25 April 2024

Kepahlawanan Perempuan Abad 21

0Shares

Sejarah Indonesia tidak bisa ditulis tanpa wajah perempuan. Sejarah mencatat, dari sejak kolonialisme pertama kali menginjakkan kaki di tanah air, kaum perempuan sudah ambil bagian dalam perlawanan.

Mulai perlawanan Ratu Kalinyamat terhadap Portugis, Nyi Ageng Serang melawan Belanda, Cut Nyak Dhien dan Cut Meutia yang memimpin perjuangan rakyat Aceh, hingga Martha Christina Tiahahu yang mengobarkan perlawanan anti-kolonial di Maluku. Dan masih banyak lagi.

Namun, penulisan sejarah resmi hanya menyebut sedikit nama perempuan. Kalau kita lihat daftar Pahlawan Nasional kita, itu masih terlalu maskulin. Dari 169 Pahlawan Nasional hingga 2017 ini, hanya ada 12 orang pahlawan nasional yang berjenis kelamin perempuan.

Selain itu, narasi sejarah selalu menempatkan perempuan hanya selalu di ′pinggiran′, pada peran-peran pendukung dalam revolusi kemerdekaan: dapur umum, palang merah, telik sandi tidak resmi, dan lain-lain.

Mengapa bisa demikian? Lalu bagaimana membaca dan menempatkan kepahlawanan perempuan dalam abad 21 ini?

Historiografi Perempuan

Ada masalah dalam metode penulisan sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, yaitu terlalu berwajah maskulin atau berpusat pada laki-laki.

Narasi sejarah tentang pahlawan selalu berkutat pada pejuang-pejuang yang angkat senjata memerangi serdadu-serdadu penjajah. Seperti yang dikatakan oleh sejarawan Asvi Warman Adam, bahwa sejarah Indonesia mengedepankan kontribusi perjuangan bersenjata.

Akibatnya, kalaupun ada perempuan yang tercatat dalam sejarah yang sangat maskulin itu, maka itu hanya pejuang-pejuang perempuan yang menggunakan jalan angkat senjata melawan kolonial, seperti Cut Nyak Dien, Cuk Mutia, Nyi Ageng Serang, dan Christina Martha Tiahahu.

Teks sejarah arus utama, buku pegangan sekolah, hingga cerita rakyat dianyam sehingga perjuangan terkesan sahih apabila menganggkat senjata terhadap penjajah.

Sementara strategi perjuangan melawan kolonialisme itu beragam, dari aksi massa/aksi mogok, perjuangan politik, diplomasi, hingga perjuangan bersenjata. Orang pun menggunakan beragam cara untuk berjuang: lewat tulisan, teater, musik, medis/kesehatan, sastra, olahraga, pengajaran, lukisan/mural, pers, dan lain-lain.

Padahal, dalam sejarah perjuangan kemerdekaan, ada banyak perempuan yang berjuang dengan beragam cara. Sebut saja Siti Sundari, perempuan yang menonjol dalam pergerakan buruh awal abad 20, terlibat Kongres Pemuda 1928, dan jurnalis perempuan berpena tajam. Atau SK Trimurti, yang pernah keluar masuk penjara karena tulisan-tulisannya yang sangat tajam menohok jantung kolonialisme, dan pernah menjabat Menteri Perburuhan pertama dalam sejarah Republik Indonesia.

Kemudian, kalau bicara gagasan nasionalisme sebagai embrio cita-cita mendirikan Negara merdeka bernama Indonesia, kita tidak bisa melupakan nama tokoh perempuan: Kartini.

Seperti dicatat Asvi, pada 1903, Kartini sudah bicara tentang bangsa Hindia yang harusnya setara dengan bangsa Belanda. Meskipun gagasan tentang Hindia dalam pengetahuan Kartini belumlah sama persis dengan Indonesia sekarang. Sebab, saat itu Indonesia sebagai identitas politik dari sebuah bangsa yang diperjuangkan belumlah dikenal.

Pramoedya Ananta Toer sebetulnya lebih dulu punya kesimpulan itu. Dalam pengantar bukunya, Panggil Aku Kartini Saja, Pram menulis: “Kartini adalah pemula dari sejarah modern Indonesia. Dialah yang menggodok aspirasi-aspirasi kemajuan yang di Indonesia pertama kali timbul di Demak – Kudus – Jepara sejak pertengahan kedua abad yang lalu (Abad 19). Ditangannya kemajuan itu dirumuskan, diperincinya, dan diperjuangkannya, untuk kemudian menjadi milik nasion Indonesia. Dikatakan Indonesia, karena, sekalipun ia lebih sering bicara tentang Jawa, ia pun mengemukakan keinginannya buat seluruh Hindia—Indonesia dewasa ini.”

Tantangan Abad 21

Zaman berubah dan berkembang. Gagasan tentang nasionalisme, termasuk kepahlawanan bangsa, juga berubah.

Pertama, kita hidup dalam dunia yang makin terglobalisasi. Orang menyebutnya “perkampungan global” (global village), yang menggerus batas-batas bangsa.

Globalisasi yang mendorong integrasi ekonomi dan konektivitas antar-wilayah menggerus batas bangsa-bangsa. Kebebasan kapital, sebagai prasyarat akumulasi kapital, tidak mau dirintangi oleh batas-batas nation.

Bersamaan dengan itu, perkembangan teknologi informasi telah menggulung apa yang disebut “efek jarak jauh” (time-space distanciation). Bangsa-bangsa yang jauh di belahan dunia sana bisa menjadi sangat dekat di dunia maya.

Semua perkembangan baru ini membawa konsekuensi. Perkembangan baru ini berdampak pada konsep Negara bangsa. Banyak intelektual yang menganggap bangsa sebagai “artefak sejarah”. Nasionalisme dianggap  sebagai gagasan usang alias ketinggalan zaman.

Ironisnya, meskipun dunia semakin maju dengan globalisasi dan teknologi informasi, kaum perempuan masih dibelenggu budaya kolot patriarki.

Kedua, penjajahan telah bersalin rupa dengan wajah baru, yakni neoliberalisme. Penjajahan sekarang tidak melulu memobilisasi serdadu dan meriam, tetapi menyelinap melalui perjanjian kerjasama ekonomi, Undang-Undang, atau paket-paket kebijakan.

Agenda-agenda kolonialisme di masa lalu, seperti perebutan sumber daya alam, tenaga kerja murah, dan pasar, sekarang mewujud dalam agenda neoliberalisme.

Neoliberalisme ini membawa dampak buruk terhadap rakyat, termasuk perempuan. Mulai dari kemiskinan, pengangguran, konflik sumber daya yang disertai kekerasan, hingga kerusakan ekologi. Perempuanlah yang paling rentan menjadi korban politik upah murah, pekerjaan tidak tetap (kontrak), dan eksploitas buruh migran.

Dua perkembangan penting di atas tentu saja mengubah persepsi banyak manusia abad 21 tentang bangsa. Bangsa tidak bisa lagi dibayangkan sebagai komunitas yang tetap, sebab globalisasi mendorong mobilitas dan konektivitas lintas-bangsa semakin cepat.

Begitu juga dengan persepsi ancaman. Tidak bisa lagi ancaman itu selalu dianggap ekspansi fisik dari luar batas teritorial sebuah bangsa atau Negara, tetapi bisa muncul melalui kebijakan ekonomi, politik, sosial, dan budaya.

Kepahlawanan Hari Ini

Bagi saya, pahlawan adalah mereka yang menyerahkan hidupnya untuk kemerdekaan, kemajuan, kesejahteraan, dan kemakmuran bangsanya. Seorang pejuang didorong oleh kecintaan dan ide luhur untuk kemajuan bangsanya. Dia berjuang tanpa mengharap pamrih.

Karena itu, untuk menggambarkan kepahlawanan perempuan hari ini, ada dua hal yang perlu didiskusikan.

Pertama, mendekonstruksi historiografi Indonesia yang terlalu maskulin, agar memberi tempat kepada keterlibatan dan peran perempuan. Agar kepahlawanan tidak melulu dari ukuran perjuangan bersenjata atau kehadiran di medang peperangan.

Kedua, perlu mendefenisikan peran dan kontribusi perempuan dalam konteks berbangsa dan bernegara hari ini. Kontribusi itu bisa berbentuk pengabdian yang tulus, kontribusi pikiran dan gagasan, hasil karya yang berguna, maupun prestasi yang mengharumkan nama bangsa.

Karena itu, seorang pahlawan hari ini tidak mesti lahir dari medang perang, tetapi bisa berasal dari ruang dimana orang-orang mengabdikan hidup, gagasan, atau karyanya untuk kemajuan bangsa dan kemakmuran rakyat.

Karena itu, dalam konteks Indonesia hari ini, agar perempuan bisa berkiprah dalam memajukan bangsa.

Pertama, perempuan harus lebih berpartisipasi dalam kehidupan publik. Karena itu, konstruksi sosial yang masih menempatkan perempuan di ranah domestik, sebagai pengurus rumah tangga, harus dianggap sebagai anggapan anti-kemajuan dan anti-nasionalisme.

Kedua, perempuan harus disokong untuk bisa mengembangkan dirinya. Untuk ini, Negara harus hadir membuka akses pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi seluas-luasnya.

Ketiga, perempuan harus terlibat dalam politik, agar bisa berkontribusi dalam merumuskan dan memutuskan berbagai kebijakan yang berkaitan dengan kemajuan bangsa dan kemakmuran rakyat.

Rini Hartono, S.PdDewan Pimpinan Pusat – Aksi Perempuan Indonesia (API) Kartini

Catatan: Artikel ini merupakan bahan presentasi dalam diskusi bertema “Memaknai Kepahlawanan Perempuan dalam Konteks Indonesia Hari Ini” di Ropisbak Gifhari/Warung Komando, di Jakarta, 6 November 2017.

0Shares
×

Salam Sejahtera

× Hai