“Perempuan sulit mendapatkan akses ke kekuasaan politik karena berhadapan dengan hambatan internal dan eksternal. Ada “langit-langit kaca” (glass ceiling) yang membelenggu geraknya.”
Demikian kata pembuka yang disampaikan oleh Shelly Adelina dari Program Studi Kajian Gender Sekolah Kajian Strategik dan Global Universitas Indonesia dalam Diskusi Tematik Kongres I API Kartini yang membahas tentang “Strategi Memajukan Peran Politik Perempuan”.
Ibarat langit-langit kaca, situasi diluar dan langit yang terhampar terlihat jelas. Namun, sayang ada langit-langit kaca yang menghalangi gerak perempuan untuk menerobos dan melesat naik ke atas.
Menurut Shelly, perempuan masih berhadapan dengan budaya patriarkhi yang membelenggu dan berlapis-lapis. Di lapisan pertama, perempuan berhadapan dengan hambatan internal dirinya sendiri. Kemudian di lapis kedua, ada lingkungan (keluarga inti, keluarga besar dan masyarakat sekitar) yang juga menghambat. Lapisan ketiga, Shelly menyebutnya dengan lembaga-lembaga, seperti: politik, agama, adat dan budaya, sosial, media massa, keuangan/ekonomi, hukum dan pendidikan.
“Terakhir, di lapisan terluar hambatannya justru datang dari Negara dengan berbagai kebijakan legislasi seperti: UU Parpol, UU Pemilu, UU Pilkada, Permendagri tentang Pilkades, dan lain sebagainya,” tegas Shelly.
Bagaimana lapisan-lapisan patriarkhi mengontrol dan melemahkan perempuan? Pertama, kita bisa lihat bagaimana keluarga mengontrol perempuan. Keluarga adalah lembaga terkecil di masyarakat. Di dalam keluarga, kita untuk pertama kalinya mendapatkan pelajaran pertama mengenai hierarki, subordinasi, dan diskriminasi (nilai-nilai patriarkhi). Contohnya, anak laki-laki belajar memaksa dan berkuasa, sedangkan anak perempuan belajar mematuhi, dan diperlakukan tidak sederajat.
Agama yang sejatinya memandang sama pada semua manusia baik laki-laki maupun perempuan, namun semua interpretasi atas agama justru menganggap perempuan rendah (subordinat), kotor, dan berdosa (pembawa dosa asal). Bahkan ada interpretasi atas agama yang membenarkan cara kekerasan terhadap perempuan sebagai “cara mendidik”.
“Di politik, hampir semua lembaga politik di semua tingkatan, di dominasi laki-laki, mulai dari tingkat desa sampai parlemen karena akses menuju ke lembaga kekuasaan “didisain” sangat maskulin. Jika ada sosok pemimpin perempuan seperti Megawati Soekarnoputri, Indira Gandhi, Benazir Bhutto, rata-rata kepemimpinannya karena hubungan mereka dengan laki-laki yang pribadi politiknya kuat (ayah atau suami),” lanjutnya.
Di tingkat negara, kita mencatat adanya kebijakan-kebijakan publik yang dihasilkan di berbagai tingkatan masih sarat akan bentuk ketidakdilan gender. Tercatat ada sekitar 421 kebijakan Pemda yang diskriminatif terhadap perempuan (Komnas Perempuan, 2016).
“Nah, akibat dari lapisan patriarkhi ini, perempuan lemah pada tiga modalitas untuk menuju ke kekuasaan politik, yaitu: modal politik, modal sosial dan modal ekonomi, “ tegas Shelly.
Di akhir diskusi Shelly melontarkan sebuah pemikiran tentang perlunya menghadirkan strategi baru selain PUG (pangarusutamaan gender) untuk mengupas habis lapisan-lapisan patriarkhi yang selalu menghadang gerak laju perempuan agar berdaya di berbagai aspek, yakni politik, ekonomi, hukum, dan sosial-budaya. Serta perlunya strategi mengatur pembagian peran gerakan perempuan di berbagai lapisan patriarkhi tersebut.***
*Materi disampaikan oleh Shelly Adelina dalam Diskusi Tematik Kongres I API Kartini yang bertema: “Strategi Memajukan Peran Politik Perempuan” pada Hari Kamis, 8 Maret 2018 di Wisma PKBI, Jakarta Selatan.
Terkait
Cerita Perempuan Batulawang, Memperjuangkan Hak Atas Tanah
Resensi Buku: Menghadang Kubilai Khan
Sunat Perempuan, Tradisi Berbalut Agama yang Membahayakan