Kamis, 28 Juni 2018, ratusan aparat gabungan Satpol PP, Kepolisian, dan TNI mengawal sembilan alat berat yang menggasak lahan warga penolak pembangunan bandara. Mulai jam 08:00 WIB aparat gabungan melakukan apel pagi di kantor PT. Pembangunan Perumahan (PP) selaku pemenang tender konstruksi pembangunan bandara NYIA.
Setelah melakukan apel pagi, mulai jam 09.00 WIB aparat mengiringi alat berat bergerak mendatangi lahan dan rumah warga yang menolak pembangunan bandara NYIA tanpa syarat. Menolak tanpa syarat artinya warga membela haknya sebagai pemilik sah tanah. Warga pemilik sah tanah menolak menjual meskipun mendapat iming-iming ganti rugi, maupun menolak pemaksaan AP I yang membeli lewat perantara pengadilan/konsinyasi. Karena warga menolak, seharusnya aparat pun berpihak pada warga selaku pemilik sah tanah.
Hingga hari ini alat berat masih beroperasi dan aparat masih mengawal penggasakan lahan yang tidak sah. Mak Tum dan warga lain yakin dan teguh bertahan karena mereka benar. Tanpa peri kemanusiaan, AP I beserta rombongan tetap memaksa bahkan berani menyeret warga yang mereka sebut sebagai penghambat pelaksanaan proyek.
Bu Tuginah atau kerap disapa Mak Tum adalah janda beranak empat yang menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian. Setiap pagi Mak Tum membawa pompa air yang beratnya sekitar 20 kg dengan sepeda, untuk menyiram tanaman cabainya. Menanam adalah pekerjaan profesional Mak Tum yang dia lakukan setiap hari di ladang maupun sawah. Setelah selesai menyiram dan memupuk tanaman cabe, Mak Tum ke sawah untuk mencabuti rumput yang tumbuh di sela-sela tanaman padi. Bagi Mak Tum, pekerjaan di lahan menyenangkan dan menjadi tumpuan untuk menghidupi tiga dari empat anaknya yang masih sekolah. Anak tertua Mak Tum bekerja jadi buruh di Batam. Anak kedua Mak Tum masih SMA, yang ketiga masih SMP, sedangkan si bungsu masih SD.
Mak Tum adalah salah satu warga penolak pembangunan bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA). Ia menolak proyek NYIA karena PT. Angkasa Pura I (AP I) melalui proyek tersebut pasti merampas ruang hidupnya dan mengenyahkan siapapun yang menggantungkan hidup pada lahan subur di pesisir Kulon Progo. Selama enam tahun lebih ia berjuang bersama warga yang lain. Aksi di balai desa, kantor bupati, sampai ke kantor gubernur sudah dia lakukan. Ia dan warga lain berkali-kali mengalami represi aparat dan intimidasi AP I setiap berupaya mempertahankan rumah dan tanamannya dari pengrusakan alat berat.
Mak Tum dan mamak-mamak lain di pesisir Kulon Progo adalah korban perampasan besar-besaran akibat pembangunan bandara kedua di wilayah Provinsi Yogyakarta. Tumpuan penghasilan yang mereka gunakan untuk menghidupi dan menyekolahkan generasi penerus bangsa telah musnah. Ratusan juta kerugian warga, belum lagi ancaman tak punya tempat tinggal hanya secuplik bukti kekerasan negara pada rakyatnya.
Erna Wati
Terkait
Film Bolehkah Sekali Saja Ku Menangis, Keberanian Melawan KDRT dan Trauma
Kepemimpinan Perempuan, Menuju Maluku Utara Adil Makmur
Sherly Tjoanda Laos: Usung Perubahan Maluku Utara