Berbicara tentang pahlawan perempuan, ingatan kita tidak pernah luput pada satu nama, yaitu Kartini. Walaupun kelahirannya telah melampaui satu abad, nama Kartini masih dikenang beserta gagasan-gagasannya.
Yang menarik dari Kartini adalah perjuangannya menggunakan pena dan kertas. Semasa hidupnya, Kartini tidak pernah lelah mengguratkan tulisan bernada tajam menggugat tatanan feodalisme dan kekejaman kolonialisme Belanda.
Tidak berhenti di situ, Kartini mencoba mendidik rakyat dengan membuka sekolah gratis untuk memberikan pencerahan kepada rakyat, melawan kebodohan dan ketertindasan. Ahasil, gagasan Kartini berkembang hingga sekarang, surat-suratnya pun tidak pernah habis dimakan zaman, tetap dibaca pada generasi yang berbeda.
Anti-Kolonialisme
“Pemerintah itu (Hindia-Belanda) juga yang membuat penduduk itu terbungkuk-bungkuk memikul pajak yang berat.” (Jepara, 12 Januari 1900, Panggil Saja Aku Kartini, 2003:135)
Kutipan diatas merupakan surat Kartini tehadap teman eropanya, Estella Zeehandelaar, pada 12 Januari 1900. Sebuah tulisan yang menandakan kebenciannya terhadap Negara asing yang menjajah dan mengeesksploitasi negaranya.
Kartini mengenal tanam paksa—praktek kerja paksa di era kolonial–dari multatuli lewat bukunya, Max Havelaar. Kondisi rakyatnya yang tertindas, bodoh dan terbelakang, mendorong Kartini bersuara dengan bersenjatakan pena mengenai kejamnya kolonialisme yang menjadikan rakyatnya sebagai sapi perahan.
Kartini menggambarkan keadaan masyarakat pribumi di bawah penindasan kolonialisme sebagai masyarakat yang ‘gelap gulita’. Dan dengan bersenjatakan pena dan kertas, karena zaman itu belum dikenal organisasi dan bentuk perlawanan modern lainnya, Kartini muncul sebagai ‘pembawa terang’.
Kartini banyak bersuara tentang nasib rakyatnya. Ia tak jarang mendebat orang-orang Belanda yang menghina rakyatnya. Seperti ditulisnya sendiri, “… dan masih juga, sejumlah orang Belanda mengumpati Hindia sebagai ‘ladang kera yang mengerikan.’ Aku naik pitam jika mendengar orang mengatakan “Hindia yang miskin.” Orang mudah sekali lupa kalau “negeri kera yang miskin ini” telah mengisi penuh kantong kosong mereka dengan emas saat mereka pulang ke Patria setelah beberapa lama saja tinggal di sini.”
Yang menarik, cita-cita memajukan kehidupan dan derajat terus melekat dalam mimpi Kartini. Ia tidak menyerah pada keadaan. Tapi, ia sadar bahwa setiap emansipasi kaum pribumi akan selalu akan dihambat oleh penguasa kolonial.
“Orang-orang Belanda itu menertawakan dan mengejek kebodohan kami, tetapi kalau kami mencoba maju, kemudian mereka bersikap menentang terhadap kami.” (Jepara, 12 Januari 1900, Panggil Aku Kartini Saja, 2003:110).
Anti-Feodalisme
Kartini hidup dalam tatanan feodalisme yang memecah belah susunan masyarakat struktur penghambaan. Dimana golongan rakyat kecil dipaksa menghamba kepada bangsawan dan ningrat—priyayi. Yang menarik, kendati Kartini berasal dari keturunan ningrat, ia tidak setuju dengan tatanan feodal itu.
“…..Aku tahu mereka lakukan itu dengan sukarela, sekalipun aku jauh lebih mudah daripada mereka, tapi aku seorang keturunan ningrat yang mereka puja, yang rela mereka korbankan harta dan darahnya. Sungguh mengharukan betapa bawahan itu begitu patuhnya kepada atasannya.” (Jepara, 18 Agustus 1899, Panggil Aku Kartini Saja, 2003:91)
Dari kutipan diatas tampak jelas, kehormatan manusia terletak pada gelar kebangsawanannya, tidak memandang apakah orang tersebut bodoh, beradab atau kejam. Seseorang dihormati oleh siapapun karena keningratannya, tidak peduli apakah orang tersebut terpelajar atau tidak, atau karena pengabdiannya kepada masyarakat.
Dengan menyatakan sikapnya yang anti-feodal dengan sendirinya Kartini telah berpihak. Ya, dia berpihak pada rakyat. Dia menolak segala kenyamanan dan keistimewaan yang dinikmati kelasnya, kaum feodal, yang diraih dan dipertahankan dengan kekuasaan. Dan dengan bangga Kartini bilang:
“Disebut bersama dengan rakyatku; dengannyalah dia akan berada buat selama-lamanya! Aku sangat bangga, Stella, disebut dengan satu nafas dengan rakyatku” (Jepara, 17 Mei 1902, Panggil Aku Kartini Saja, 2003:86)
Relevansi Gagasan Kartini
Kartini bercita-cita melepaskan rakyatnya dari kemelaratan dan kemiskinan. Pun demikian, Indonesia diperjuangkan merdeka untuk menciptakan tatanan masyarakat yang sejahtera.
Namun, meskipun usia Indonesia sudah mencapai 74 tahun, sejumlah persoalan yang identik dengan kolonial masih menjadi persoalan. Rakyat Indonesia masih dililit oleh persoalan kemiskinan. Dan seperti kita lihat dari angka-angka statistik, kemiskinan di Indonesia berwajah perempuan. Artinya, kemiskinan itu lebih banyak dialami oleh kaum perempuan.
Persoalan lainnya adalah praktek diskriminasi yang masih dialami oleh warga negara, baik diskriminasi berbasis gender, sosial, agama/keyakinan, dan lain-lain. Hingga sekarang ini, bangsa ini belum terbebas dari belenggu patriarki, yang menempatkan kaum perempuan seolah-olah sebagai warga negara kelas dua. Kemerdekaan nasional belum berhasil memberikan kemerdekaan nyata bagi perempuan.
Dan persoalan paling pokok dari berbagai persoalan di atas adalah praktek imperialisme modern atau neokolonialisme yang terus membelenggu bangsa ini. Neokolonialisme, dengan wajah barunya ‘neoliberalisme’, telah merontokkan ekonomi nasional, menghancurkan relasi sosial rakyat, dan merusak kepribadian bangsa.
Perempuan menjadi korban utama dari neoliberalisme. Sebab, kaum perempuan—karena anggapan sosial yang berlaku di masyarakat masih menempatkan kaum perempuan sebagai penanggung jawab urusan domestik/keluarga—menjadi paling merasakan dampak penghapusan subsidi, privatisasi, komersialisasi layanan publik, dan lain-lain.
Karena itu, peringatan Hari Kartini bukan sekedar seremonial belaka, apalagi lomba masak, fashion show, seruan mengenakan kebaya dan konde, melainkan sebuah momentum untuk menggali kembali gagasan-gagasan Kartini.
Kartini adalah seorang pejuang anti-kolonial. Dia bisa menjadi inspirasi bagi kita, rakyat Indonesia, dalam memperkuat kembali semangat anti-kolonialisme guna membebaskan rakyat dari penjajahan modern atau neoliberalisme.
Bukankah Soekarno, bapak pendiri bangsa kita, sudah pernah mengingatkan, “Imperialisme yang memerintah bisa saja lenyap, tetapi imperialisme yang menguasai masih tetap tinggal, hanya penjajahnya, perilaku dan caranya yang berbeda, tetapi sistem kapitalisme-imperialisme Internasional bisa saja mencengkeram bangsa kita. (Indonesia Menggugat, 2010:2).
Kartini mungkin berhadapan dengan imperialisme klasik. Ia hidup di penghujung era tanam paksa. Dia belum sempat menyaksikan kekejaman imperialisme modern. Tetapi tidak ada salahnya mengambil semangat anti-kolonial Kartini sebagai semangat kita juga dalam menghadapi imperialisme modern.
Semangat emansipasi Kartini juga relevan, yakni semangat yang menempatkan semangat emansipasi, termasuk emansipasi perempuan, sejalan dengan cita-cita nasional dan kemanusiaan. Bukan emansipasi liberal yang menitik-beratkan kemajuan individual. Melainkan emansipasi kolektif, yakni kemajuan rakyat atau bangsa.
Selamat Hari Kartini!
Rini Hartono, Sekretaris Jenderal Aksi Perempuan Indonesia (API) Kartini
Terkait
Sunat Perempuan, Tradisi Berbalut Agama yang Membahayakan
Dari Aktivisme Borjuis ke Solidaritas Sejati: Membangun Gerakan Sosial yang Inklusif
Sisi Gelap Pendidikan Kedokteran di Indonesia