Kemiskinan memang menjadi masalah akut di negeri Indonesia. Walaupun Pemerintah telah berjibaku menurunkan angka kemiskinan, tetapi faktanya, masih banyak warga negara Indonesia yang hidup dalam kubangan kemiskinan.
Kemiskinan memberikan banyak ekses terhadap kehidupan rakyat Indonesia. Karena miskin, rakyat sulit mengakses pendidikan, kesehatan, kehidupan yang layak. Selain itu, kemiskinan juga menjadi salah satu pemicu Kekerasan Terhadap Perempuan. Mengapa Demikian?
Pertama, kemiskinan masih berwajah perempuan. Maksudnya, kemiskinan itu lebih banyak dialami oleh kaum perempuan. Data PBB menyebutkan, dari sepertiga penduduk dunia yang hidup dalam kemiskinan, 70 persen-nya adalah perempuan.
Saya kira kondisi demikian juga terjadi di Indonesia. Lebih dari separuh penduduk miskin negara berkembang, termasuk Indonesia, adalah perempuan (Dr Partini, 2008).
Kedua, situasi kemiskinan, ekonomi yang sulit, seperti mahalnya kebutuhan dasar, biaya pendidikan dan kesehatan yang tidak terjangkau ditambah Relasi keluarga yang patriarkal sangat berjasa dalam memicu Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), karena memposisikan laki-laki sebagai pemegang kuasa, sementara perempuan diharuskan patuh dan melayani tanpa banyak protes. Seringkali KDRT terjadi karena perempuan (istri/anak perempuan) dianggap menantang kuasa laki-laki.
Di tahun 2016, seperti dicatat Komnas Perempuan, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan mencapai 259.160 kasus.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 75 persen kasus KtP terjadi dalam rumah tangga atau ranah personal. Dari jumlah itu, kekerasan terhadap istri mencapai 57 persen, disusul kekerasan dalam pacaran (21 persen) dan terhadap anak perempuan (18 persen).
Ini terkonfirmasi oleh Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) tahun 2016, bahwa perempuan rentan menjadi korban KDRT karena: tidak diperbolehkan bekerja oleh pasangan (19,5 persen), uang belanja (5,1 persen), dan mengambil penghasilan/tabungan tanpa persetujuan (3,1 persen).
Ketiga, tidak sedikit perempuan yang hidup dalam kemiskinan menyumbangkan tenaganya untuk bekerja di luar negeri sebagai buruh migrant. Dan kita ketahui pula, tidak sedikit buruh migrant Indonesia di luar negeri banyak mengalami kekerasan dari majikannya.
Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI) mencatat, sepanjang 2017 ada 4.475 kasus kekerasan terhadap pekerja migran Indonesia. Angka ini turun sedikit dibanding 2016 yang mencapai 4860 kasus.
Dari sekian banyak kasus yang paling sering mendapat perlakuan kekerasan adalah Pekerja Rumah Tangga (PRT), yang banyak disandang oleh kaum perempuan.
Keempat, banyak perempuan, terutama kalangan bawah, yang terseret dalam prostitusi karena faktor ekonomi, yakni kemiskinan. Kita sudah akrab dengan cerita-cerita perempuan yang terpaksa menjadi pelacur karena kemiskinan.
Selain itu, tidak sedikit juga perempuan yang bekerja sebagai Sales Promotion Girl (SPG), yang memamerkan tubuh perempuan dan rentan terhadap pelecehan seksual.
Dari pemaparan di atas jelas bahwa kemiskinan berkontribusi besar pada meningkatnya kekerasan dan eksploitasi terhadap perempuan. Karena itu, selain kerja-kerja advokasi yang dilakukan oleh gerakan perempuan saat ini, perlu bagi perempuan untuk menuntut adanya kesetaraan ekonomi dan menuntut dihentikaanya agenda ekonomi liberal, yang hanya menguntungkan sebagian orang, tanpa ada keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rini Hartono
Terkait
Kepemimpinan Perempuan, Menuju Maluku Utara Adil Makmur
Ibu Bumi, Darah Perempuan, Sebuah Seruan Perubahan
Harapan dan Tuntutan pada Pemerintahan Baru