Diena Mondong terpilih sebagai Ketua Umum dan Rini Hartono sebagai Sekretaris Jenderal Aksi Perempuan Indonesia (API) Kartini dalam Kongres I API Kartini yang diselenggarakan di Wisma PKBI, Jakarta Selatan.
“Mari kita sama-sama membangun API Kartini, untuk menjadi alat perjuangan perempuan dan rakyat menuju cita-cita kesetaraan dan kesejahteraan sosial,” kata Diena saat menyampaikan pidato singkatnya pasca terpilih pada penutupan Kongres I API Kartini, Sabtu (10/3/2018).
Kongres I API Kartini yang telah terselenggara pada tanggal 8-10 Maret 2018 mengusung tema yang berkaitan dengan momentum tahun politik, yaitu “Memajukan Politik Perempuan untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial.” Tema ini muncul dari keprihatinan bersama atas mandeknya angka keterwakilan perempuan dalam lembaga dan kontestasi politik.
“Keterwakilan perempuan di parlemen (DPR) nasional justru menurun, dari 18,21 persen di pemilu 2009 menjadi 17,32 di pemilu 2014. Sementara di parlemen lokal, lanjut dia, keterwakilan perempuan lebih rendah lagi: rata-rata 16,14 persen di DPRD provinsi dan 14 persen di DPRD kabupaten/kota,” jelas Diena.
Bagi Diena, minimnya keterwakilan perempuan dalam politik sangat berdampak pada kebijakan yang dihasilkan, “Karena suara perempuan kecil dalam pengambilan kebijakan, banyak sekali kebijakan yang tidak sensitif bahkan mendiskriminasi perempuan.”
Karena itu, lanjut ibu dari satu anak perempuan ini, API Kartini dalam salah satu resolusi Kongresnya menyerukan perempuan untuk ambil bagian dalam berbagai kontestasi politik, baik di komunitas, RT/RW, Pilkades, maupun Pilkada.
Memang keterlibatan perempuan dalam kontestasi politik masih terbilang kecil. Di Pilkada serentak 2018, hanya ada 101 perempuan atau 8,85% dari total 1.140 pendaftar bakal calon kepala daerah. Angka itu hanya naik sedikit dibanding pilkada-pilkada sebelumnya, yakni 2015 (7,47 persen) dan 2017 (7,17 persen). Sudah begitu, perempuan-perempuan yang ikut bertarung di gelanggang pilkada ini sangat sedikit yang mengangkat isu atau agenda politik perempuan. Merujuk ke temuan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), hanya ada 12 dari 23 calon terpilih dalam Pilkada 2017 yang mengusung isu yang berpihak pada perempuan dan perlindungan anak. Pada 2015, hanya 17 dari 45 calon yang punya keberpihakan pada isu perempuan.
Rini, Sekretaris Jenderal API Kartini yang baru mengatakan bahwa minimnya agenda politik perempuan yang diusung kandidat perempuan, antara lain, karena warisan Orde Baru yang memberangus organisasi perempuan dan melakukan politik depolitisasi.
“Orde baru memberangus organisasi perempuan yang berhaluan progressif, kemudian menerapkan depolitisasi. Jadi, kalau pun ada ormas perempuan yang boleh berdiri di zaman Orba, itu dijauhkan dari politik,” terang ibu dari seorang anak perempuan ini.
Persoalan lainnya, ungkap dia, biaya politik yang sangat mahal, sehingga mencegat partisipasi politik rakyat banyak, termasuk perempuan. Di sisi lain, karena hambatan patriarki, jarang sekali perempuan yang menjadi pemilik kekayaan atau aset ekonomi.
“Biaya kampanye terendah itu ditaksir Rp 15,7 milyar, bahkan di Jakarta mencapai Rp 50-60 milyar. Akibatnya, dalam banyak kontestasi politik, terutama Pilkada, perempuan yang ikut bertarung hanyalah dari golongan atas, baik ningrat maupun kaya,” terangnya.
Untuk itu, melalui keputusan Kongresnya, API Kartini mendorong perempuan untuk bertarung dalam kontestasi politik serta merekomendasikan pemberdayaan ekonomi perempuan melalui koperasi dan usulan pembentukan bank perempuan. API Kartini juga akan aktif memajukan perspektif politik perempuan melalui kursus politik, gerakan literasi di tiap basis, hingga edukasi politik berbasis teknologi informasi. Sementara itu, tingginya persoalan kekerasan terhadap perempuan menyebabkan API Kartini menginisiasi pembentukan Pos Bantuan Hukum di tiap kabupaten/kota.
“Pos bantuan hukum ini akan bekerjasama dengan lembaga terkait untuk memberikan advokasi hukum terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan,” jelasnya.
Kongres API Kartini juga menyimpulkan dua problem pokok yang mencekik kaum perempuan saat ini, yakni neoliberalisme dan populisme konservatif. Adapun slogan baru yang diusung API Kartini adalah: “Menangkan Pancasila: Wujudkan Kesejahteraan Gender dan Kesejahteraan Sosial”.
Mengenal Sosok Diena dan Rini
Diena dilahirkan di kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, pada 31 Desember 1985. Ia menuntaskan pendidikan dasar hingga menengah atas di kampung halamannya. Tahun 2003, dia melanjutkan studi di Fakultas Sastra Universitas Sam Ratulangi Manado. Kemudian, empati dan keberpihakannya pada persoalan rakyat membuatnya bergabung dengan Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND).
Di LMND, Diena bersentuhan dengan ide-ide progressif untuk perubahan sosial, termasuk feminisme. Tahun 2014, Diena berpartisipasi dalam Konferensi Nasional Perempuan di Jakarta. Konferensi inilah yang melahirkan API Kartini. Di kongres itu, Diena diberi mandat sebagai Sekretaris Jenderal.
Sedangkan Rini Hartono lahir di Nagahuta, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, pada 21 Februari 1990. Menamatkan pendidikan dasar hingga pendidikan menengah atas di Pematangsiantar. Tahun 2010, Rini mengambil studi Pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Simalungun. Selain urusan studi, dia ikut kegiatan seni di kampusnya melalui UKM Kebudayaan dan Musik (KBM) pada 2011. Kemudian, pada 2012, Rini bergabung dengan LMND. Sempat menjabat sebagai Bendahara LMND Kota Pematangsiantar.
Sama seperti Diena, Rini juga terpapar ide-ide progressif, termasuk feminisme, ketika bergabung di LMND. Dari situ, pada 2014, dia dan beberapa kawannya menginisiasi pembentukan organisasi perempuan lokal, yaitu Kelompok Studi Perempuan Pertiwi (KSPP). KSPP merupakan organisasi perempuan yang menarik puluhan mahasiswa perempuan di sejumlah kampus di Pematangsiantar, seperti USI, Universitas Nomensen, dan AMIK Multicom. Tahun 2014, Rini juga terlibat dalam menyiapkan Konferensi Nasional Perempuan. Usai Konferensi itu, dia ditunjuk sebagai Koordinator Hubungan Internasional DPP-API Kartini. ***
Terkait
Mary Jane Fiesta Veloso: Perjalanan Panjang Menuju Pembebasan
Orde Baru dan Depolitisasi Perempuan
Peringatan 16 HAKTP 2024