“Saya percaya peran jurnalisme adalah menjadi lentera, yang memungkinkan masyarakat menggunakan hak untuk mengetahui dan memahami; saya percaya hak asasi manusia adalah sesuatu yang tidak dapat dinegosiasikan. Selama saya hidup, saya akan terus menulis dan tulisan membuat saya terus hidup.” ~Lidya Cacho
Itulah ucapan Lydia Maria Cacho Ribeiro ketika mendapat penghargaan Gillermo Cano-UNESCO 2008, bertepatan dengan peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia, 3 Mei 2008.
Lydia adalah aktivis hak-hak asasi manusia, seorang feminis kiri dan jurnalis. Oleh Amnesti Internasional, ia disebut sebagai jurnalis investigasi paling terkenal dan mengangkat hak-hak asasi perempuan. Lydia memfokuskan perhatiannya pada kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak-anak. Lydia bertumbuh di Meksiko sebagai feminis dan jurnalis yang penuh resiko. Meksiko adalah negeri paling berbahaya bagi jurnalis setelah Irak. Nyawa Lydia nyaris terenggut akibat keberaniannya mengungkap kasus korupsi, politik, kejahatan terorganisir dan kekerasan domestik.
Dalam bukunya, Los Demonios del Eden, ia mengangkat skandal beberapa pengusaha penting yang berkonspirasi melindungi lingkaran pedofilia. Tahun 2006, muncul rekaman percakapan telpon antara pengusaha Kamel Nacif Borge dan Mario Plutarco Marin Torres, Gubernur Puebla yang berkonspirasi. Lydia Cacho dipukuli dan hampir diperkosa karena laporan tersebut.
Menurut Lydia, pemerintah Meksiko tidak menunjukkan upaya lebih kuat menghentikan kekerasan seksual. Setidaknya 12.000 perempuan muda setiap tahun dieksploitasi dan dijebloskan ke dalam prostitusi. Kepedulian Lydia terhadap persoalan ini dituliskan dalam buku The Devils of Eden: The Power that Protect Child Pornography yang terbit pada 2004.
Buku tersebut mengungkapkan bahwa lingkaran turisme dan seks anak-anak di Cancun memiliki koneksi dengan kalangan pejabat tinggi dalam pemerintahan Meksiko dan para pebisnis. Oleh karenanya Lydia diculik, diancam dibunuh dan hampir diperkosa. Ia kemudian dipenjara karena tuduhan pencemaran nama baik sebelum dibebaskan dengan jaminan. Lydia membawa kasusnya ke Mahkamah Agung dan memberi kesaksian, namun hasilnya tak seperti yang diharapkan.
Dewan Hak Asasi Manusia PBB menyarankannya untuk meninggalkan negara itu, merekomendasikan agar dia mencari suaka politik di negara lain, dan menawarkan bantuan hukum dan bantuannya untuk mendapatkan akses ke pengadilan internasional. Saat ditahan, Lydia dianugerahi Premio Francisco Ojeda al Valor Periodístico (Penghargaan Fransisco Ojeda untuk Keberanian Jurnalistik).
Sosok Ibu
Lydia mendapatkan inspirasi dan keberanian dari sosok ibu yang mengatakan, “Jangan pernah sudi menegosiasikan kebebasanmu. Apabila kamu kehilangan kebebasan, kamu kehilangan segalanya.” Itulah pesan sang Ibu kepada Lydia. Ia mengakui, ibunya yang berkewarganegaraan Perancis dan pindah ke Meksiko selalu memperhatikan aktivitas sosial. Ia selalu mengingatkan bahwa hak asasi manusia adalah tanggung jawab kepada warga negara yang tidak bisa ditawar.
Perempuan berdarah Amerika Latin ini memenangkan berbagai penghargaan internasional untuk karya jurnalisnya. Di antaranya Civil Courage Prize, the Wallenberg Medal, dan the Olof Palme Prize. Pada 2010, ia dinobatkan sebagai Pejuang Kebebasan Pers Dunia dari Lembaga Pers Internasional.
Lydia Cacho lahir dari seorang ibu berdarah Perancis dan ayahnya seorang insinyur Meksiko. Ibunya pindah dari Perancis ke Meksiko saat Perang Dunia Kedua. Ibunya memperkenalkan kepedulian sosial dengan cara memperkenalkan Lydia pada kehidupan masyarakat bawah atau keluarga miskin.
Gadis kelahiran 12 April 1963 ini tinggal di Perancis sebagai seorang remaja yang berani. Ia belajar di Universitas Sorbonne, Perancis dan bekerja sebagai pelayan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada usia 23, dia hampir meninggal karena gagal ginjal. Setelah kesembuhannya, ia mulai bekerja untuk surat kabar Cancun, menulis cerita seni dan hiburan. Namun, dibimbing oleh feminisme ibunya, Lydia segera mulai menulis tentang kekerasan terhadap perempuan.
Dalam situasi yang represif di Meksiko, Lydia menunjukkan perlawanan. Karya jurnalismenya digunakan sebagai corong untuk menyuarakan kaum yang dibisukan, yakni anak-anak dan perempuan. Anak dan perempuan adalah kelompok sosial yang ditikam penderitaan. Pejabat negara dan pebisnis di Meksiko adalah kaum yang mendapat ketenteraman dari pihak yang menderita itu. Lydia membalikkan keadaan melalui jurnalisme investigatif untuk mengungkap kebobrokan.
Lydia Cacho Ribeiro, jurnalis perempuan dari Meksiko itu menjadi pemegang lentera dalam kegelapan.
Humaira
Terkait
Echa Waode: Keadilan Tidak Turun dari Langit
Mafruhah: Mengejar Mimpi Melawan Batasan-Batasan
Venezuela Galang Pemilu Anti Imperialis