12 Desember 2024

Feminisme Indonesia (Bagian 1)

0Shares

Apa Itu Feminisme?

Menurut Bell Hooks, penulis feminis kulit hitam yang menyuarakan feminisme interseksional, Feminisme adalah gerakan untuk mengakhiri seksisme, eksploitasi seksis, serta penindasan.

Menurut Misiyah, aktivis dan Direktur KAPAL Perempuan, Feminisme adalah upaya memberdayakan perempuan dengan menumbuhkan kesadaran kritis terhadap lingkungannya.

Menurut Gadis Arivia, Pendiri Yayasan Jurnal Perempuan, jurnal feminis pertama Indonesia sejak 1996 mengatakan bahwa Feminisme sebagai sebuah gerakan atau ide tentang keadilan dan kesetaraan tetap hidup di tengah tumbuhnya konservatisme di Indonesia.

Kesimpulannya, feminisme adalah sebuah gerakan yang memberdayakan perempuan dan mendorong perubahan sosial agar tercipta sistem yang memenuhi hak-hak perempuan menuju keadilan gender.

Feminisme ingin membebaskan lelaki dan perempuan untuk memilih apa yang terbaik untuk diri mereka masing-masing.

Gender

Gender berbeda dengan jenis kelamin (sesuai alat reproduksi: lelaki, perempuan, interseks). Jenis kelamin sering disebut seks. Gender adalah peran dan tanggung jawab dalam keluarga, masyarakat, dan kebudayaan berdasarkan jenis kelamin. Peran gender dipelajari oleh manusia dan dapat berubah karena status politik, kelas, etnis/suku, usia, kemampuan fisik dan mental, dan lainnya.

Seiring berjalannya peradaban, seks dan gender menjadi tumpang tindih. Gender dianggap kodrati sehingga memunculkan asumsi seksis (asumsi berdasarkan seks atau jenis kelamin). Lelaki selalu kuat, tegas, rasional; sedangkan perempuan selalu lemah lembut, emosional, tidak punya kuasa. Akibatnya, lahirlah seksisme: sebuah sistem yang menentukan peran di keluarga, masyarakat dan kebudayaan serta menstereotipe karakter seseorang berdasarkan jenis kelamin (gender binary), yang berarti ‘berdua’, karena ada dua jenis kelamin utama (lelaki dan perempuan).

Patriarki

Berdasarkan kata ‘pater’ yang berarti ‘bapak’. Sistem ini menganjurkan semua lelaki untuk memimpin urusan publik dan produksi, dan semua perempuan untuk memenuhi peran domestik dan reproduksi. Selama lelaki dan perempuan yang terlibat cocok dan setuju dengan peran tersebut, tidak ada masalah. Kenyataannya, patriarkimenghasilkan struktur ketidakadilan dan diskriminasi gender sebagai berikut:

Subordinasi: adalah menempatkan perempuan di bawah dengan adanya kesenjangan penghargaan sosial terhadap peran domestik/reproduksi dengan peran publik/produksi. Perempuan sukses dalam karier tidak dihargai apabila tidak berhasil membangun rumah tangga. Sebagai contoh, saat Susi Pudjiastuti naik menjadi menteri, salah satu topik yang diangkat media massa adalah sejarah pernikahan, bukan kesuksesan wirausahanya.

Perempuan juga dipersulit sebagai tulang punggung. Perempuan dengan suami yang tidak bekerja akan tetap dianggap lajang, karena kebijakan perusahaan dan pemerintah masih mengikuti anggapan umum bahwa istri mendapat nafkah dari suami dan mendapat potongan pajak.

Beban Ganda: adalah beban pekerjaan perempuan yang lebih besar dari lelaki. Perempuan yang bekerja di wilayah publik tidak mendapat pengurangan beban di wilayah domestik. Kalaupun ada, pekerjaan domestik disubstitusi (digantikan) perempuan lain, baik anggota keluarga atau PRT. Hampir 90% pekerjaan domestik dikerjakan perempuan. Saat lelaki bekerja maksimal 10 jam/hari, perempuan bekerja hingga 18 jam/hari.

Meskipun waktu dan bobot pekerjaan perempuan bisa dianggap lebih berat, beban pekerjaan perempuan dianggap wajar dan remeh karena kurang bernilai finansial. Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam proses penjinakan (cooptation) peran gender perempuan, yang mana membuat perempuan menganggap kondisi dan posisi mereka sebagai kodrat.

Marginalisasi terhadap perempuan salah satunya berupa pemiskinan beralasan gender dalam sistem ketenagakerjaan. Perempuan yang bekerja di wilayah publik tidak serta-merta terberdayakan. Hal ini dikarenakan anggapan bahwa perempuan berfungsi sebagai pencari nafkah tambahan (posisi utama dipegang ayah/suami).

Sebagaimana tertulis di subbab Subordinasi, perempuan tidak mendapatkan fasilitas pemotongan pajak dan tanggungan untuk pasangan hidup sebagaimana lelaki. Kebanyakan pekerjaan yang dianjurkan bagi perempuan (terutama dalam kelas pekerja) memposisikan mereka sebagai pekerja rendah, seperti: guru TK, perawat, pekerja konveksi, buruh pabrik, dan PRT. Meskipun mungkin, sulit bagi perempuan untuk mendapatkan rata-rata gaji atau upah sebagaimana lelaki.

Pekerjaan perempuan di pabrik juga lebih rentan terhadap PHK karena ketiadaan ikatan formal dan alasan-alasan gender seperti dianggap sebagai pencari nafkah tambahan/pekerja sambilan dan produktivitas kurang karena faktor reproduksi (menstruasi, hamil, melahirkan, menyusui).

Stereotipe adalah pelabelan karakteristik, umumnya negatif, yang tidak lengkap atau tidak sesuai kenyataan empiris kepada individu atau kelompok. Stereotipe melahirkan ketidakadilan saat dijadikan basis dalam perancangan kebijakan. Dalam patriarki, terdapat stereotip bahwa lelaki adalah makhluk maskulin, dan perempuan feminin. Karakter itu kemudian terwujud dalam ciri psikologis, seperti lelaki dianggap gagah, kuat dan berani, sebaliknya perempuan dianggap lembut, lemah dan penurut.

Tentu saja lelaki maskulin dan perempuan feminin ada. Masalah muncul saat patriarki mengalienasi lelaki dan perempuan dengan karakteristik atau pilihan yang berbeda dengan memberi cap atau stigma yang memojokkan, seperti:

Perempuan berani berbicara? Cerewet

Perempuan suka seks? Pelacur

Perempuan karier? Tidak laku, perawan tua

Lelaki emosional? Banci

Lelaki tidak suka seks? Tidak jantan

Lelaki yang tidak suskes dianggap “kurang lelaki”, sementara “seperti perempuan” diartikan sebagai lemah, manja, atau cengeng. Dalam hal stereotipe, karakteristik feminin dipojokkan, padahal maskulinitas dan femininitas melangkapi satu sama lain.

Kekerasan terhadap perempuan berarti tindakan kekerasan yang terjadi baik fisik maupun non fisik yang dilakukan oleh individu, keluarga, masyarakat atau negara terhadap perempaun sebagai jenis kelamin yang termarginalisasi. Patriarki menempatkan perempuan di posisi sosial yang lemah daripada lelaki. Maka, perempuan lebih sering menjadi sasaran tindakan kekerasan berdasarkan gender, termasuk KDRT, kekerasan verbal, pemukulan, penyiksaan, pemerkosaan, pelecehan seksual, pernikahan paksa, dan eksploitasi seks (termasuk rekaman seks, pornografi) yang menekan dan menyiksa korban.

Mayoritas kekerasan terhadap perempuan dilakukan oleh seseorang yang sudah dikenal oleh perempuan tersebut, seperti suami, pacar, bapak, atau tetangga. Pelaku utama kekerasan terhadap perempuan adalah lelaki. Pada tahun 2016, data menunjukkan bahwa 193 perempuan dibunuh di Indonesia, dengan hanya tiga dibunuh oleh perempuan lain. (*)

 

Sumber: Feminisme Indonesia 101, Edisi Ringkas WMJ 2018 yang diterbitkan oleh Jakarta Feminist Discussion Group.

0Shares
×

Salam Sejahtera

× Hai