Oleh: Fen Budiman
Dalam dua bulan terakhir, bencana alam yang cukup dahsyat kembali mengguncang Indonesia dalam dua titik yaitu Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Tengah. Kondisi di daerah Lombok, Nusa Tenggara Barat belum sepenuhnya kondusif, sementara bencana alam yang cukup berat menghantam kota Palu, Donggala, Sigi, dan sekitarnya.
Kita diperhadapkan dengan situasi bencana yang memusatkan perhatian kita pada kedua titik ini. Gempa dan tsunami di Sulawesi tengah telah merenggut korban jiwa sebanyak 2.045 orang, hingga 10 oktober 2018. Tentu saja menjadi sebuah dukacita yang mendalam atas apa yang menimpa masyarakat Sulawesi Tengah. Ribuan orang kehilangan sanak saudara, orang tua, suami, istri, anak, rumah dan berbagai aset fisik lainnya.
Berbagai infrastruktur sekejap runtuh, roda perekonomian seketika lumpuh. Duka menyelimuti, kehilangan demi kehilangan terus dirasakan bertambah. Pun trauma yang dirasakan semakin mendalam, akibat rentetan peristiwa yang dimulai dari gempa, tsunami maupun likuifaksi.
Tak sedikitpun mengeliminasi pandangan kita dari sejumlah perempuan, anak-anak dan lansia. Kelompok rentan atas trauma bencana alam yang berat ini, cukup menyisakan beban komunal bahwa Sulawesi tengah adalah objek sejarah yang telah berkontribusi besar pada apa yang mereka (baca: perempuan, anak, lansia) rasakan. Wujud yang paling nyata dari problem ekologis ini adalah berbagai kehancuran material serta ribuan korban yang harus menjadi keganasan bencana alam.
Kini mereka harus bertahan hidup diantara tenda-tenda darurat, menahan panas dan dingin silih berganti, tidur diatas rerumputan dan hanya beralaskan kain maupun terpal, bila siang hari mereka merasa terik yang luarbiasa dan malam hari mereka merasakan dingin yang tidak biasanya. Sungguh memprihatinkan. Anak-anak pun demikian, semua merasakan beban yang sama dan kerentanan yang luarbiasa atas kondisi penyakit, terputusnya akses terhadap pendidikan, minimnya ketersediaan makanan yang sehat dan bergizi, serta rentan terhadap trauma yang berkepanjangan.
Para perempuan-perempuan dewasa kini semakin menanggung beban atas akses ekonomi yang terputus, ketersedian sumber makanan yang sehat dan terputusnya akses-akses pekerjaan baik sebagai buruh, petani dan berbagai pekerjaan lainnya diakibatkan dari; trauma, kehilangan orang-orang terdekat, runtuhnya tempat-tempat mereka bekerja, dan bahkan ada banyak perempuan dan anak-anak yang harus menanggung sakit fisik, maupun psikologis akibat reruntuhan bangunan yang menimpa mereka.
Berikut ulasan dari beberapa perempuan dan anak di Sulawesi Tengah, disejumlah titik pengungsian.
“Saya tak bisa lagi berjualan, tempat saya disapu rata oleh gempa” (Jahriah, 58 tahun)
“Kami sudah tak punya rumah, kami harus tinggal disini beratapkan langit” (Zaenab, 39 tahun)
“Saudara-saudara saya meninggal, yang lainnya hilang, rumah kami tenggelam oleh lumpur dan saya sangat trauma apabila gempa datang lagi” (Hestin, 27 tahun)
“Saya harus bekerja dengan cara apapun, saya hanya sendiri dan harus menghidupi kedua anak saya” (Maryati, 35 tahun)
“Kami sangat merasa takut, untuk masuk kedalam rumah pun kami tak berani” (perempuan-perempuan Masomba”
“Kami hanya bekerja pada orang lain, sekarang kami tak punya pendapatan apa-apa setelah bencana ini” (Asnayanti 38 tahun)
“Tangan saya terkilir akibat gempa, kami sudah tak punya rumah” (Sri, 60 tahun)
“Saya belum bisa sekolah akibat gempa ini” (dewi, 12 tahun)
“ Kami menderita gatal-gatal dan sakit maag, makanan kami rata-rata mie instan, kami tidak lagi bekerja” (Tipo, Sigi, Dolo)
“Kami kekurangan air bersih” (Dea, 20 tahun)
“Saya tertelan oleh lumpur, saya kehilangan anak-anak saya” (Asnawi, 60 tahun)
“Kami sangat takut, untuk gempa yang kecil pun kami merasa takut sekali” (Nurlela, 38 tahun).
“Sampai saat ini, saya masih trauma dengan gempa yang terjadi, saya menyaksikan sendiri saat gelombang pasang itu datang” (Indrayani).
“Rumah kami roboh, kami harus tinggal ditempat pengngsian, dan entah sampai kapan” (Syeila, 28 tahun)
“Kami tak lagi punya uang, kami takt ahu harus bekerja dimana. Rumah kami telah tiada” (Zulfina, 30 tahun)
Situasi atas Palu, Donggala, Sigi dan sekitarnya sangat membutuhkan bantuan terutama pemulihan pasca trauma, dengan memprioritaskan layananan kesehatan pada perempuan, anak, lansia. pun pada dasarnya akses terhadap pemulihan fisik dan psikologis, personal hygiene pada perempuan, pendidikan terhadap anak pasca bencana, dan sejumlah fasilitas mendasar bagi pemulihan situasi kondisi perempuan, anak dan lansia.
Sejauh ini, berbagai bantuan dan relawan telah dikerahkan namun ketersediaan akan akses fasilitas yang mendasar seperti MCK, air bersih, makanan sehat untuk ibu hamil, balita, anak, lansia, sangat diperlukan. Melihat situasi pengungsian banyak diareal perbukitan dan daerah-daerah perifer.
Upaya kuratif memang sangat penting bagi korban fisik dalam bencana, namun pemulihan secara psikologis pada perempuan dan anak-anak pun sangat wajib dilakukan. Terutama merancang kembali, upaya terbaru bagi kondisi pemulihan secara ekonomi bagi kaum perempuan.
*Penulis adalah Kordinator Departemen Organisasi DPP API Kartini sekaligus relawan medis untuk bencana di Sulawesi Tengah
Terkait
Mary Jane Fiesta Veloso: Perjalanan Panjang Menuju Pembebasan
Orde Baru dan Depolitisasi Perempuan
Peringatan 16 HAKTP 2024