18 April 2024

Ida I Dewa Agung Istri Kanya: Ratu Perawan Klungkung

Nama-nama perempuan seringkali dilupakan dalam sejarah terkait dengan budaya patrilinial yang mendarah daging di Bali
0Shares

“Perempuan nyaris ‘tidak tampak’ oleh sejarawan, dalam arti bahwa pentingnya pekerjaan mereka sehari-hari, pengaruh politik mereka (pada semua tingkatan politik), pada umumnya terabaikan sementara persoalan mobilitas sosial umumnya dibicarakan dari sudut kaum laki-laki saja.” ~Peter Burke~

Ida I Dewa Agung Istri Kanya adalah seorang pejuang perempuan dari Klungkung yang membela rakyat melawan penjajah dalam Perang Kusamba. Ia disebut perempuan besi dan menggetarkan hati Belanda. Keberanian dan kecerdasannya dalam mengatur strategi telah berhasil membunuh Jenderal Andreas Victor Michiels.

Perang Bali di awali dari pecahnya Perang Jagaraga yang dipimpin oleh I Gusti Ketut Jelantik pada tahun 1849. Setelah Buleleng takluk di bawah kekuasaan Belanda, maka Belanda menduduki Karangasem. Keberhasilan Belanda dalam menduduki dua kerajaan di Bali ini telah membangkitkan semangat perangnya sehingga menyerang Kerajaan Klungkung.

Penyerangan ini dilakukan bukan semata-mata ingin membulatkan wilayah jajahannya melainkan juga karena Klungkung dianggap melanggar isi dari perjanjian tertanggal 24 Mei 1843. Kerajaan Klungkung mempertahankan Benteng Kusamba. Kemarahan Belanda bertambah, karena ternyata Klungkung telah membantu Buleleng melawan Belanda pada Perang Jagaraga. Kejadian-kejadian seperti inilah menjadi bibit persengketaan dan meletusnya perang Kusamba.

Etos kepahlawanan dan sifat ksatria diperlihatkan dengan jelas oleh Ida I Dewa Agung Istri Kanya dalam menyelesaikan perang Kusamba. Selain peranan di bidang politik, Ida I Dewa Agung Istri Kanya juga memberi pengaruh besar dalam seni sastra yang memberi corak tersendiri dalam kehidupan Kerajaan Klungkung. (Cahyaningsih: 2013)

Biografi Ida I Dewa Agung Istri Kanya

Ida I Dewa Agung Istri Kanya adalah seorang putri tunggal dari pasangan Ida I Dewa Agung Putra Kusamba I dengan permaisuri Ida Anak Agung Istri Ayu Made Karang dari Puri Karangasem. Pada waktu masih kecil Ida I Dewa Agung Istri Kanya bernama Ida I Dewa Istri Muter. Ida I Dewa Agung Istri Kanya juga diberi nama Ida I Dewa Agung Istri Balemas karena Beliau tinggal di Balemas. Semenjak diangkat sebagai Raja secara resmi, nama Ida I Dewa Agung Istri Kanya secara resmi dipergunakan sebagai nama kebesaran.

Ida I Dewa Agung Istri Kanya adalah perempuan yang lahir di Puri Karangasem namun dibesarkan di dalam lingkungan keraton Semarapura. Ia diasuh oleh kakeknya di Klungkung dan tinggal terpisah dengan ayah dan ibunya

Masa kanak-kanaknya sama seperti anak-anak pada umumnya yaitu gemar bermain. Di dalam istana, sebagai seorang keturunan bangsawan, Ida I Dewa Agung Istri Kanya mendapatkan pendidikan dari Bhagawanta istana mengenai ilmu ketatanegaraan, ilmu etika, ilmu moral, ilmu keagamaan, dan ilmu kepemimpinan. Dalam masa pemerintahan Ida I Dewa Agung Istri Kanya, terdapat nama-nama Bhagawanta seperti Ida Pedande Wayan Pidada dan Ida Pedande Gde Made Rai. Merekalah yang menggemblengnya, sehingga tumbuh besar menjadi raja yang hebat, rakawi dan pemimpin Perang Kusamba (1849).

Ia sangat gemar membaca lontar, membaca kekawin Ramayana dan Mahabharata, dan juga menguasai beberapa wirama. Kemampuan lain yang dikuasai oleh Ida I Dewa Agung Istri Kanya ialah menulis.

Saat menginjak remaja, ia tidak mengenal apa itu jatuh cinta seperti remaja-remaja lain pada umumnya. Bahkan ia memutuskan tidak menikah untuk seumur hidupnya. Sehingga label “Kanya” memiliki makna yaitu perempuan yang masih gadis. Oleh karena itu, ia dijuluki dengan Ida I Dewa Agung Istri Kanya.

Beberapa kebijakan yang berhasil dikeluarkan saat menjadi Raja Klungkung, antara lain:

Pertama, Mengirimkan utusan ke Batavia untuk menyampaikan informasi, bahwa Klungkung tidak akan melawan lagi dan jangan mengadakan serangan kembali dan meminta maaf atas terbunuhnya Jenderal AV Micheils.

Kedua, konferensi yang kemudian melahirkan “Paswaran Astaguna” perjanjian delapan kerajaan di Bali.

Ketiga, kerja sama dengan Mads Lange, seorang berkebangsaan Denmark dalam bidang ekonomi melalui Raja Kesiman. Dalam menjalin hubungan ini diutuslah pamannya A.A. Ketut Agung.

Keempat, Kerjasama dalam bidang ekonomi sudah tentu terkait dengan penguatan pajak (tigawasena, suwinih) yaitu: hasil pungutan ini dikumpulkan oleh A.A. Ketut Agung atas kebijakan Ida I Dewa Agung Istri Kanya, kemudian dikembalikan kepada rakyat secara merata.

Karya sastra yang telah diciptakan oleh Ida I Dewa Agung Istri Kanya berupa kidung adalah Pralambang Bhasa Wewatekan dan Kidung Padem Warak, mengisahkan peristiwa-peristiwa penting, seperti gugurnya ayahanda hingga upacara besar mengantar roh leluhur ke alam suci.

Selain itu ia melahirkan beberapa tembang wirama, antara lain: Wirat Jagatnatha, Sragdhara, Sarddhula, Bhasanta, Asualalita, Merddhu Komala, Pratitala dan Sronca, Wairat, Cikarini, Reng Lalita, Tebusol.

Pejuang Perempuan yang Dilupakan

Sayangnya, nama Ida I Dewa Agung Istri Kanya dalam kancah kepahlawanan nasional belum diangkat ke permukaan. Namanya belum disejajarkan dengan pahlawan perempuan lainnya seperti Cut Nyak Dien dan Dewi Sartika. Padahal ia memiliki andil besar dalam perang melawan penjajah di era pra kemerdekaan Indonesia.

Peranan dari I Dewa Istri Kanya yang begitu besar dalam menentang Belanda kurang diangkat ke permukaan dan kurang mendapat tempat. Bahkan, bisa dibilang “disepelekan/dimarginalkan” dalam penulisan sejarah. Hal ini menarik banyak sejarawan untuk diteliti.

Beberapa sejarawan mengatakan bahwa nama-nama perempuan seringkali dilupakan dalam sejarah adalah terkait budaya patrilineal yang mendarah daging di Bali. Sehingga, kaum perempuan kurang mendapatkan perhatian. Hal ini sesuai dengan pernyataan Peter Burke yang menyatakan:

“Perempuan nyaris ‘tidak tampak’ oleh sejarawan, dalam arti bahwa pentingnya pekerjaan mereka sehari-hari, pengaruh politik mereka (pada semua tingkatan politik), pada umumnya terabaikan sementara persoalan mobilitas sosial umumnya dibicarakan dari sudut kaum laki-laki saja.“ (Burke, 2011: 23).

Sejarah Bali pada umumnya menampilkan peranan seorang laki-laki dalam berperang. Posisi laki-laki selalu sebagai subjek dalam peperangan dan menempatkan perempuan sebagai objek yang berada pada garda terbelakang. Dengan adanya keterlibatan I Dewa Istri Kanya dalam Perang Kusamba telah menghapus semua anggapan yang ada selama ini. Ini membuktikan bahwa dalam Sejarah Bali tidak hanya melibatkan peranan seorang laki-laki dalam berperang, melainkan ada pula peran perempuan. I Dewa Istri Kanya telah menambah satu daftar nama pejuang perempuan di Bali selain sosok Jero Jempiring yang berjuang pada Perang Jagaraga dan Sagung Wah dari Tabanan. (Bawa, 2001: 16).

Demikianlah, sehingga keberadaan I Dewa Istri Kanya seakan-akan tenggelam. Banyak golongan muda kurang mengetahui sosok I Dewa Istri Kanya. Padahal, nilai-nilai kepahlawan dan pengaruhnya di bidang sastra serta kepenulisan tak sedikit menyumbang sejarah dan peradaban Bali di masa-masa setelahnya.

Saat ini pihak Pemerintah Kabupaten Klungkung sedang mengajukan nama Ida I Dewa Agung Istri Kanya sebagai salah satu pahlawan nasional. Namun, sampai sekarang pihak Pemkab masih kesulitan mengumpulkan bukti-bukti otentik sebagai persyaratan, misalnya: foto, gambar atau ilustrasi asli yang mendukung. Selain itu pihak Pemkab juga masih mengumpulkan bukti-bukti pendukung lainnya seperti lontar dan bukti otentik lainnya.

Penulis: Humaira

Kredit Foto: Seruni Bodjawati

0Shares
×

Salam Sejahtera

× Hai