Dalam rangka memperingati Hari Kartini, API Kartini menyelenggarakan Diskusi Publik bertema: “Gerakan Perempuan dan Semangat Kartini Hari ini” disertai pemutaran film berjudul “The Impossible Dream” bertempat di Studio Sang Akar, Sabtu (21/4/2018).
Tanggal 21 April telah ditetapkan sebagai Hari Kartini pada tahun 1964. Sejak saat itulah bangsa Indonesia memperingatinya sebagai momentum pengingat komitmen bangsa ini untuk mewujudkan kesetaraan gender.
Namun, sudah seabad lebih sejak Kartini menggoreskan pikiran dan cita-citanya, bangsa ini belum berhasil mewujudkan kesetaraan gender. Di sana sini masih ada diskriminasi dan ketidakadilan.
Bagaimana mengambil api semangat dan gagasan Kartini untuk menjawab persoalan kebangsaan hari ini, terutama yang dihadapi oleh kaum perempuan?
Nuraini Hilir sebagai narasumber pertama menyampaikan, “Dari film tadi kita melihat bahwa ketidakadilan gender itu terjadi setiap hari di sekitar kita. Pertanyaannya, apakah kita akan melawan atau tidak? Kartini melawannya dengan cara menulis dan tulisannya ditujukan kepada orang banyak. Sehingga 100 tahun lebih kita masih bisa membaca tulisan-tulisannya.”
Menurut Nuraini, Kartini adalah perempuan hebat, dia tak sekedar mengurus baju atau kebaya tetapi Kartini mengurus sekolah, memikirkan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, memikirkan bagaimana agama itu membuat masyarakatnya menjadi lebih bermartabat.
Sayangnya ada masa dimana pikiran, ide dan gagasan Kartini direduksi hanya dengan simbol kebaya saja. Kita memperingati hari lahirnya Kartini tetapi asing dengan pikiran-pikiran Kartini.
Barulah di era reformasi kita bisa membaca dan mendiskusikan pikiran-pikiran Kartini. Pasca Reformasi mulailah diperingati Hari Kartini secara berbeda dan tak lagi identik dengan kebaya dan lomba masak nasi goreng.
“UUD 1945 sebagai pondasi kita dalam bernegara memberi ruang yang sama dan tidak membedakan antara laki-laki maupun perempuan. Sehingga pertanyaannya, kenapa keterlibatan perempuan di dunia politik sangat kecil?” tanya Nur.
Pemilu 2015, dari 560 kursi DPR yang diperebutkan ternyata hanya ada 97 kursi yang berhasil diduduki perempuan. Kemudian, jika dilihat di PDI Perjuangan, dimana Nuraini Hilir bernaung, Dari 109 kursi DPR yang diperebutkan hanya ada 19 kursi yang diduduki perempuan.
Undang-Undang Pemilu memang sudah memberikan kuota 30% bagi perempuan, tetapi ketika kemampuan ekonomi perempuan rendah, kemampuan berpolitiknya juga boleh dibilang pas-pasan atau di bawah rata-rata maka jelas posisi perempuan di politik kalah bersaing dengan laki-laki.
“Start antara perempuan dan laki-laki di politik berbeda, laki-laki sudah berpolitik sejak era kemerdekaan. Sedangkan perempuan punya masa di mana gerakan perempuan pernah di bungkam di era Orde Baru,” lanjutnya.
Rata-rata perempuan yang bisa menempati posisi strategis adalah yang punya keturunan, keluarga, dan hubungan dengan para politisi laki-laki yang sudah punya nama besar. Hanya sedikit perempuan politisi yang berangkat dari kesadaran untuk memperjuangkan dan merubah nasib kaumnya.
Perubahan tidak bisa diciptakan sendirian, kaum perempuan harus bersama-sama mendorong dan mendukung kader-kader perempuan yang maju agar mau tampil dalam kancah politik, sebagai DPR maupun DPD.
“Semakin banyak perempuan yang sadar dan masuk ke ranah publik, agar bisa berkontribusi dan membuat kebijakan yang berpihak pada perempuan maka peluang perubahan akan semakin besar. Caranya, bisa dengan aktif di RT/RW, sebagai kader PKK, sebagai kader politik, dan sebagainya,” tegasnya.***
Terkait
Cerita Perempuan Batulawang, Memperjuangkan Hak Atas Tanah
Resensi Buku: Menghadang Kubilai Khan
Sunat Perempuan, Tradisi Berbalut Agama yang Membahayakan