena konflik tanah. Setelah berkonflik dengan PT. Pertiwi Lestari yang mengklaim tanah dan lahan mereka, kini petani menghadapi kriminalisasi dan intimidasi. Jumlah mereka adalah 187 orang, yang terdiri beberapa petani dari desa Wanajaya, Margakaya, dan Sukaluyu, Kecamatan Telukjambe Barat; desa Parang Mulya, Kecamatan Ciampel; dan desa Taman Mekar, Kecamatan Pangkalan. Diantara pengungsi tersebut terdapat sejumlah 31 anak-anak (laki-laki dan perempuan) yang harus ikut orang tuanya dan meninggalkan sekolah.

Ibu Remiyati menceritakan kronologi kasusnya, bahwa sejak tahun 2016 dengan tiba-tiba, PT. Pertiwi Lestari mengklaim  tanah eks kawasan Tegalwaroelanden seluas 7900 ha yang sudah ditinggali dan digarap oleh petani lebih dari dua puluh tahun yang lalu dengan menunjukkan bukti terbitnya Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor 5,11 dan 30 sejak tahun 1998.

“Selama bertahun-tahun kami tinggal tidak ada perusahaan yang mengklaim tanah dan melarang kami bertani. Kami di sana hidup bermasyarakat, kami punya RT/RW dan memiliki KTP serta KK. Keberadaan kami juga diakui sebagai warga masyarat desa Margakaya Kerawang. Kini, kami dipaksa menerima uang kerohiman atau tali asih sejumlah 30 juta dari perusahaan dan meninggalkan desa kami. Dengan uang 30 juta kami akan tinggal di mana? Padahal untuk tinggal di pinggir Kalimalang saja kami harus membayar uang 20 juta untuk sewa tanah,” lanjutnya.

Sebenarnya petani merasa mempunyai harapan ketika pada 15 Januari 2003 Bupati Karawang Achmad Dadang mengeluarkan Surat kepada Kepala Dinas Agraria Kabupaten Karawang dengan nomor 594.3/142-HUK tentang Penerbitan Sertifikat Hak Tanah untuk masyarakat desa di wilayah Kecamatan Telukjame berdasarkan pertimbangan hukum Ketua Pengadilan Negeri Karawang tanggal16 Desember 2002 No.8.D.O.UM.0.10-2421, perihal Pendapat Hukum terhadap Kasus PT SAMP (Sumber Air Mas Pratama) dengan masyarakat yang menguasai secara fisik di atas lahan eks tanah eigendom verponding 53, 54, 57, 693 atas nama N.V. Maatschaappy tot Exploitatie der Tegalwaroelanden.

Dan setelah PT. Pertiwi Lestari mulai mengklaim tanah tersebut, petani juga mendatangi Kementerian ATR yang saat itu adalah Ferry Mursidan Baldan pada bulan April 2016. Hasilnya Kementerian ATR yang menyatakan bahwa lahan tersebut adalah status quo. Sayangnya kemudian ada pergantian Menteri ATR dan status lahan menjadi kabur kembali karena PT. Pertiwi Lestari tiba-tiba menunjukkan IMB.

“Tanggal 1 Agustus 2016 tiba-tiba datang buldozer yang akan menggusur lahan perkebunan milik warga dengan dalih PT.Pertiwi Lestari sudah mendapatkan IMB dari Bupati Kerawang, Kami petani bingung, karena pak Ferry sudah meminta agar menstatusquokan tanah tersebut. Padahal HGB yang dimiliki oleh PT.P ertiwi Lestari didapat sejak 1998 tetapi sampai sekarang belum ada aktifitas perusahaan. Sehingga HGB sudah hangus. Oleh karena itulah pak Ferry saat itu menjanjikan akan memberikannya kepada petani, ” tutur Ibu Remiyati.

Konflik agraria atau konflik kepemilikan tanah yang seringkali melibatkan kaum perempuan. Hal ini karena banyak perempuan yang bekerja disektor  pertanian.  Sehingga, ketika terjadi pengambil-alihan tanah yang paling terdampak adalah perempuan dan anak-anak. Kondisi ini terjadi dalam kasus petani Telukjambe Kerawang, di mana perempuan dan anak-anak menjadi korban.

Rini, SPd, pembicara dari API-Kartini menyatakan bahwa, “Kita mengenal adanya mitos tentang adanya dewi kesuburan tanah, yang di Jawa dikenal dengan Dewi Sri. Mitos ini tidak muncul begitu saja, tetapi karena adanya fakta yang menunjukkan bahwa hubungan perempuan dengan tanah sangat kuat.”

Bagaimana peran perempuan petani Telukjambe dalam membela dan memperjuangkan tanahnya bisa dilihat pada kejadian ketika alat berat milik PT Pertiwi Lestari yang dikawal aparat dan security perusahaan, berusaha merusak lahan perkebunan petani. Melihat situasi itu, ratusan petani yang mayoritas ibu-ibu berusaha menghalau alat berat tersebut. Mereka berteriak histeris meminta agar pengrusakan tanaman milik petani dihentikan. Namun, teriakan itu tidak diindahkan oleh pihak perusahaan. Aksi saling dorong pun tidak terhindarkan.

Akibat aksi brutal tersebut, seorang ibu berusia 39 tahun, Ernawati, mengalami luka di lengan dan paha kiri. Dia menjadi korban pemukulan oleh Humas PT Pertiwi Lestari bernama Mariadi. Seorang anak perempuan yang melihat langsung penangkapan terhadap ayahnya menjadi trauma dan sampai sekarang badannya panas jika mengingat kejadian yang dilihatnya. Banyak juga petani dan anak-anak yang ketakutan dan trauma ketika mendengar suara sirine mobil polisi.

Tindakan brutal PT Pertiwi Lestari berlanjut besoknya, Selasa (11/10). Kali ini alat berat yang dikawal oleh ratusan orang perusahaan kembali mengobrak-abrik lahan perkebunan petani. Setelah bentrokan tersebut terjadi pemanggilan dan penangkapan terhadap 45 orang itu, 9 orang diantaranya yang masih di bawah umur akhirnya dibebaskan. Sementara 36 orang sisanya masih ditahan di Mapores dengan alasan masih dimintai keterangan.

Ciri utama dari konflik agraria selain adanya penguasaan lahan yang menjadi sumber kehidupan petani, juga bisa dilihat pada penguasaan sumber daya alam. Dalam hal ini, terjadi pemutusan pasokan air ke desa, pemutusan fasilitas listrik warga. Sehingga warga kesulitan mengakses air bersih untuk kebutuhan hidup dan akses penerangan. Karena ditinggal warga, beberapa binatang ternak warga seperti sapi,ayam mendadak mati secara bersamaan yang diduga keras karena diracun. Kondisi inilah yang melatarbelakangi petani Telukjambe Kerawang mengungsi dan meminta perlindungan ke Jakarta.

Menjawab keresahan ibu-ibu petani yang mengungsi dan mengadukan nasibnya, dr Mariya Mubarika, salah seorang pembicara diskusi yang berprofesi sebagai dokter dan tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengingatkan agar ibu-ibu dan para petani yang menjadi korban saling memberi dukungan dan menguatkan, agar penderitaan yang dialami sedikit teratasi.

Selanjutnya sebagai bentuk dukungan kongkrit, dr. Mariya akan segera mengajak relawan kesehatan lainnya untuk memberikan layanan kesehatan dan pemulihan.

 

 

 

 

0Shares
×

Salam Sejahtera

× Hai