12 Desember 2024

Kemunduran Politik Perempuan

Dokumentasi; Kongres I API Kartini

0Shares

Oleh: Rini Hartono*

 

Derap langkah politik perempuan sejak 2014 hingga sekarang, yang diukur dengan keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga politik, mengalami stagnasi.

Lihat saja di Pemilu 2014. Keterwakilan perempuan di parlemen (DPR) nasional justru menurun, dari 18,21 persen di pemilu 2009 menjadi 17,32 di pemilu 2014. Sedangkan di parlemen daerah lebih rendah lagi: rata-rata 16,14 persen di DPRD provinsi dan 14 persen di DPRD kabupaten/kota.

Di jabatan eksekutif, Data Badan Kepegawaian Negeri (BKN) 2012-2014 menunjukkan, bahwa semakin tinggi posisi jabatan di birokrasi, jumlah perempuan semakin sedikit. Hanya 22,38 persen jabatan struktural diisi oleh perempuan, sedangkan proporsi terbesar perempuan pejabat struktural berada pada jenjang bawah, yaitu eselon III dan eselon IV.

Dalam kontestasi Pilkada, partisipasi perempuan juga tetap stagnan. Pilkada serentak 2018 setidaknya akan diikuti oleh 101 perempuan, atau 8,85% dari total 1.140 pendaftar bakal calon kepala daerah. Angka itu hanya naik sedikit dari pilkada-pilkada sebelumnya,  yakni 2015 (7,47 persen) dan 2017 (7,17 persen).

Situasi ini diperparah dengan minimnya keterwakilan perempuan di lembaga penyelenggara Pemilu, yakni KPU dan Bawaslu. Di kedua lembaga itu, masing-masing hanya punya 1 orang Komisioner Perempuan.

Di sini ada beberapa persoalan. Pertama, ada kemunduran regulasi. Dalam hal ini, UU N0.7/2017 tentang pemilu hanya mensyaratkan kuota 30 persen perempuan di kepengurusan parpol di tingkat pusat, tidak sampai ke Provinsi dan Kabupaten/Kota. Ditambah lagi, akomodasi kuota 30 persen perempuan di kepengurusan partai banyak yang sekedar formalitas, yakni mengikuti perintah UU, tetapi tidak disertai dengan penguatan kapasitas dan pelibatan perempuan dalam pengambilan kebijakan strategis partai.

Kedua, biaya kontestasi politik sangat mahal. Di sisi lain, karena hambatan patriarki, jarang sekali perempuan yang menjadi pemilik kekayaan atau aset ekonomi. Hasil temuan Perludem, rata-rata biaya kampanye yang ditaksir sekitar Rp 15,7 miliar. Adapun di Jakarta, dana kampanye berkisar Rp50-60 miliar. Akibatnya, dalam banyak kontestasi politik, terutama Pilkada, perempuan yang ikut bertarung hanyalah dari golongan atas, baik ningrat maupun kaya.

Hasil penelitian Perludem menunjukkan, rata-rata kekayaan dari perempuan yang ikut berlaga di Pilkada 2017 berkisar di angka Rp 10,8 miliar. Kekayaan tertinggi dimiliki oleh calon wakil bupati Gorontalo Utara, Suhelah, senilai Rp71,4 miliar. Kekayaan terkecil dimiliki oleh calon wakil Bupati Parigi Moutong, Yufni Bungkundapu, senilai Rp99,6 juta.

Ketiga, banyak calon/kandidat perempuan yang tidak punya agenda maupun kepedulian terhadap isu perempuan dan anak. Perludem mencatat, hanya ada 12 dari 23 calon terpilih dalam Pilkada 2017 yang mengusung isu yang berpihak pada perempuan dan perlindungan anak. Pada 2015, hanya 17 dari 45 calon yang punya keberpihakan pada isu perempuan.

Kongres I API Kartini membaca adanya problem kemunduran politik perempuan. API Kartini sebagai wadah perjuangan kaum perempuan merumuskan beberapa resolusi untuk mendorong partisipasi politik perempuan mulai dari tingkat komunitas hingga nasional.

Resolusi API Kartini untuk Memajukan Partisipasi Politik Perempuan:

Pertama, Mendorong perempuan untuk terlibat dalam berbagai kontestasi politik di tingkat komunitas (RT/RW), Pilkades, hingga Pilkada.

Kedua, Mendukung caleg perempuan yang punya agenda dan kepedulian terhadap isu perempuan dan anak;

Ketiga, Mendukung Capres-Cawapres yang punya agenda dan kepedulian terhadap isu perempuan dan anak.

 

*Penulis adalah Sekertaris Jenderal API Kartini terpilih dalam Kongres I API Kartini Periode 2018-2021

0Shares
×

Salam Sejahtera

× Hai