Kongres I API Kartini menyimpulkan bahwa ada 2 (dua) problem pokok masyarakat, termasuk problem kaum perempuan, yaitu: ketimpangan dan kemiskinan yang merupakan buah dari neoliberalisme dan bayang-bayang populisme konservatisme (neo konservatisme).
Ketika masa Kartini, perempuan pribumi berhadapan dengan problem budaya patriarkhi yang dilanggengkan oleh kaum feodal bangsawan dan kolonial Belanda. Kini, setelah 72 tahun Indonesia merdeka kaum perempuan masih termarginal baik di lapangan politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Ketimpangan dan kemiskinan yang menjadi buah dari neoliberalisme kini semakin diperkeruh oleh bayang-bayang gelap konservatisme dengan maraknya gerakan intoleransi yang mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kesimpulan tersebut ditegaskan kembali oleh Musdah Mulia, anggota Komisi Kebudayaan AIPI dalam bahan presentasinya yang berjudul “Perempuan dalam Terorisme di Indonesia”, yang disampaikan pada Diskusi Tematik III Kongres I API Kartini di Wisma PKBI, Jumat, (9 Maret 2018).
“Posisi perempuan sangat rentan dalam gerakan-gerakan intoleransi yang sekarang ini sedang marak. Gerakan intoleransi ini menempatkan perempuan sebagai obyek (korban) maupun sebagai subyek atau pelaku,” kata Musdah Mulia dalam Diskusi Tematik Kongres I API Kartini di Wisma PKBI, Jum’at, 9 Maret 2018.
Di lapangan politik, banyak yang menjual kesalehan dan religiusitas dalam panggung-panggung politik. Konservatisme juga muncul dari cara pandang yang puritan dalam melihat aspek kehidupan sosial termasuk perempuan. Hal ini berdampak pada banyaknya kebijakan-kebijakan publik yang merendahkan bahkan berpotensi mengkriminalkan kaum perempuan. Data Komnas Perempuan tahun 2016 menyebutkan bahwa ada 421 kebijakan Pemda atau Peraturan Daerah (Perda) yang diskriminatif terhadap perempuan.
Narasi ketidakadilan dan ketimpangan sosial yang tajam seringkali dimanfaatkan oleh kelompok pro intoleransi ini untuk menyerang negara dan mengajak kepada ide-ide khilafah. Melalui provokasi via internet dan video yang memukau banyak kaum perempuan yang dengan rela hati meninggalkan zona nyaman dan bergabung dengan ISIS.
Mengapa perempuan menjadi kelompok rentan (the vulnerable groups) dari isu intoleransi atau terorisme?
Menurut Musdah, secara sosiologis perempuan mudah mengakses sosmed, tapi kemampuan literasinya rendah. Sehingga mereka mudah menerima berita dan paham keagamaan via situs-situs radikal tanpa nalar yang kritis.
Umumnya TKW yang terpapar isu intoleransi dan terorisme ini, mereka mengalami berbagai trauma psikologis selama bekerja di luar negeri. Kondisi ini membuat mereka mudah menerima pengaruh apa pun yang dianggap dapat menolong. Perempuan juga butuh mekanisme pertahanan diri (self defence mechanism) untuk bertahan dari berbagai tekanan sosial.
“Selain itu, memang ada strategi dan taktik NIIS Internasional yang menggunakan perempuan dalam peran-peran kombatan sebagai pasukan artileri dan pelaku bom bunuh diri,” terang Musdah.
“Mengapa isu intoleransi dan terorisme ini menarik? Selain faktor ideologis dan teologis yang memicu, kita juga perlu melihat faktor sosial ekonomi. Di mana, ada fakta bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi kita yang lamban, pendapatan masyarakat yang rendah, angka kemiskinan dan pengangguran tinggi, serta tingkat pendidikan rata-rata yang tidak memadai sangat berpengaruh buruk bagi kehidupan masyarakat,” terangnya.
Kondisi buruk tersebut berdampak secara keseluruhan terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) suatu negara. Kondisi ini berkorelasi positif dengan maraknya intoleransi dan kekerasan di masyarakat. Oleh karena itu, Musdah menyampaikan perlunya program-program advokasi ekonomi yang dipadukan dengan program advokasi hukum dan sosial yang dipadukan dengan nilai-nilai multikulturalisme.
Untuk mencegah meluasnya gerakan intoleransi dan terorisme, Musdah menekankan: (1) perlunya upaya pemberdayaan dengan sentuhan kemanusiaan dan memberi tempat kepada mereka yang teralienasi dalam pergaulan sosial arus-utama, (2) perlu serius mengatasi masalah struktural yang berdampak terhadap munculnya berbagai ketimpangan dan ketidakadilan, (3) pemerataan pertumbuhan ekonomi dan berkelanjutan sebagai instrumen penting bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat secara signifikan, dan (4) penegakan hukum yang tegas dan jaminan kesetaraan gender di depan hukum serta meminta negara hadir dengan jaring pengaman sosial yang kuat dan redistribusi kekayaan melalui sistem pajak progresif.
“Kita perlu mendesak pemerintah (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk menegakkan nilai-nilai Pancasila, konstitusi, prinsip demokrasi dan pemenuhan HAM. Mendesak pelaku ekonomi menegakkan keadilan sosial dan pemerataan kesejahteraan serta mencegah ketimpangan ekonomi. Mendesak pemuka agama mensosialisasikan ajaran agama yang humanis dan pluralis, “ seru Musdah kepada semua pihak.
Musdah Mulia menyeru kepada seluruh masyarakat untuk berani bicara dan menegakkan budaya damai***
Terkait
Film Bolehkah Sekali Saja Ku Menangis, Keberanian Melawan KDRT dan Trauma
Kepemimpinan Perempuan, Menuju Maluku Utara Adil Makmur
Sherly Tjoanda Laos: Usung Perubahan Maluku Utara