Rekam jejak Wahida B Upa dalam perjuangan politik membela kaum yang tertindas sudah tidak diragukan lagi. Sepak terjangnya sebagai koordinator aksi di era Orde Baru pernah membawa dirinya masuk bui.
Saat itu, ia bersama demonstran lainnya melakukan demo di depan kantor Golongan Karya (Golkar), sebuah partai yang sangat dekat dengan kekuasaan Orba. “Kami melakukan protes setelah peristiwa bentrokan 27 Juli,” katanya.
Wahida Baharuddin Upa lahir di Makasar tahun 1971. Ibu dari seorang anak perempuan ini telah belajar mengenal dunia politik dan perjuangan dari ayahnya. Ayah Wahida adalah salah anggota Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pro Mega yang gigih melawan kediktatoran Orba yang telah melakukan intervensi politik di tubuh PDI.
“Janganlah kamu menangis,” pesan sang ayah yang disampaikan saat Wahida berada di bui.
Kali ini, API Kartini ingin melanjutkan wawancara bersama Wahida B Upa, sebagai salah satu caleg dalam Pemilu 2019 lalu. Bagaimana pendapatnya tentang proses pemilihan umum dan refleksinya terhadap pemilu serentak 2019 tersebut? Berikut adalah hasil wawancaranya:
- Menurut Anda, apakah perempuan berpeluang terlibat dalam politik?
Jawab: saya pikir soal peluang ini, sangat besar ya. Salah satunya dengan melihat bahwa partai politik tidak bisa meninggalkan syarat 30% kuota perempuan diparlemen. Tetapi yang jadi persoalan adalah, bukan menyoal tentang 30% keterwakilan perempuan tetapi sejauh mana perempuan yang memasuki ruang demokrasi liberal ini betul-betul mampu menguasai apa yang menjadi tupoksi dia, tugas dan fungsinya ketika terpilih. Sekalipun syaratnya harus 30% keterwakilan perempuan, namun sangat sulit untuk mencapai tingkat keterpilihan sampai 30%. Kembali pada apa yang saya sampaikan sebelumnya bahwa, demokrasi kita selalu dialiri politik transaksional yang berbentuk materi. Money politiknya sangat massif terjadi. Sangat jarang sekali ada caleg yang giat berbicara program. Dan sebenarnya, bagi saya ini soal program sudah kami jalankan sehari-hari tetapi sama sekali tidak menjadi sesuatu yang disorot oleh konstituen.
- Apakah Partai Politik memprioritaskan perempuan dalam pemilihan umum atau sekedar memenuhi kuota keterwakilan perempuan?
Jawab: saya melihat sistem ini sangat tidak tulus memberi ruang bagi perempuan untuk wajib mewakili dirinya di parlemen. Tetapi yang kelihatan adalah sebatas memenuhi persyaratan yang ada didalam UU Partai Politik. Salah satunya dengan kompetisi nomor urut. Ada partai politik yang mewajibkan keterwakilan perempuan 50% tetapi ketika sampai pada tingkat keterpilihan, capaiannya tidak sampai 10 %. Ini juga adalah problem pada sistem politik kita. Sejalan dengan itu, problem konstituen kita juga tidak mampu melihat bahwa perempuan juga mampu mewakili perjuangan rakyat di parlemen nantinya. Buktinya, perempuan juga belum tentu memilih sesama perempuan. Saya melihat bahwa problem ini tidak akan selesai jika akar masalahnya tidak terselesaikan.
- Bagaimana hasil pemilihan umum 2019 kemarin? Dan berapa jumlah caleg perempuan yang terpilih?
Jawab: di partai demokrat, ada perempuan yang terpilih di dapil saya adalah, dia adalah adik dari bendahara umum Partai Demokrat. Dengan nomor urut satu. Dia seorang pengusaha, perolehan suaranya tertinggi di Dapil saya waktu itu.
- Apa pembelajaran yang bisa Anda dapatkan dalam Pemilihan Umum 2019. Apa harapan Anda ke depan?
Jawab: Saya pikir pelajaran terpenting untuk semua perempuan yang memiliki pikiran-pikiran yang lebih maju, untuk punya gebrakan membuat partai alternatif. Dimana partai alternatif itu tidak kemudian ribut persoalan nomor urut, dan kuota keterwakilan perempuan.
Fen Budiman
Terkait
Resensi Buku: Menghadang Kubilai Khan
Sunat Perempuan, Tradisi Berbalut Agama yang Membahayakan
Dari Aktivisme Borjuis ke Solidaritas Sejati: Membangun Gerakan Sosial yang Inklusif