Yogyakarta – Papua tak henti dilanda konflik berdarah. Desember 2018, ribuan warga sipil di Kabupaten Nduga mengungsi setelah pembunuhan belasan karyawan PT. Istaka Karya di Gunung Kabo. Dalam pengungsian, sebanyak 182 orang meninggal akibat kedinginan, lapar dan sakit. Sebagian besar yang meninggal, 113 adalah perempuan, dan selebihnya adalah anak-anak yang tak tahan dingin dan lapar. Karena lapar anak-anak makan rumput, makan daun kayu dan makan apa saja yang bisa dimakan.
“Ketika beragam persoalan menindih kehidupan masyarakat asli Papua, kaum perempuan sebagai kelompok masyarakat rentan yang paling merasakannya. Hanya saja, tak banyak ruang bagi mereka untuk menyuarakannya, “ ungkap Natalia Elisabeth Safkaur.
Natalia Elisabeth Safkaur atau yang akrab disapa Natalia ini adalah alumnus Fakultas Teknik Universitas Atma Jaya Yogyakarta yang getol mengangkat persoalan perempuan di Papua. Natalia juga aktif sebagai Sekretaris Dewan Pimpinan Kota Aksi Perempuan Indonesia (API) Kartini Yogyakarta.
“Bagi orang asli Papua, tanah adalah Mama, yang memberi mereka kehidupan. Sudah sejak lampau, perempuan punya peranan penting dalam merawat kebun dan hutan. Namun. seiring meluasnya praktek komoditifikasi tanah, akses orang asli Papua termasuk kaum perempuan terhadap tanah terancam,” jelas perempuan kelahiran Jayapura, 27 Desember 1990 ini.
Masalahnya, kendati perempuan punya kontribusi besar dalam pengelolaan tanah, hak-hak mereka kurang mendapat tempat dalam hukum adat. Hanya saja, karena kurangnya perhatian pemerintah, mama-mama Papua memilih berdagang untuk menghidupi keluarga mereka, walau hanya mendapat tempat di luar pasar, emperan toko, atau pinggir jalan.
“Mereka harus duduk berjam-jam di atas tanah untuk memperdagangkan hasil kebun mereka. Sementara warga pendatang bisa berjualan di dalam pasar dan toko-toko,” jelasnya.
Natalia melanjutkan, selain persoalan marginalisasi ekonomi, konflik dan kekerasan tak berujung sejak pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 turut memperparah penderitaan perempuan Papua.
“Sepanjang masa itu, dari pemberlakuan daerah operasi militer (DOM) tahun 1978-1998, pengejaran Organisasi Papua Merdeka (OPM) tahun 2007, hingga konflik Nduga hari ini, perempuan mengalami banyak kasus kekerasan, baik fisik maupun seksual,” ungkapnya.
Dia menceritakan, perempuan tidak hanya mengalami trauma berkepanjangan, tetapi juga mengalami semacam pengucilan secara sosial. “Mereka dan anaknya mendapat cap pemberontak, sehingga tidak pernah mendapat kesempatan menerima bantuan dari pemerintah,” ujarnya.
Selain persoalan-persoalan di atas, lanjut Natalia, perempuan di Papua juga rentan terhadap kekerasan domestik. Salah satu penyebabnya adalah banyaknya konsumsi minumal beralkohol di tengah masyarakat.
“Banyak perempuan yang mengalami kekerasan untuk domestik, tetapi tidak terlaporkan dan teradvokasi. Rata-rata perempuan malu untuk melaporkan kekerasan yang diterimanya. Dan, jika kekerasan yang dialaminya diselesaikan secara adat, hasilnya lebih sering memihak kepada pihak lelaki,” jelasnya.
Perempuan asli Papua juga sangat kesulitan mengakses program pemerintah, seperti jaminan kesehatan, bantuan untuk siswa kurang mampu, kredit untuk usaha rakyat, dan bantuan sosial lainnya. Salah satu penyebab kenapa perempuan Papua berhadapan dengan begitu banyak persoalan, tetapi tidak terdengarkan suaranya adalah minimnya keterwakilan perempuan di lembaga politik.
“Itu menyebabkan banyak kebijakan politik di Papua yang kurang menyentuh persoalan perempuan, apalagi menjawab hak-hak perempuan,” ujar Natalia.
Keterlibatan perempuan asli di Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) maupun Dewan Perwakilan Daerah (DPD) masih kurang dari 5 persen. Begitu juga dengan lembaga-lembaga politik lainnya. Meskipun secara ketentuan formal (UU) memungkinkan siapa pun, termasuk perempuan, untuk terlibat dalam politik, bahkan ada kuota khusus perempuan sebesar 30 persen untuk pencalegkan, tetapi rintangan budaya patriarki dan persoalan sumber daya manusia sering jadi penghalang.
Namun, Natalia tidak menampik fakta bahwa perempuan asli Papua mulai bangkit untuk terlibat dalam kehidupan politik. Ia mencontohkan terbentuknya Aliansi Perempuan Papua (APP) pada tahun 1999, yang berusaha melibatkan diri dalam Musyawarah Besar Masyarakat Adat Papua tahun 2000. Tahun 2001, aliansi ini menyelenggarakan Kongresnya yang pertama, yang kemudian melahirkan organisasi perempuan bernama Solidaritas Perempuan Papua (SPP).Kedepan, Natalia berharap, semakin banyak organisasi perempuan yang berdiri di sejumlah kabupaten dan kota di Papua. Seperti Yamahak di Timika, Humi Inane di Wamena, Solidaritas Perempuan Papua Cinta Damai di Biak, Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak di Manokwari, Anganita Foundation di Jayapura, Lembaga Pemberdayaan Perempuan dan Ekonomi di Sorong, dan masih banyak lagi. (
“Ini menunjukan kepercayaan diri perempuan Papua untuk melembagakan gerakan mereka sebagai bentuk kepedulian mereka terhadap isu–isu perempuan asli,” ujarnya.
Natalia menegaskan, sebagai bagian dari sebuah bangsa, isu kesetaraan gender dan pelibatan perempuan dalam menentukan nasib bangsa adalah keharusan. Kedepan, dia berharap, Negara/pemerintah, lembaga adat, dan organisasi keagamaan mengambil peran untuk memajukan kesadaran perempuan.
Sumber: Berdikari Online
Credit Foto: tifaonline.com
Terkait
Cerita Perempuan Batulawang, Memperjuangkan Hak Atas Tanah
Resensi Buku: Menghadang Kubilai Khan
Sunat Perempuan, Tradisi Berbalut Agama yang Membahayakan