Wacana Omnibus Law ini sudah mulai didengungkan oleh pemerintah sejak akhir 2019. Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan bahwa kebijakan ini dilakukannya guna memangkas dan menyederhanakan berbagai regulasi yang ada. Banyak aturan di Indonesia yang tumpang tindih, di mana ada 8.451 aturan di tingkat pusat dan 15.985 peraturan di daerah.
Banyaknya aturan tersebut, menurut Jokowi menghambat kecepatan pemerintah dalam mengambil keputusan serta mempersulit Indonesia dalam memenangkan kompetisi dengan negara lain. Kita ketahui bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan baru mencapai 4,6 persen. Angka tersebut masih di bawah target pemerintahan Jokowi dalam RPJMN 2020, yakni minimal pertumbuhan ekonomi 6 persen dalam waktu 5 tahun (hingga 2024).
Lalu, adanya pandemi COVID-19 diperkirakan akan menurunkan angka pertumbuhan ekonomi Indonesia itu 1 hingga 2 persen. Karena itu, Pemerintah dan DPR RI bersikeras meningkatkan angka pertumbuhan ekonomi yang semakin mengkhawatirkan tersebut, salah satunya dengan formula kebijakan RUU Omnibus Law Cipta Kerja.
Awal tahun ini, omnibus law berhasil masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020. Pemerintah sudah menyerahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja ke DPR RI pada tanggal 12 Februari 2020. RUU Cipta Kerja ini dirancang untuk dapat menjawab kebutuhan pekerja, UKM, hingga industri. Pemerintah pun menargetkan RUU Cipta Kerja ini bisa diselesaikan secara marathon dalam 100 hari.
Itulah mengapa pemerintah dan DPR RI terkesan tak mengindahkan protes dari masyarakat sipil yang meminta pembahasannya ditunda. Sejumlah protes dan reaksi yang keras dari masyarakat sepertinya tak digubris, sehingga menimbulkan sebuah pertanyaan besar. Untuk siapakah omnibus law dibuat, untuk kepentingan investor atau rakyat?
Mengapa Omnibus Law Ditolak?
Omnibus Law adalah sebuah metode reformasi regulasi yang mengamandemen beberapa undang-undang sekaligus. Dari rapat terakhir internal pemerintah, ada 11 kluster yang akan diregulasi dalam Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja: penyederhanaan perijinan; persyaratan investasi; ketenagakerjaan; kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM); kemudahan berusaha; dukungan riset dan inovasi; administrasi; pengenaan sanksi; pengadaan lahan; investasi dan proyek pemerintah; dan kawasan ekonomi. Omnibus law ini akan berdampak pada 81 UU.
Maria Farida, Mantan Hakim Konstitusi menyatakan bahwa omnibus law tidak lazim diterapkan di negara yang menganut sistem hukum civil law seperti Indonesia. Penerapan omnibus law diprediksi akan menimbulkan persoalan baru dalam sistem hukum Indonesia yang sudah tumpang tindih dan saling bertabrakan.
Sedangkan menurut Arif Maulana, Direktur LBH Jakarta, penyusunan omnibus law tetap harus taat pada Undang-undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Bila tidak, bukan tidak mungkin akan muncul masalah baru seperti dalam sistem perundang-undangan hingga ketidakpastian hukum. RUU Cipta Kerja Merugikan Buruh Perempuan.
Nining Elitos, dari Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) mengatakan bahwa RUU Cipta Kerja ini akan semakin memiskinkan kelas buruh Indonesia. Selain itu RUU Cipta Kerja juga akan memudahkan pemutusan hubungan kerja (PHK), pengurangan pesangon secara besar-besaran, perluasan jenis pekerja kontrak-outsourching, dan perhitungan upah berdasarkan jam kerja.
Tidak hanya merugikan kaum buruh, RUU Cipta Kerja juga merugikan para pekerja muda dan calon pekerja. Mereka rentan tak akan memiliki jaminan atas pekerjaan atau job security karena kemungkinan hanya akan direkrut menjadi pekerja kontrak atau pekerja lepas. Sehingga, para pekerja muda dan calon pekerja ini terancam pemecatan sewaktu-waktu.
Dampak dari RUU Cipta Kerja ini bagi kaum perempuan terutama buruh perempuan bisa dilihat pada Pasal 93 RUU Cipta Kerja yang mengganti Pasal 93 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam Pasal 93 RUU Cipta kerja diatur tentang pemberian upah bagi buruh yang tidak masuk kerja karena berhalangan. Namun, tidak ada penjelasan mengenai kata berhalangan. Sedangkan, pada Pasal 93 ayat 2 UU Ketenagakerjaan mengatur rinci tentang pengecualian tidak dibayarnya upah buruh akibat berhalangan termasuk bagi perempuan yang berada dalam masa haid hari pertama dan kedua. Pasal ini jelas menunjukkan omnibus law abai terhadap hak-hak buruh perempuan, sekaligus kerentanan perempuan berhadapan dengan omnibus law.
Omnibus Law Ancaman Bagi Lingkungan
RUU Cipta Kerja juga berpotensi mengancam lingkungan hidup. Hal ini dikarenakan seluruh kewenangan didalam bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, sehingga menimbulkan pembatasan akses masyarakat terhadap informasi, partisipasi dan keadilan terutama dalam pengambilan keputusan yang berpotensi akan memberi dampak pada lingkungan hidup.
Belum lagi, banyaknya penghapusan pengenaan sanksi adminstrasi dan penghapusan kewajiban penting (termasuk sanksinya) bagi investor untuk seperti memiliki Ijin Lingkungan, membuat Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), analisis resiko, pemantauan lingkungan hidup, bahkan penyediaan sarana-prasarana penanggulangan kebakaran juga dihapus dalam hal ini keterlibatan masyarakat dalam pengawasan untuk lingkungan hidup yang sehat menjadi hilang. Hal ini jelas-jelas menunjukkan bahwa RUU Cipta Kerja ini hanya mengabdi kepada kepentingan investasi namun abai terhadap kelestarian alam dan lingkungan.
Omnibus Law Mengancam Kedaulatan Pangan
Tidak hanya itu dalam kluster pertanian juga terdapat perubahan. Misalnya Pasal 1 Ayat 7 Undang-Undang Pangan Nomor 18 tahun 2012 pada RUU Cipta Kerja diubah menjadi ketersediaan pangan adalah kondisi tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri, cadangan pangan nasional, dan impor pangan.
Ketentuan impor sebelumnya hanya diperbolehkan apabila hasil produksi dan cadangan nasional tidak bisa memenuhi kebutuhan.
Peletakan kata ‘impor pangan’ dalam pasal tersebut menunjukkan bahwa pemerintah tidak mengutamakan produksi nasional dalam memenuhi kebutuhan pangan. Perubahan kalimat dalam pasal ini jelas bertentangan dengan semangat kedaulatan pangan nasional dan menunjukkan lemahnya upaya pemerintah dalam melindungi petani dan produksi dalam negeri.
Mencermati dinamika pembahasan RUU Cipta Kerja, seharusnya para wakil rakyat kita yang berada di DPR RI menjadi lebih peka. Tak sekedar kejar target dan pro investasi, namun juga perlu mendengarkan aspirasi, masukan bahkan protes keras masyarakat yang menolak omnibus law.
Pertumbuhan ekonomi dan wabah corona seharusnya membuat pemerintah dan para wakil rakyat menjadi semakin bijaksana. Bukannya malah membabi buta mengeluarkan kebijakan yang hanya ramah investasi namun abai akan hak-hak masyarakat sipil serta kelestarian sumber daya alam dan lingkungan. (*)
Siti Rubaidah
Terkait
Sunat Perempuan, Tradisi Berbalut Agama yang Membahayakan
Dari Aktivisme Borjuis ke Solidaritas Sejati: Membangun Gerakan Sosial yang Inklusif
Sisi Gelap Pendidikan Kedokteran di Indonesia