Bangsa Indonesia dan seluruh negara-negara di dunia sedang menghadapi pandemi covid-19. Berbagai pengamat belum bisa memprediksi sampai kapan situasi pandemi covid-19 ini selesai. Tak hanya mengganggu sistem kesehatan dunia, pandemi covid-19 ini juga membawa dampak yang cukup signifikan di bidang sosial ekonomi. Banyak pengamat yang menyatakan bahwa dampaknya lebih buruk dari krisis ekonomi sebelumnya, bahkan lebih buruk dibanding saat perang dunia kedua.
Dampak pandemi covid-19 ini tak hanya melumpuhkan perekonomian dunia, namun sendi-sendi kehidupan sosial kemasyarakatan juga lumpuh total. Hal ini terjadi ketika diberlakukannya sejumlah kebijakan untuk mengurangi penyebaran wabah corona melalui berbagai pembatasan mobilitas, seperti pemberlakuan lockdown dan social distancing.
Kasus corona muncul pertama di Wuhan, Hubei dan baru menjadi perhatian pemerintah China sekitar Desember 2019. Padahal, dari pelacakan pasien yang terjangkit virus corona pertama kali ditemukan 17 November 2019. Artinya pemerintah China baru tanggap setelah sebulan kasusnya muncul. Namun, dengan kesigapan dan kewaspadaan tinggi seluruh pihak dikerahkan oleh pemerintah China untuk menanggulangi virus corona. Bahkan, pemerintah memberlakukan kebijakan lockdown dan menutup kota Wuhan. Walhasil, kini kota Wuhan, Provinsi Hubei, China sudah dinyatakan bebas corona.
Di Indonesia, situasinya sangat berbeda. Ketika pandemi covid-19 ini mulai melanda dunia, sejumlah pejabat pemerintah terkesan menggampangkan masalah. Bahkan, beberapa menteri berkelakar bahwa virus corona tidak mempan bagi orang Indonesia. Indonesia baru mulai waspada setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan adanya 2 (dua) pasien positif covid-19 pertama di Indonesia (2/3/2019).
Kewaspadaan mulai muncul ketika Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi dinyatakan terjangkit virus corona (14/3/2019). DKI Jakarta dalam hal ini menyumbang kasus tertinggi penyebaran virus corona dibanding provinsi lainnya, sehingga Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengeluarkan Surat Edaran No. 2/SE/2020 tentang himbauan bekerja di rumah atau yang dikenal dengan istilah Work from Home (16/3/2020).
Sejak saat itulah istilah #dirumahaja #socialdistancing menjadi viral. Himbauan untuk bekerja di rumah ini menjadikan perubahan total dalam bekerja. Dimana, pekerja formal yang notabene kerjanya di kantoran kini harus bekerja dengan sistim online. Dunia pendidikan yang biasanya menggunakan tatap muka kini juga harus berubah menjadi pembelajaran jarak jauh (distance learning) dan menggunakan online learning. Berbagai platform digital untuk berkomunikasi jarak jauh secara massal menjadi pilihan, misalnya: Zoom, Google Meet, Google Classroom, Jitsi Meet, Streaming IG, dan lain-lain.
Produktifitas dunia usaha sedang mengalami ujian. Seberapa lama, dunia usaha mampu bertahan dalam situasi ini? Karena, bagi dunia usaha berhentinya moda produksi berarti pula berhenti perputaran roda ekonomi. Sehingga, untuk mengurangi biaya operasional tetap selama masa pandemi, banyak perusahaan yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Sudah ada 2 juta pekerja yang di PHK alias dirumahkan. Lalu bagaimana nasib ojek online (ojol) dan sektor informal? Ibarat buah simalakama, mereka berada pada pilihan yang sulit, di rumah takut mati kelaparan, keluar rumah takut mati karena corona.
Dampak Covid-19 bagi Perempuan
Perempuan yang selama ini masih ditempatkan sebagai penanggung jawab urusan domestik dan pengasuhan anak menjadi pihak yang sangat terdampak. Selain harus mengurus masalah rumah tangga dari A sampai Z, mereka juga harus mendampingi anak belajar secara online di rumah. Bisa dibayangkan, betapa beban mereka menjadi semakin bertambah. Belum lagi, bagi perempuan pekerja yang sudah berkeluarga dan punya anak. Tentu bebannya bertambah-tambah bahkan berlipat ganda (multi beban).
Situasi ini sering membuat perempuan stress dan depresi ketika di rumah saja. Laporan dari LBH APIK Jakarta menyatakan bahwa angka kekerasan terhadap perempuan meningkat pada masa pandemi covid-19. Sejak 16 Maret hingga 19 April 2020, LBH APIK Jakarta mendapatkan laporan sebanyak 97 kasus dengan rincian sebanyak 33 kasus adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), 30 kasus kekerasan gender berbasis online, 8 kasus pelecehan seksual, dan 7 kasus kekerasan dalam pacaran.
Sedangkan secara nasional, Kementerian Pemberberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengumumkan adanya 275 kasus kekerasan terhadap perempuan dan 368 kekerasan terhadap anak di saat pandemi corona. Angka-angka tersebut dilaporkan oleh Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati berdasarkan masukan dari mitra KPPPA, LBH, Komnas Perempuan dan data Simfoni PPA sejak tanggal 2 Maret hingga 25 April 2020.
Puasa dan Aksi Sosial Penanganan Covid-19
Pandemi covid-19 datang beriringan dengan datangnya bulan suci ramadhan 1441 Hijriah. Suasana kecemasan menghadapi wabah yang tak kunjung usai ini mencoba ditepis dengan harapan dan doa. Banyak hal menarik yang kita temukan dalam fenomena ini. Misalnya, ada banyak doa yang disebarkan, misalnya: “Selamat tinggal corona, selamat datang bulan suci Ramadhan.”
Puasa di bulan Ramadhan adalah kewajiban bagi Muslim. Puasa ini bukan hanya dilakukan oleh umat Islam. Al-Qur’an menjelaskan bahwa kewajiban puasa juga pernah diberlakukan kepada umat sebelumnya. Hal ini bisa kita lihat, pada banyaknya praktik puasa yang dilakukan oleh umat agama lain. Ada juga istilah puasa tirakat, di mana dilakukan ketika seseorang sedang prihatin atau sedang punya hajat tertentu.
Ibadah puasa di bulan suci Ramadhan mempunyai banyak hikmah yang bisa kita petik, antara lain: meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT; latihan untuk mengontrol hawa nafsu; merubah diri menjadi lebih baik; ikut merasakan penderitaan orang yang tidak mampu, orang-orang miskin, fakir, yang hidupnya penuh kekurangan; dan baik bagi kesehatan jasmani. Puasa diyakini mampu meningkatkan daya tahan tubuh seseorang untuk menangkal virus corona.
Sambil melaksanakan puasa di bulan Ramadhan, umat Islam seharusnya lebih mampu memaknai ibadahnya tidak semata sebagai ritual kepada Sang Pencipta semata tetapi yang terpenting adalah bagaimana ibadah tersebut termanifestasi dalam aksi sosial sebagai bentuk penghayatan atas penderitaan orang yang tidak mampu, dan para fakir miskin.
Upaya ini bisa diwujudkan dengan aksi solidaritas terhadap masyarakat miskin dan kelompok yang rentan terdampak corona. Berbagai aksi solidaritas yang dilakukan oleh masyarakat seperti: Solidaritas Pangan Jogya, Posko Tanggap Korona (Postakor), Relawan Gerakan Tanggap (REGTA), penggalangan dana melalui konser di rumah aja, berderma, sedekah dan menolong sesama adalah bentuk nyatanya. Dalam aksi solidaritas kemanusiaan tanggap wabah corona, perempuan telah banyak menunjukkan kiprahnya. Mari tingkatkan iman dan takwa di bulan puasa melalui aksi nyata!
Siti Rubaidah
Terkait
Orde Baru dan Depolitisasi Perempuan
Peringatan 16 HAKTP 2024
Meretas Jalan Pendidikan Murah dan Berkualitas