8 November 2024

Merawat Ingatan dan Menolak Lupa Tragedi Mei 1998

“Apabila kerja memberikan keadilan bagi korban kekerasan adalah sebuah mimpi, apakah kita akan membiarkan korban juga bermimpi untuk dapat pulih dari kekerasan yang dialaminya?”
0Shares

“Apabila kerja memberikan keadilan bagi korban kekerasan adalah sebuah mimpi, apakah kita akan membiarkan korban juga bermimpi untuk dapat pulih dari kekerasan yang dialaminya?”

~ Saparinah Sadli ~

***

Tragedi Mei 1998 adalah sejarah kelam bangsa Indonesia. Tragedi Mei adalah sebuah kerusuhan rasial yang terjadi pada 13 – 15 Mei 1998 yang dipicu oleh krisis moneter dan terbunuhnya 4 (empat) mahasiswa Trisakti dalam demonstrasi 12 Mei 1998. Tidak hanya terjadi di Jakarta, gelombang kerusuhan ini meluas hampir ke semua kota besar di Indonesia, antara lain: Surabaya, Solo, Yogyakarta hingga Medan.

Dalam kerusuhan ini terjadi amuk massa, di mana banyak gedung yang dirusak dan dihancurkan. Toko dan pusat perbelanjaan dijarah oleh massa kemudian dibakar. Kerusuhan ini membuat masyarakat ketakutan, sehingga banyak yang menandai rumah dan tokonya dengan tulisan “Milik Pribumi” atau “Pro Reformasi.”

Terdapat ratusan perempuan keturunan Tionghoa yang diperkosa dan mengalami pelecehan seksual dalam kerusuhan tersebut. Sebagian bahkan diperkosa beramai-ramai dan dianiaya secara sadis, kemudian dibunuh. Kerusuhan yang ditujukan ke daerah pemukiman komunitas etnis Cina tersebut memunculkan trauma yang besar dan membekas tidak hanya bagi warga etnis Cina yang menjadi korban langsung, tetapi juga bagi penduduk Indonesia di manapun yang mempunyai rasa kemanusiaan. (Baca: Laporan Tiga Tahun Pertama Komnas Perempuan).

Dewi Anggraeni dalam sebuah penelitiannya menyampaikan bahwa yang dijadikan sasaran dalam peristiwa Mei 1998 adalah warga etnis Tionghoa, namun bukan hanya warga etnis Tionghoa yang dikorbankan, warga dari kelas bawah terutama yang tidak mampu juga dimanfaatkan. Mereka dibujuk dan dihasut untuk menjarah dan setelah itu dikunci di dalam mal dan gedung yang sengaja dibakar. Mereka pun tidak mendapat simpati dari masyarakat dan disebut sebagai “penjarah”. Bahkan hingga saat ini belum ada pelaku yang dibawa ke pengadilan.

Tim Relawan untuk Kemanusiaan menemukan fakta bahwa bersamaan dengan terjadinya penjarahan, pembakaran dan pembunuhan juga berlangsung tindakan-tindakan kekerasan seksual termasuk yang diarahkan pada alat kelamin dan organ-organ reproduksi kaum perempuan. Namun, rata-rata korban diam, trauma dan ketakutan sehingga tidak berani menceritakan kasusnya.

Di tengah penderitaan para perempuan korban dan keluarganya masih ada pertanyaan-pertanyaan, “Kalau demikian banyak perempuan yang diperkosa mengapa tidak ada satu pun yang bisa dimunculkan?” Kesulitan menemui para korban yang memang dalam kondisi trauma, sakit dan ketakutan inilah yang dijadikan alasan bagi pemerintah untuk meragukan keseluruhan kejadian.

Terjadi kebuntuan ketika Tim Relawan untuk Kemanusiaan menyerahkan hasil investigasinya kepada negara. Atas dasar itulah, 20 aktivis perempuan dari berbagai latar belakang menemui Presiden BJ. Habibie. Mereka menuntut BJ. Habibie untuk segera membentuk tim investigasi, meminta pemerintah meminta maaf kepada korban serta berkomitmen untuk menindak dan memberi sanksi kepada para pelaku.

Sebagai kelanjutannya, Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk pemerintah untuk melakukan investigasi menemukan kebenaran fakta bahwa telah terjadi peristiwa penyerangan seksual yang dialami perempuan etnis Cina. TGPF juga melaporkan bahwa sebagian besar kasus perkosaan berupa gang rape, yaitu korban diperkosa oleh sejumlah orang secara bergantian pada waktu yang sama dan di tempat yang sama.

Di tengah perjuangan mengangkat kasus perkosaan massal ini ke publik, Ita Martadinata Haryono (18 tahun) salah satu anggota Tim Relawan untuk Kemanusiaan dan satu-satunya korban perkosaan yang berani bersaksi dibunuh secara keji, seminggu sebelum rencana memberikan kesaksian di Kongres Amerika Serikat (9/10/1998).

Lembaran Hitam Sejarah Indonesia

Sampai hari ini, tragedi Mei 1998 masih diliputi ketidakjelasan dan kontroversi. Namun semua pihak sepakat bahwa kerusuhan Mei 1998 tersebut merupakan lembaran hitam sejarah Indonesia.

Pengakuan pemerintah BJ. Habibie terhadap isu perkosaan selama kerusuhan telah membuka babak baru perjuangan menegakkan hak dan martabat perempuan Indonesia. Namun demikian, mengapa masih banyak pihak yang meragukan kebenaran atas kekerasan seksual selama kerusuhan dan negara tidak mengusut tuntas para pelakunya?

Pertama, anggapan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan kenyataan setua peradaban umat manusia tidak berlaku di Indonesia. Maka muncullah penolakan secara sistematis terhadap kenyataan bahwa ada sejumlah perempuan yang menjadi korban tindak kekerasan seksual di masa kerusuhan Mei 1998.

Kedua, masih adanya pandangan yang cenderung menyalahkan perempuan korban (victim blaming) seperti: salahnya sendiri pergi malam-malam, siapa suruh ia memakai rok mini atau rok ketat, salahnya sendiri ia perempuan etnis Cina, dan sebagainya.  

Ketiga, kekerasan terhadap perempuan tidak bisa dipisahkan dari adanya ketimpangan hubungan antara perempuan dan laki-laki atau yang disebut ketimpangan gender yang terjadi karena adanya relasi kuasa. Hal ini diperkuat oleh mitos, prasangka dan stereotip yang menyuburkan diskriminasi terhadap perempuan dalam lingkungan domestik maupun di ranah publik.

Keempat, fakta bahwa para pelaku kekerasan seksual tersebut adalah orang-orang yang yang berada dalam kedudukan kekuasaan, baik sebagai penegak hukum, pejabat sipil dan militer yang mayoritas hingga kini masih diisi oleh laki-laki.  

Negara seharusnya tidak tinggal diam dan membiarkan para korban memulihkan dirinya sendiri. Ibu Saparinah Sadli, salah seorang penggagas Komnas Perempuan mempunyai pernyataan yang kuat tentang hal ini: “Apabila kerja memberikan keadilan bagi korban kekerasan adalah sebuah mimpi, apakah kita akan membiarkan korban juga bermimpi untuk dapat pulih dari kekerasan yang dialaminya?”

Sebagai sebuah bangsa yang besar tentunya kita tidak mau menjadi bangsa yang amnesia. Merawat ingatan kolektif adalah sebuah upaya agar negara mengakui adanya pemerkosaan dan kekerasan terhadap perempuan yang terjadi dalam peristiwa Mei 1998. Menolak lupa adalah upaya menuntut negara mengupayakan pemulihan dan keadilan bagi korban serta memastikan agar peristiwa serupa tidak berulang kembali di masa yang akan datang.

Siti Rubaidah

0Shares
×

Salam Sejahtera

× Hai