Oleh: dr. Adinda Bunga Syafina*
Indonesia adalah salah satu dari 179 Indonesia negara yang menandatangani hasil kesepakatan Konferensi Kependudukan dan Pembangunan (International Conference on Population and Development, ICPD) di Kairo pada tahun 1994.
Konferensi dunia tersebut menyepakati perubahan paradigma dalam mengelola permasalahan kependudukan dan pembangunan. Di mana, yang semula berfokus pada pengendalian populasi dan penurunan fertilitas, kemudian mengutamakan pelayanan kesehatan untuk pemenuhan hak-hak reproduksi individu, baik bagi laki-laki maupun perempuan, sepanjang siklus hidupnya.
Isu-isu yang dibahas dalam ICPD (1994) di Kairo tersebut adalah: 1) kesehatan ibu dan bayi baru lahir, 2) keluarga berencana, 3) pencegahan dan penanganan infertilitas, 4) pencegahan dan penanganan komplikasi keguguran, 5) pencegahan dan penanganan Infeksi Saluran Reproduksi (ISR), Infeksi Menular Seksual (IMS), dan HIV AIDS, 6) kesehatan seksual, 7) kekerasan seksual, 8) deteksi dini untuk kanker payudara dan kanker serviks, 9) kesehatan reproduksi remaja, dan 10) kesehatan reproduksi lanjut usia dan pencegahan praktik yang membahayakan seperti Female Genital Mutilation (FGM).
Definisi Kesehatan Reproduksi dapat kita lihat dalam Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yaitu keadaan sehat secara fisik, mental dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi pada laki-laki dan perempuan.
Selanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan: negara wajib menjamin pemenuhan hak kesehatan reproduksi bagi setiap orang, dan menjamin kesehatan ibu dalam usia reproduksi agar melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas, serta mengurangi angka kematian ibu.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 97 Tahun 2014 juga menyebutkan bahwa negara menjamin kesehatan ibu; mengurangi angka kesakitan dan angka kematian ibu dan bayi baru lahir; menjamin tercapainya kualitas hidup dan pemenuhan hak-hak reproduksi; mempertahankan dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lagi yang bermutu, aman, dan bermanfaat sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Faktanya, ± satu milyar lebih penduduk miskin dunia 70% diantaranya adalah perempuan. Namun, kesehatan reproduksi perempuan kurang begitu mendapat perhatian dan kaum perempuan seringkali diperlakukan secara tidak adil (diskriminatif). Hal lain, fungsi reproduksi seringkali dikaitkan dengan kodrat perempuan sebagai makhluk yang dapat hamil pada posisi atau status khusus yang tidak menunjang pemberian perlakuan yang sama dengan laki-laki.
Perlakuan yang tidak adil tersebut merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan semakin tingginya angka kematian ibu (AKI).
Bagaimana Kondisi di Indonesia?
Fakta di Indonesia, jumlah bayi yang kehilangan ibunya lebih dua kali lipat banyaknya daripada bayi yang ditinggal mati ayahnya. Setiap Minggu, sekitar 350-375 perempuan yang menghadapi kematian, pada saat hamil, melahirkan, nifas (pasca melahirkan) dan menyusui. Angka kematian ibu tertinggi di ASEAN bahkan di Asia, justru berada di Indonesia.
ICPD di Kairo memberikan standar untuk angka kematian ibu melahirkan (AKI) yaitu di bawah 125 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2005 dan 75 per 100.000 kelahiran hidup di tahun 2015. Namun, ternyata di Indonesia angka kematian ibu (AKI) setiap tahunnya mencapai 307 orang per 100.000 kelahiran atau 15.700 ibu melahirkan meninggal.
Kasus kematian ibu hamil dan melahirkan tersebut banyak terjadi di daerah yang kekurangan tenaga bidan dan akses informasi mengenai kesehatan dan reproduksi sehat kurang memadai.
Penyebab lain dari angka kematian ibu melahirkan dikenal dengan istilah 4T dan 3 terlambat. 4T, yaitu: terlalu tua, terlalu muda, terlalu sering, terlalu pendek jarak kelahirannya. Sedangkan 3 terlambat adalah: terlambat mengirim, terlambat merujuk, terlambat menangani.
Keterlambatan itu sering kali disebabkan karena minimnya tenaga medis. Kita bisa membayangkan bagaimana kondisi masyarakat kita di luar Jawa yang jauh dari akses sarana kesehatan dan medis. Apalagi di beberapa wilayah, seperti di Papua banyak ditemukan tradisi mengisolir perempuan yang sedang melahirkan di tengah hutan karena anggapan bahwa darah nifas akan membawa sial bagi keluarga.
Beberapa adalah hak-hak reproduksi perempuan:
Perempuan berhak mendapatkan jaminan keselamatan dan kesehatan. Hak ini mutlak mengingat besarnya resiko yang bisa terjadi pada kaum perempuan (ibu) dalam menjalankan tugas sekaligus fungsi reproduksinya.
Ketika kondisi seorang perempuan mengandung, melahirkan dan memberi ASI, maka jaminan kesehatan bagi kaum ibu pada saat itu mutlak sangat diperlukan baik berupa informasi kesehatan, makanan yang bergizi, maupun sarana-sarana kesehatan lain yang memadai.
Hak jaminan kesejahteraan bukan saja selama proses vital reprodukasi (mengandung, melahirkan, dan menyusui) berlangsung tetapi juga di luar masa-masa itu dalam statusnya sebagai istri dan ibu.
Hak untuk ikut dalam mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan perempuan, khususnya yang berkaitan dengan proses-proses reproduksi.
Hak perempuan untuk menentukan kapan ia akan mempunyai anak, berapa jumlah anak dan berapa lama penjarakan kelahiran tiap-tiap anak.
Hak untuk mendapatkan pelayanan yang berkaitan dengan fungsi reproduksinya.
Hak untuk mendapatkan informasi, komunikasi dan edukasi (KIE) yang berkaitan dengan hak tersebut.
Hak untuk melakukan kegiatan seksual tanpa paksaan, diskriminasi dan kekerasan. (*)
*Materi disampaikan pada peringatan Hari Kartini di Cluster Safira Bekasi, 27 April 2019.
Terkait
Posisi Perempuan dalam Pilkada 2024
Koalisi Morowali Adil Makmur Usung Program Pro Rakyat Miskin
Morowali Dibawah Tekanan Industri Ekstraktif dan Ancaman Kemiskinan