Oleh: Ernawati*
Persoalan di negeri ini bagai jamur di musim hujan, bermunculan dengan subur di berbagai lokasi. Sekilas, tampaknya serupa tapi ternyata tidak sama. Baik di dalam satu wilayah lokal, maupun jika dibandingkan dengan kasus di wilayah lain. Walaupun muara awalnya adalah tanah dan ekonomi. Ruang hidup. Beranjak dari hal ini mulai muncul pandangan kritis mengenai apa sebetulnya yang sedang terjadi di Negri ini. Perubahan apa yang sebetulnya sedang terjadi. Rakyat, tehnologi dan kesejahteraan, adakah korelasinya?
Lantas bagaimana kaum perempuan seharusnya menyikapi hal ini. Atau apa yang harus dilakukan oleh kaum perempuan pada umumnya untuk mengatasi persoalan yang sedang dihadapi sendiri oleh kaum perempuan. Kembali kilas balik pada sejarah gerakan perempuan, kita dapat mempelajari apa yang menjadi latar belakang perempuan berinisiatif melakukan perjuangan.
Pada masa kolonialisme, kembali di jaman Kartini, perbedaan status kelas atas dan bawah begitu mengganggu pikirannya, dan pembatasan dirinya sebagai perempuan juga membuatnya gusar. Sejak itu ia mulai melakukan pendobrakan pada sistem patriarkhi. Di tahap selanjutnya, kala perempuan bergerak semakin maju dan membentuk berbagai organisasi, tuntutan yang disuarakan adalah pendidikan untuk anak perempuan, penjelasan arti taklik pada mempelai perempuan dan tunjangan untuk janda dan yatim piatu. Organisasi perempuan juga mendesakkan tuntutan untuk ikut dalam pemilu sehingga diperbolehkan duduk dalam Dewan Gemeenteraad (DPRD tingkat II) pada masa kolonialisme Belanda.
Sesudah tahun 1930an, tuntutan lebih radikal pada penghapusan poligami, menentang pernikahan dibawah umur serta kesetaraan di berbagai bidang. Hingga muncul kesadaran nasionalisme dan gerakan berubah menjadi gerakan untuk terlibat dalam perjuangan pembebasan nasional. Pada konggres tahun 1938, mengajukan tuntutan mengenai hak pilih dan mencalonkan Maria Ulfah Santosa untuk duduk di Dewan Volkskraat.
Pada masa orde baru, gerakan perempuan bangkit kembali dan memfokuskan isu pada persoalan yang dihadapi perempuan di berbagai sektor seperti buruh dan tani. Perampasan tanah yang marak terjadi pada masa awal orde baru mendorong gerakan perempuan untuk ikut menyuarakan tuntutan terhadap keadilan bagi rakyat. Berbagai aksi dilakukan dan jamak pada masa itu tejadi penangkapan dan pemukulan pada aktivis termasuk aktivis perempuan.
Kasus kekerasan terhadap Perempuan kian marak. Di sektor buruh, kaum perempuan menghadapi tekanan berupa rendahnya upah dan diskriminasi. Dari tahun ke tahun semakin banyak kaum perempuan yang terserap di berbagai sektor dengan berbagai persoalan yang menimpa . Di sektor tambang, buruh informal, termasuk pekerja rumah tangga, buruh rumahan dan sektor jasa. Hingga kini, kekerasaan masih mendominasi. Perkosaan menempati posisi tertinggi sebanyak 1.389 kasus, diikuti pencabulan sebanyak 1.266 kasus. Dan tahun ini pelaku kekerasan seksual tertinggi terhadap Perempuan adalah pacar sebanyak 2.017 orang. Dengan kata lain, tindakan pemerkosaan dan kekerasan dilakukan atas nama Cinta
Pada masa sesudah reformasi, dinamika ekonomi dan politik Indonesia membawa kian banyak kaum perempuan yang menempati posisi strategis di pemerintahan. Namun ironisnya, masih terdapat sekian juta perempuan yang menderita karena kemiskinan. Kaum perempuan kelas bawah dihadapkan pada pergulatan untuk mencari nafkah dengan berbagai cara, pedagang eceran, buruh pabrik, buruh rumah tangga, buruh rumahan, buruh tani, hingga jasa seks dan menjalani nasib buruk ketika mendapati diri sebagai korban traficking. Termasuk buruh migran, bukan berita baru mengenai kekerasan dan eksploitasi yang harus mereka terima
Gerakan Perempuan Kini
Kodrat perempuan adalah berjuang. Dan saya yakin, semangat ini ada pada semua perempuan istimewa yang namanya terukir dalam sejarah. Saya tidak mengenal Yu Padmi secara pribadi, begitu pula, saya tidak mengenal Ratu Shima, Cut Nyak Dhien maupun Kartini. Tapi saya menghormati beliau karena Yu Padmi dan semua tokoh itu telah memenuhi kodratnya sebagai perempuan, yaitu berjuang. 7 hari telah berlalu. Kini kita menapaki hari menuju 40 hari kepergian Yu Padmi. Mengenang Yu Patmi mampu membuat kita menitikkan airmata tapi bukan untuk meratapi kepergiannya melainkan pada pengorbanan nya. Entah berapa banyak lagi rakyat yang harus dikorbankan demi Indonesia yang lebih maju, modern dan kota-kota metropolis nya. Indonesia yang lebih berdaulat dan mandiri dan sejahtera rakyatnya? Berapa persen rakyat yang menikmati hasil kekayaan alam bumi Indonesia? Berapa banyak ruang hidup yang tergusur karena perampasan tanah dan pengerukan tambang? Apakah rakyat hidup sejahtera, makmur dan berkeadilan?
Pada Yu Patmi kita belajar mengenai arti keteguhan. Saat membenamkan kaki disemen, Ia sedang menancapkan lebih dalam lagi arti kegigihan dalam berjuang. Teguh dalam kebenaran yang Ia yakini, bahwa kita membutuhkan alam untuk keberlangsungan generasi mendatang. kita patut mengagumi keteguhannya. Keteguhan yang kita butuhkan untuk membangun gerakan ke depan. Apa yang harus kita lakukan? Banyak, masih banyak yang harus kita lakukan.
Gerakan perempuan masih diperlukan namun tidak untuk berdiri sendiri karena pembebasan perempuan bukan dimaksudkan sebagai pembebasan individu, baik individu sebagai perempuan maupun sebagai sebuah gerakan.
Watch your thought for they become words
Watch your words for they become actions
Watch your actions for they become habits
Watch your habits for they become characters
Watch your characters for they become Destiny
What we think we become
Dikutip dari film The Iron Lady yang mengisahkan tentang perjalanan politik Margareth Thatcher. Perdana Mentri Inggris yang memiliki masa jabatan terpanjang di negaanya. Terlepas dari pro-kontra, harus diakui bahwa Thatcher adalah sosok perempuan yang berani mempertahankan prinsip dan melakukannya.
Selain Thatcher ada pula sosok perempuan berani lainnya, sebut saja di Jerman, ada Angela Merkel yang disebut sebagai politisi perempuan paling berpengaruh di dunia. Chancellor perempuan pertama yang awalnya banyak diragukan oleh berbagai pihak namun dengan berani ia mengatakan ‘You could certainly say that I’ve never underestimated myself,’ ‘There’s nothing wrong with being ambitious’ saat diwawancarai oleh majalah TIME. Masih banyak lagi sosok-sosok perempuan hebat yang menduduki posisi pemimpin di berbagai negara (TIME Magazine online : 13 Womens Top Leader in the world)
Di Asia sendiri kita mengenal Benazir Bhutto, Aung San Su Kyii, Megawati Sukarno Putri, bahkan juga seorang perempuan renta yang baru-baru ini pembebasannya ditunda oleh Majelis PBB, Ieng Thirith. Ieng pernah dikenal sebagai Ibu Negara Kamboja. Di negara kita, sejak jaman Sukarno kita sudah mengenal SK Trimurti yang menjabat sebagai mentri perburuhan. Para perempuan ini menunjukkan dan membuktikan bahwa kaum perempuan pun memiliki kemampuan untuk memimpin (terlepas dari kenyataan bahwa seringkali jabatan diperoleh karena adanya garis keturunan). Sosok-sosok ini tampil secara berani dan memberikan kontribusi yang berbeda di negaranya. Saat inipun di beberapa negara tampil sosok perempuan muda yang terpilih untuk menjadi pimpinan.***
Terkait
Cerita Perempuan Batulawang, Memperjuangkan Hak Atas Tanah
Resensi Buku: Menghadang Kubilai Khan
Sunat Perempuan, Tradisi Berbalut Agama yang Membahayakan