20 April 2024

Perjuangan Buruh Migran Perempuan

0Shares

“Akar persoalan rakyat Indonesia diberbagai sektor terletak pada praktek neoliberalisme. Pemerintah sebagai kepanjangan tangan kepentingan neolib banyak menghasilkan kebijakan-kebijakan di bidang politik, ekonomi yang berpengaruh pada kehidupan sosial kemasyarakatan. Yang kemudian sangat berdampak pada rakyat termasuk didalamnya buruh migran perempuan.”

Pernyataan tersebut disampaikan oleh Diena Ch. Mondong, Ketua API Kartini dalam Diskusi yang bertema: “Sejarah Panjang Buruh Perempuan” yang diselenggarakan oleh Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) di Sekretariat Pengurus Pusat GMKI, Jalan Salemba Raya No. 10, Jakarta Pusat, pada Sabtu, 24 Maret 2018.

Menurut Diena, konsekwensi dari berlakunya sistem neolib dapat dilihat pada munculnya kebijakan politik seperti pasar bebas berimbas disektor buruh, semisal outsourching. Dalam sistem pendidikan, angka masyarakat buta huruf dan jenjang pendidikan rendah didominasi oleh perempuan. Pendidikan yang rendah pada perempuan ini menjadi alasan bagi perempuan mendapatkan upah murah dan tidak sama dengan laki-laki. Undang-undang yang dibuat pun tidak benar-benar mengakomodir kepentingan dan perlindungan yang maksimal kepada buruh migran.

Kebijakan Ekonomi, dapat kita lihat adanya privatisasi BUMN, dan pengambilan lahan-lahan produktif untuk kepentingan industrial yang berdampak pada terjadinya penyingkiran  perempuan sebagai pelaku-pelaku kerja di bidang pertanian dan UKM-UKM. Kedua hal tersebut menyebabkan penumpukan tenaga kerja produktif tetapi tidak ada lapangan pekerjaan alias pengangguran. Sedangkan, dalam bidang sosial, konstruksi sosial yang terbangun dari budaya patriaki menganggap perempuan hanya dianggap sebagai pencari ekonomi tambahan keluarga. Ada anggapan setinggi apapun jengjang pendidikan perempuan tetap juga akan kembali pada urusan domestik.

“Tidak mengherankan apabila Indonesia merupakan negara pensuplai buruh Migran terbesar didunia. Data 2017, ada sekitar 7,5 juta buruh migran yang 70% adalah perempuan dan lebih dominan bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT),” lanjut Diena.

Karena akar persoalan ini belum tertuntaskan hingga menyebabkan pemerintah belum bisa mengakomodir sepenuhnya kepentingan-kepentingan buruh. Kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah seperti undang-undang PTKLN hanya berisi soal tempat dan negara tujuan buruh migran, belum ada regulasi yang jelas mengatur soal perlindungan  buruh migran. Belum lagi kurangnya pengawasan pemerintah terhadap perusahan-perusahaan swasta sebagai penyalur tenaga kerja ke luar negeri yang kadang mengabaikan syarat-syarat pelatihan untuk calon-calon buruh Migran perempuan sehingga buruh migran rentan terhadap kekerasan, penganiayaan bahkan penghilangan nyawa oleh majikan. Bahkan masih terdapat penyalur-penyalur buruh migran ilegal yang akan berdampak pada sulitnyanya penyelesaian kasus buruh migran.

 

Apatisme Kaum muda millenials

Perkembangan teknologi dan salah kaprah pemanfaatan media teknologi oleh kaum muda berpengaruh pada melemahnya daya kritis kaum muda. Disini, Neolib memiliki peran penting terhadap rekonstruksi sosial dalam hal pemanfaatan teknologi. Dimana kemudian kaum muda terbawa arus ketertarikan terhadap sajian-sajian yang nilai edukatifnya rendah. Terjadi pengalihan dari budaya bersosialisasi menjadi apatisme. Apatisme pada situasi dan kondisi masyarakat termasuk apatisme pada kasus-kasus buruh migran perempuan.

“Untuk itu, kita harus mulai menanamkan kesadaran dan sikap kritis kepada generasi muda terutama generasi millennial yang lebih peka dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehingga, cara-cara kita membangun kesadaran di kalangan muda-pun harus kekinian dan millennial. Diskusi, bedah buku, analisa film dan video, infografis, dan gambar-gambar animasi tentang persoalan-persoalan buruh terutama buruh migran juga harus menyasar kepada kaum millennial ini. Agar mereka mempunyai kepekaan dan keberpihakan atas nasib dan penderitaan kaum buruh migran perempuan,” terangnya.

Rata-rata buruh migran perempuan kita yang bekerja di luar negeri adalah Pekerja rumah Tangga (PRT) yang rentan oleh kekerasan dari majikan. Selama ini, anggapan bahwa pekerjaan domestik atau pekerjaan rumah tangga dianggap pekerjaan yang hina sehingga upahnya-pun rendah. Disinilah, perlunya ada sistem pengupahan yang layak dan setara pada buruh perempuan, termasuk PRT.

“Saat ini, kawan-kawan aktivis buruh dan PRT sedang memperjuangkan perubahan nasib mereka melalui diusulkannya RUU PRT. Sehingga kita harus mendukung perjuangan mereka untuk mendapatkan pengakuan bahwa Pekerja Rumah Tangga (PRT) adalah manusia yang bermartabat dan memiliki hak yang sama dengan para pekerja lainnya. Kita harus bersatu mendukung perjuangan untuk pengesahan Rancangan Undang-Undang Pekerja Rumah Tangga (RUU PRT),” kata Diena.

Negara harus hadir memberi jaminan perlindungan kepada para buruh migran kita yang bekerja di luar negeri untuk bisa bekerja dengan aman tanpa ancaman kekerasan dari majikan dan tempat kerja. Sehingga tidak muncul kasus-kasus Adelina baru, yang bekerja ke luar negeri dengan harapan mendapatkan penghasilan namun ternyata pulang ke Indonesia dalam kondisi sudah tak bernyawa lagi.

“Negara tidak boleh abai dalam memberikan jaminan perlindungan kepada rakyatnya. Negara juga harus memanusiakan buruh migran yang telah berjasa memberikan sumbangan pada pendapatan negara yang sangat besar. Negara harus bisa mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.  Karena hanya dengan perwujudan kesejahteraan sosial dan keadilan di bumi Indonesia tercinta inilah, maka rakyat akan menjadi tuan rumah di negeri sendiri,” pungkas Diena.***

 

 

 

0Shares
×

Salam Sejahtera

× Hai