Masa-masa di rumah saja saat pandemi corona tentu merupakan masa yang tak mudah untuk dilewati. Apalagi jika situasinya tidak jelas kapan akan berakhir. Nah, daripada boring dan bete ada baiknya kita mengisi waktu luang secara produktif untuk membaca dan menulis. Kali ini, API Kartini akan mempublikasikan sebuah resensi buku yang ditulis oleh kawan Jehan Julaicha. Mari kita simak bersama…
—
Buku Poligami Budaya Bisu yang Merendahkan Martabat Perempuan adalah buku yang wajib di baca di kalangan masyarakat, terutama bagi mereka yang selalu berteriak untuk membenarkan praktek poligami tanpa ada dasar pemikiran, tanpa ada fakta yang akurat dan kuat. Buku ini menceritakan penyebab utama terjadinya poligami, dampak dari poligami, serta dalil- dalil yang digunakan oleh pelaku poligami. Kemudian apa yang perlu kita lakukan sebagai korban poligami.
Buku ini ditulis oleh Siti Musdah Mulia bersama Anik Farida. Siapa yang tidak mengenal sosok Siti Musdah Mulia, beliau adalah seorang Aktivis Perempuan, peneliti, konselor dan penulis di bidang keagamaan. Selain itu Musdah Mulia juga salah satu pendiri Lembaga Kalian Agama dan Jender (LKAJ) dan juga menjabat sebagai Ketua Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP). Tidak hanya itu, Musdah Mulia terkenal sebagai salah satu feminis yang berani bicara. Dia memperoleh penghargaan Yap Thiam Hien pada Tahun 2008. Baru baru ini Musda Mulia juga menuliskan sebuah buku fenomenal yang berjudul “Muslimah Reformis”. (Sumber: Wikipedia)
Buku ini menceritakan beberapa perempuan yang menjadi korban poligami yang di laporkan pada LBH APIK Jakarta. Dari 113 kasus pernikahan poligami yang di laporkan pada Tahun 2006 ada 72 kasus yang melakukan pernikahan siri. Selain itu juga kasus menikah secara resmi tanpa persetujuan istri, dan suami yang memalsukan identitas diri dan mengaku masih sebagai perjaka atau sudah duda.
Pernikahan poligami yang di warnai dengan pemalsuan identitas merupakan pelanggaran terhadap PP No. 10/1983 bagi yang berstatus PNS. Hal ini juga merupakan pelanggaran hukum atau tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam KUHP yakni tindak pidana pemalsuan.
Jika istri yang memiliki keberdayaan semestinya bisa melakukan tuntutan hukum atas perbuatan suaminya. Tetapi tidak semua istri memiliki kapasitas seperti itu. Kebanyakan para istri menerima tanpa syarat dirinya dimadu. Sebagian besar istri awalnya menolak keinginan suami yang hendak melakukan poligami, meskipun akhirnya mereka tidak mampu menentang keinginannya tersebut. Kalaulah rela itu hanya di bibir saja, karena seseunguhnya keiklasan secara tulus tidak pernah ada. (Hal: 7)
Perempuan yang mau dipoligami adalah mereka yang terpaksa karena mengikuti aturan, faktor agama, takut durhaka pada orangtua, demi mempertahankan status dan kelas sosial serta takut akan kemarahan suami yang berimbas pada pemberhentian nafkah dari suami atau ancaman berbagai bentuk kekerasan lainnya. Ini merupakan fenomena yang sering terjadi dalam masyarakat.
Melihat kenyataan seperti itu mengapa tidak kita memulai mengatakan tidak pada poligami. Karena menghapus poligami akan mewujudkan keadilan yang sesungguhnya. Dan, hanya dengan cara itu esensi ajaran Islam dapat ditegakkan. Ajaran Islam yang menempatkan perempuan sebagai manusia yang utuh atau ajaran Islam yang berpihak pada perempuan.
Poligami dalam konteks masyarakat Indonesia cenderung dianggap sebagai pelanggaran norma masyarakat. Hidup tanpa ikatan perkawinan merupakan pelanggaran moral yang akan menjadi sorotan masyarakat. Oleh karena itu keluarga cenderung menutupi masalah perselingkuhan atau poligami.
Dalam masyarakat yang mengagungkan laki-laki, istri berperan sebagai penjaga moral keluarga. Bila ada salah satu anggota keluarga melanggar moral maka istri lah orang pertama yang disalahkan dalam keluarga. Istri tersebut dianggap telah gagal membina rumah tangga. Dalam hal ini perempuan sulit mendapatkan keadilan dalam rumah tangga, karena adanya nilai-nilai budaya yang selalu berpihak pada laki-laki.
Pandangan terhadap poligami boleh saja masing-masing orang berbeda pendapat, pro dan kontra, mendukung atau menolak, dengan mendasarkan dalil-dalil agama. Tetapi orang sering lupa, bahwa dalam prakteknya poligami telah menafikan kemanusiaan perempuan. Perkawinan poligami telah mencampakkan kemanusiaan perempuan.
Perempuan tidak lagi dianggap sebagai pribadi yang utuh dengan segenap potensi kemanusiaannya melainkan tidak lebih sebagai barang yang bisa diperlakukan kapan saja tergantung keinginannya. Bilamana jika barang itu sudah tidak disukai iya bisa buang dimana saja, habts manis sepah dibuang! (Hal: 13)
Biasanya perkawinan poligami didasari dengan berbagai kebohongan atau penipuan. Hal ini adalah bentuk dari penghiatan perjanjian atau komitmen pernikahan. Korban poligami tidak hanya terjadi pada istri tua tetapi juga istri muda. Pelaku poligami kerap kali menempatkan dirinya sebagai korban. Mereka selalu beralasan bahwa penyebab ia berpoligami adalah karena istrinya tidak bisa memberikan pelayanan seksual dengan maksimal, atau istrinya tidak bisa memberikan keturunan.
Ironisnya untuk mengobati perasaan sakit yang dialami perempuan akibat praktek poligami, muncullah hayalan rayuan dengan dalil-dalil agama. Mereka mengatakan bahwa itu adalah sunnah rasul dan bagian ajaran Islam. Lalu perempuan di doktrin, jika ia mengijinkan suaminya untuk berpoligami maka hadiahnya adalah surga.
Dalam konteks hubungan suami-istri, selingkuh yang dilakukan oleh suami pasti akan menyakiti istri, menyakiti perasaan istri adalah bertentangan dengan prinsip perkawinan Islam yaitu “wa ‘asyiruhunna bil ma’ruf” yang artinya perlakukan istrimu dengan santun. (Hal: 42)
Mengapa perempuan mau dipoligami?
Ada alasan tersendiri mengapa perempuan rela dipoligami seperti yang saya jelaskan diatas. Namun ada banyak alasan hingga mereka bisu dalam hal poligami. Pertama, perempuan seringkali tidak punya pilihan lain untuk mewujudkan pengabdian pada orangtua. Kedua, perempuan sudah terlanjur cinta dan status janda bagi perempuan sangat berat dan tidak nyaman di kalangan masyarakat apalagi perempuan janda yang ditinggal menikah oleh suami. Ketiga, untuk meningkatkan status sosial dan ekonomi bagi perempuan yang umumnya tidak mandiri secara ekonomi.
Hal ini merupakan ketimpangan relasi laki-laki dan perempuan yang mengakibatkan dominasi dan diskriminasi terhadap perempuan. Poligami juga lebih sering dijadikan alat bagi laki-laki untuk mencapai kekuasaan. Perkawinan poligami rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan juga melahirkan kekerasan secara psikis atau mental.
Kekerasan psikis tidak bisa dianggap sepele karena berimplikasi serius terhadap kehidupan perempuan. Kekerasan fisik mungkin bisa saja dipulihkan dalam waktu yang singkat. Hanya saja penghinaan, komitmen dalam perkawinan, perendahan harga diri hingga stress itu akan cukup lama disembuhkan. Kehilangan harga diri dan martabat manusia bukan perkara mudah yang dapat segera di pulihkan. Senyatanya, dalam poligami yang terjadi justru pemerataan atau distribusi kemiskinan pada perempuan.
Kesetaraan manusia bisa diwujudkan bila keadilan ditegakkan. Spirit Islam mengajarkan bahwa keadilan akan membebaskan manusia dari perbudakan dan disriminasi.
Jehan Julaicha
Terkait
Kepemimpinan Perempuan, Menuju Maluku Utara Adil Makmur
Ibu Bumi, Darah Perempuan, Sebuah Seruan Perubahan
Harapan dan Tuntutan pada Pemerintahan Baru