Wahida Baharuddin Upa, Ketua Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) mengapresiasi keputusan Mahkamah Agung yang membatalkan pasal 34 pada Perpres No. 75 Tahun 2019 tentang kenaikan iuran BPJS.
“Putusan Mahkamah Agung yang membatalkan pasal 34 pada PERPRES No.75 Tahun 2019, adalah keputusan yang tepat dan telah mewakili rasa keadilan bagi peserta BPJS dan kepala-kepala daerah yang beberapa bulan terakhir ini menghadapi situasi yang dilematis, antara memenuhi janji program kesehatan gratis pada saat pilkada dan ketersediaan anggaran (APBD),” ungkap Wahida B Upa, Ketua Umum SRMI.
Menurutnya, putusan MA tersebut tentunya berdasarkan pertimbangan adanya pertentangan dengan pasal asas pada UUD 1945, pasal asas pada UU NO.40/2004 tentang SJSN, UU No.24/2011 tentang BPJS dan UU No.36/2009 Kesehatan yang menjadi dasar penyelenggaraan Jaminan Sosial Kesehatan dengan pasal 34 Perpres 75/2019.
“Pertentangan tersebut tentu saja mengenai hal yang sangat prinsip atau melanggar pasal asas dalam pelaksanaan program jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia. Bahwa penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Nasional berdasarkan prinsip Jaminan Sosial pasal 34 ayat 2 UUD 1945, pasal 2 UU SJSN tentang asas kemanusiaan, kemanfaatan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan pasal 3 UU SJSN tentang pemenuhan Hak Dasar Rakyat dibidang kesehatan, bukan didasarkan pada prinsip Asuransi (perhitungan kenaikan iuran berdasarkan aktuaria),” lanjutnya.
Selanjutnya, Ida menuturkan bahwa pasal 34 Perpres 75/2019 juga telah melanggar pasal 3 UU BPJS tentang prinsip penyelenggaraan yaitu Prinsip nirlaba, bahwa prinsip utama pengelolaan usaha dan penggunaan hasil pengembangan dana untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi seluruh peserta, bukan bagi kesejahteraan direksi, pegawai, apalagi mencari keuntungan (baca: gaji direksi dan pegawai BPJS yang didapat dari iuran peserta nilainya ratusan juta).
Demikian pula dengan prinsip keterbukaan yang seharusnya mempermudah akses bagi rakyat untuk mendapat manfaat dari progran JKN, malah kenyataannya menjadi terbalik, banyak kepala daerah yang tidak mampu membiayai warganya kerena kenaikan iuran yang tidak memperhitungkan kemampuan keuangan daerah, peserta yang turun kelas dan peserta yang mogok bayar.
Prinsip kehati-hatian, teliti, cermat dalam pengelolaan keuangan dan prinsip akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan juga tidak terbukti dengan kenaikan yang sudah kedua kalinya, pertama pada kenaikan 2016 dimana kenaikan tersebut untuk mengatasi defisit ditahun sebelumnya sebesar 1,9 triliun tahun 2014, lalu 9,4 triliun ditahun 2015, dan 6,7 triliun ditahun 2016, namun ternyata tahun berikutnya malah defisitnya bertambah besar menjadi 13,8 triliun tahun 2017 dan ditahun 2018 menjadi 19,4 triliun, demikian pula kenaikan di tahun 2019 dengan alasan yang sama, namun tetap defisit sebagaimana telah disampaikan oleh menteri keuangan Sri Mulyani pada akhir februari 2020 sebesar 13,5 triliun.
Ini menjadi bukti bahwa sistem Jaminan Sosial yang berubah menjadi sistem Jaminan Asuransi Sosial Kesehatan tidak akan efektif untuk dilaksanakan lagi karena melanggar Konstitusi pasal 28 H dan pasal 34 UUD 1945, dan menjadi beban bagi rakyat (utamanya didaerah dengan UMP/UMK hanya 1,5 juta/bulan, beban bagi APBD dan APBN (beban iuran dan dana talangan untuk menutupi defisit).
Bagi Wahida B Upa, sudah sepatutnya Presiden Jokowi membubarkan BPJS dan membentuk Sistem Jaminan Kesehatan yang baru bagi seluruh rakyat (semesta) dengan prinsip:Jaminan Sosial (sesuai konstitusi) bukan Asuransi Sosial.
Pertama, Jaminan Sosial (sesuai konstitusi) bukan Asuransi Sosial.
Kedua, Penyelenggaranya adalah Kementerian Kesehatan.
Ketiga, Cukup dengan menggunakan identitas KTP/KK (ini untuk menghindari kesalahan data).
Keempat, Anggaran dari APBN dan APBD.
Hal ini dimaksudkan agar pemerintah bisa membangun infrastruktur Rumah Sakit tipe A dan B diwilayah NKRI dan membangun kembali Industri Farmasi dalam negeri.
Wahida B Upa Selaku Ketua Umum Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya kepada Tony Richard Samosir dan KPCDI yang telah mengajukan judicial review atas Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan ke Mahkamah Agung. Dengan dibatalkannya Perpres tentang kenaikan iuran BPJS ini maka iuran BPJS kembali ke iuran semula, yaitu: Sebesar Rp 25.500 untuk kelas 3, Rp 51 ribu untuk kelas 2,dan Rp80 ribu untuk kelas 1. (*)
Terkait
Mary Jane Fiesta Veloso: Perjalanan Panjang Menuju Pembebasan
Orde Baru dan Depolitisasi Perempuan
Peringatan 16 HAKTP 2024