Jakarta, 14 September 2019 – DPW API Kartini DKI Jakarta menggelar Pendidikan Politik Perempuan bertema “Memajukan Politik Perempuan untuk Keadilan dan Kesejahteraan Perempuan” bertempat di Meeting Room D’ Light Cafe, Jalan Mandala Raya, Tomang, Jakarta Barat.
Rahmawati, Ketua DPW API Kartini DKI Jakarta dalam kata sambutannya menyampaikan bahwa perempuan harus belajar politik dan memahami persoalan masyarakat termasuk problem kaum perempuan sendiri.
“Pendidikan adalah salah satu cara untuk kita memerangi kebodohan. Melalui pendidikan pula perempuan paham politik dan sadar bahwa kita perlu berjuang dalam wadah-wadah organisasi. Masih banyak kebijakan yang belum berpihak pada kaum perempuan. Sehingga, kita harus mendidik kaum perempuan agar terlibat dalam setiap pengambilan keputusan di semua tingkatan,” ungkap Rahmawati.
Minaria Christyn Natalia, dalam penyampaian materinya tentang Kartini dan Sejarah Awal Gerakan Perempuan menyampaikan, “Kartini mengkritik ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan dalam mengakses pendidikan. Perempuan yang ingin belajar menuntut ilmu justru sering dianggap tabu oleh masyarakat. Alasannya, perempuan ningrat yang keluar rumah itu melanggar aturan adat. Walaupun diperbolehan keluar rumah mencari nafkah, mereka sering dipaksa untuk dinikahkan dengan laki-laki yang sudah beristri. Secara umum, perempuan pada zaman itu bisa dikatagorikan sebagai kelompok yang tersingkirkan.”
Pernyataan Minar tersebut dipertegas oleh Rini dalam materi Kebangkitan Organisasi Perempuan.
“Gagasan-gagasan Kartini menjadi pemantik lahirnya organisasi-organisasi perempuan berwajah nasionalis. Keprihatinan pertama yang dirasakan oleh kaum perempuan adalah rendahnya pendidikan pada saat itu. Oleh karena itu, gerakan perempuan yang baru tumbuh ialah membuka sekolah-sekolah untuk perempuan. Pengaruh sekolah-sekolah ini ialah melahirkan generasi perempuan dan feminis yang sangat besar,” kata Rini.
Itulah mengapa pemikiran-pemikiran Kartini mendapatkan sambutan yang luar biasa dengan munculnya berbagai organisasi perempuan bak cendawan di musim hujan pada awal abad ke-20 hingga era revolusi kemerdekaan.
Sayang, di era Orde Baru gerakan perempuan mengalami pasang surut dan dibungkam melalui politik gender dan konsep ‘ibuisme’ yang dianut negara. Namun demikian, sejarah gerakan perempuan kembali bersuara menancapkan tonggaknya kembali ketika negara melakukan pembungkaman di buruh, tani dan masyarakat miskin kota. Di akhir masa Orba dan di masa Reformasi gerakan perempuan kembali berkonsolidasi dan mengusung agenda-agenda perjuangan membela hak-hak kaum perempuan.
“Pendidikan ini akan kami laksanakan dalam tiga tahap. Kali ini adalah pendidikan tingkat dasar, dan akan dilanjutkan dengan pendidikan menangah serta tingkat lanjut,” tutur Rahmawati.
Terkait
Orde Baru dan Depolitisasi Perempuan
Peringatan 16 HAKTP 2024
Meretas Jalan Pendidikan Murah dan Berkualitas