Vandana Shiva adalah seorang doktor Fisika dan Ilmu Filsafat yang lahir di Dehradun, di kaki pegunungan Himalaya pada 5 November 1953. Shiva kerap mengkritik neoliberalisme yang menurutnya merupakan cara berpikir maskulin sekaligus patriarki. Cara berpikir maskulin ini dicirikan dengan hadirnya kecenderungan kompetitif, agresif dan dominatif. Prinsip ini berbeda dengan prinsip feminisme yang bersifat intuitif, lebih senang berkoordinasi dan bekerja sama, merawat dan memelihara.
Shiva berpendapat bahwa pengetahuan modern yang maskulin telah melahirkan “dualisme” dan “reduksionisme”. Prinsip dualisme menempatkan objek-subjek, manusia-alam semesta, akal-rasa, dan lelaki-perempuan secara diametral. Ilmu pengetahuan meniscayakan dualisme tersebut dengan mewajibkan keterpisahan antara subjek yang meneliti alam semesta. Oleh karena keterpisahan itulah tercipta jarak antara manusia dan alam. Alam semesta pun akhirnya diperlakukan sebagai objek, yang bahkan bisa diperlakukan semena-mena.
Ia menolak proyek korporasi global yang melakukan berbagai rekayasa biologi terhadap beberapa jenis tanaman produktif. Penolakan ini mencerminkan pandangan Shiva terhadap pengetahuan dan teknologi modern yang menghancurkan korpus pengetahuan lokal pertanian dan cara bertani tradisional yang dihentikan karena dianggap kuno, tidak modern, kurang bagus, dan jauh dari produktif. Atas nama pembangunan, cara bertani tradisional ini diberangus dan digantikan dengan cara bertani rekayasa biologi yang justru menghancurkan alam.
Di sinilah peran ekofeminisme mengambil peran dengan memotret pertarungan ideologis antara prinsip feminin dan maskulin. Shiva dengan leluasa menemukan benang merah antara subordinasi perempuan dan subordinasi alam semesta, spiritualitas hingga proses pemiskinan negeri-negeri dunia ketiga. Bagi Shiva, kematian prinsip feminin bukan hanya lonceng kematian bagi hak-hak perempuan, namun juga pada hak kaum miskin, anak-anak, rakyat dunia ketiga, dan alam semesta.
Seruan Vandana Shiva, “Peluklah Pohon Kita” terinspirasi dari kepahlawanan perempuan untuk menyelamatkan lingkungan. Hal tersebut terjadi 300 tahun sebelumnya di desa Bishnoiu, Rajastan India. Pohon Kejri menjadi saksi bisu atas perlawanan kaum perempuan India terhadap titah sang raja, Abhay Singh untuk menebang pohon Kejri. Masyarakat desa Bishnoiu melakukan protes dengan cara memeluk pohon Kejri, akibatnya 363 penduduk desa tewas terbunuh. Aksi memeluk pohon ini dipimpin oleh Amrita Devi beserta tiga perempuan bersaudara Asu, Rani dan Baghu Bai. Aksi ini kemudian dinamai gerakan Chipko yang artinya memeluk.
Aksi memeluk pohon Kejri ini kemudian menginspirasi dunia, termasuk gerakan ekofeminisme yang diusung oleh Vandana Shiva. Dalam sebuah bukunya berjudul Teruslah Hidup: Perempuan, Ekologi dan Perjuangan di India, Shiva menuliskan “Peluklah Pohon-Pohon Kita.”
Sebagai aktivis perempuan dan lingkungan, Shiva tak pernah surut menyuarakan pembelaan terhadap perempuan dan lingkungan. Kegigihannya membuat Shiva menerima berbagai Penghargaan Penghidupan (Penghargaan Alternatif Nobel, Penghargaan Hari Bumi Internasional dan Penghargaan Globe 500). Sebagai bentuk pengabdiannya, kini Shiva mendirikan sebuah lembaga bernama Navdanya yang menjadi bagian dari gerakan lngkungan yang mengembangkan pertanian dan pupuk organik.
Shiva juga mendirikan universitas benih Bija Vidypeeth, di pertanian Navdanya dekat Dehradun, India yang menyediakan kursus pendidikan selama beberapa bulan untuk menyebarluaskan pengetahuan tentang kehidupan holistik. Saat ini Bija Vidypeeth menyelenggarakan kursus kedua “Gandhi dan Globalisasi” yang berhasil menghadirkan peserta dari berbagai belahan dunia.
Latar Belakang Keluarga
Ketertarikan Shiva terhadap lingkungan dimulai sejak ia masih kanak-kanak. Ayahnya adalah seorang penjaga hutan. Shiva dibesarkan di daerah pegunungan. Ia terlibat dengan gerakan Chipko pada tahun 1970-an ketika kaum perempuan memeluk pohon-pohon untuk mencegah penebangan hutan. Namun intelektualitasnya tetap di ilmu Fisika. Kecintaan sang ayah atas hutan dan alam menurun pada Shiva.
Perempuan pecinta lingkungan ini menimba ilmu di sekitar Santa Maria di Nainital dan Biara Yesus dan Maria di Dehradun di tempat kelahirannya. Setelah mendapat gelar sarjana di Bidang Fisika, ia meneruskan pendidikan untuk meraih gelar MA di Universitas Guelph, jurusan Fisika, Ontario Kanada tahun 1977. Ia lulus dengan tesis berjudul “Perubahan Konsep Periodisasi Sinar.” Pada tahun 1978, ia menerima gelar Ph.D dengan disertasi berjudul “Variabel Tersembunyi dan Lokalitas dalam Teori Kuantum.” Setelah itu ia melakukan penelitian interdisipliner dalam Ilmu Alam, Teknologi dan Kebijakan Lingkungan di Institut manajemen India di Bangalore.
Pada 1981 Menteri Lingkungan mengundang Shiva untuk mempelajari dampak pertambangan di Lembah Doon. Sebagai hasil laporan Shiva, pengadilan menghentikan pertambangan di tempat tersebut pada tahun 1983. Pekerjaan ini adalah pekerjaan profesionalnya yang pertama dan sejak itu Shiva berkomitmen melakukan perubahan di lingkungannya dan bekerja bersama rakyat. Kekeringan parah yang terjadi di Karnataka (negeri bagian India) pada tahun 1984 membuat Shiva menyadari bahwa hal ini dikarenakan cara pengolahan pertanian yang keliru. Ia mendirikan lembaga Nevdanya untuk kembali ke kehidupan yang sehat. Ia bekerja bersama saudara dan kaum perempuan agar tanah yang subur tidak menjadi mandul karena racun yang diciptakan oleh eucalyptus monokultur. Ini adalah bagian dari kegigihan Shiva dalam membela perempuan dan lingkungan.
*Dipublikasikan berdasarkan buku 51 Perempuan Pencerah Dunia yang ditulis Tetty Yukesti, yang diterbitkan oleh PT Gramedia, Jakarta 2015.
Terkait
Sudaryanti, Komitmen Menjaga Bumi Lewat Eco Enzym
Sherly Tjoanda Laos: Usung Perubahan Maluku Utara
Sitti Anira Kanaha, Sastra dan Perlawanan Perempuan