Berdasarkan data SDKI, 17 persen perempuan usia 20-24 tahun yang pernah kawin, menikah sebelum usia 18 tahun. Hal ini berarti 340.000 perkawinan di Indonesia terjadi pada anak perempuan berusia dibawah 18 tahun. Sementara itu data Susenas 2012 menyebutkan, 25 persen perempuan usia 20-24 tahun yang pernah kawin, menikah sebelum usia 18 tahun.
Masih tingginya usia perkawinan anak di Indonesia ini disebabkan oleh ketidaksetaraan gender dan bagaimana masyarakat memandang perempuan dan anak. Selama ini sebagian masyarakat masih beranggapan bahwa peran perempuan adalah sebagai istri dan ibu. Sehingga perempuan berkemungkinan lebih tinggi untuk dinikahkan pada usia muda.
Pandangan masyarakat tersebut juga berdampak pada kecilnya perempuan untuk mendapatkan akses pendidikan dan ketrampilan. Dibandingkan dengan anak laki-laki, anak perempuan terkena dampak yang lebih berat karena mereka yang melahirkan anak dan bertanggung jawab terhadap rumah tangganya.
Meskipun perkawinan usia anak merupakan masalah penting di Indonesia, namun tingkat penerimaan dan praktik perkawinan usia anak berbeda-beda di seluruh Indonesia. Usia perkawinan sangat dipengaruhi oleh adat istiadat atau kepercayaan setempat dan agama. Di beberapa daerah, adat-istiadat setempat banyak menyebabkan anak perempuan menikah dengan pria yang jauh lebih tua. Akan tetapi riset juga menunjukkan bahwa beberapa remaja memilih untuk menikah atas keinginan orang tua mereka karena adanya stigma di masyarakat tentang ‘perawan tua’ yang tidak menikah, kekhawatiran akan kehamilan atau pengenalan seks pranikah dan kemiskinan.
Praktik perkawinan usia anak di Indonesia bersifat kompleks dan mencerminkan keragaman nilai dan norma sosial di Indonesia.
Kemiskinan
Riset menunjukkan bahwa anak-anak perempuan miskin dan terpinggirkan di Indonesia menghadapi risiko paling tinggi terhadap perkawinan usia anak. Kehamilan remaja juga lebih banyak terjadi pada anak-anak perempuan yang berpendidikan rendah yang berasal dari rumah tangga miskin dibandingkan dengan anak-anak perempuan yang berpendidikan tinggi dari rumah tangga kaya.
Beberapa orang tua menikahkan anak perempuan mereka sebagai strategi untuk mendukung kelangsungan hidup ketika mengalami kesulitan ekonomi. Orang tua juga menikahkan anak perempuannya karena percaya bahwa ini cara terbaik untuk memperbaiki taraf ekonomi keluarga.
Undang-Undang Perkawinan
Beberapa waktu yang lalu kalangan aktifis gerakan perempuan dan pemerhati masalah anak mengajukan uji materi terhadap Pasal 7 Undang-Undang Perkawinan Indonesia tahun 1974 yang mengatur batas minimum usia perkawinan.
Pasal ini telah menimbulkan perdebatan yang cukup intensif, karena dengan persetujuan orang tua, perempuan dapat menikah secara sah pada usia 16 tahun dan laki-laki pada usia 19 tahun. Bahkan, orang tua anak perempuan yang berusia di bawah 16 tahun bisa menikahkan anak perempuannya dengan mengajukan permohonan kepada petugas perkawinan atau pengadilan negeri agama untuk memberikan dispensasi.
Sayangnya, uji materi tersebut ditolak oleh Mahkamah Konstitusi pada tanggal 18 Juni 2015. Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa perubahan usia perkawinan merupakan wewenang DPR.
Dari gambaran di atas menunjukkan bahwa UU Perkawinan tidak hanya gagal memenuhi ambang batas usia 18 tahun untuk perkawinan yang direkomendasikan oleh KHA yang diratifikasi oleh Indonesia. UU Perkawinan juga bertentangan dengan UU Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mengharuskan orang tua mencegah perkawinan usia anak (Pasal 26, 1c) dan mendefinisikan anak sebagai setiap orang dibawah usia 18 tahun (Pasal 1 ayat 1).
Selain itu, UU Perkawinan juga menetapkan usia perkawinan yang lebih rendah untuk anak perempuan daripada anak laki-laki. Oleh karena itu, anak perempuan lebih rentan terhadap akibat buruk dari perkawinan usia anak daripada anak alaki-laki.
Usia minimum yang berbeda antara anak perempuan dan anak laki-laki juga mencerminkan pandangan diskriminatif dan merugikan karena anak perempuan boleh menikah dengan usia yang lebih rendah daripada anak laki-laki didorong oleh peran-peran yang diharapkan dari keluarga dan masyarakat.
Peran Pemerintah dalam Penghapusan Perkawinan Usia Anak
Berdasarkan permasalahan di atas, maka penulis melihat pentingnya peran pemerintah dalam upaya penghapusan perkawinan usia anak. Adapun peran pemerintah tersebut bisa diwujudkan dalam bentuk adanya keharusan semua anak menyelesaikan pendidikan dasar Sembilan tahun, yang meliputi Sekolah Dasar untuk anak usia 7-12 tahun dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) untuk anak usia 13-15 tahun.
Selain itu, pemerintah juga perlu meningkatkan kewajiban belajar ini menjadi dua belas tahun, agar anak-anak usia 16-18 tahun bisa menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA).
Hal lain yang perlu menjadi perhatian pemerintah adalah memutus mata rantai kemiskinan yang menjadi sebab tingginya angka perkawinan usia anak di Indonesia. Kemiskinan seringkali dijadikan alasan dibalik tingginya perkawinan usia anak. Namun, faktanya perempuan yang melakukan perkawinan usia anak sebagian besar tetap hidup dalam kemiskinan.
Sulawesi barat, Sulawesi tengah dan Papua adalah provinsi dengan ranking teratas dalam prevalensi perkawinan usia anak dan termasuk kategori sepuluh besar provinsi dengan ranking tertinggi dalam hal persentase penduduk usia 10-24 tahun yang tinggal di rumah tidak layak huni. Sehingga, pemerintah harus serius mengidentifikasi dan melakukan intervensi di kantong-kantong dengan prevalensi tinggi angka perkawinan usia anak.
Terakhir, kiranya pemerintah juga harus mulai mendengarkan masukan dari masyarakat peduli anak untuk segera melakukan perubahan atas UU Perkawinan 1974. Sehingga dampak buruk dari pemberlakukan UU sebagai dasar hukum masyarakat bisa dihindarkan. (Siti Rubaidah)
Terkait
Ambil Uangnya, Jangan Pilih Orangnya
VoB (Voice of Baceprot): Perempuan di Antara Ritus Racauan
Obituari Neng Yati, Pejuang dari Jelambar