Saat kematiannya 14 April 1986, Simone de Beauvoir diberi penghargaan sebagai figur yang memperjuangkan hak-hak perempuan. Sebagai penulis hebat, ia telah memenangkan “the Prix Concourt”. Ia juga mendapat penghargaan sebagai penulis bergengsi di Perancis untuk novelnya yang berjudul The Mandarins.
Simone de Beauvoir kelahiran 9 Januari 1908. Ia adalah anak sulung dari Georges Bertrand de Beauvoir, seorang sekretaris yang pernah jadi aktor dan ibunya bernama Francois Beauvoir, anak seorang banker kaya raya. Mereka penganut agama Katolik yang sesudah perang harus berjuang mempertahankan status borjuisnya karena banyak kehilangan harta.
Ia mengambil kesempatan untuk melakukan apapun yang dia inginkan untuk mendapat penghasilan. Sesudah lulus sarjana di bidang matematika dan filsafat tahun 1925, perempuan cerdas ini mengambil jurusan matematika di Institut Cahilique dan jurusan sastra dan bahasa di Saint Marie. Ia belajar filsafat di Sorbonne dan merupakan perempuan ke-9 yang mendapatkan gelar sarjana dari Sorbonne. Padahal, saat itu perempuan hanya diijinkan sekolah sampai pendidikan sekolah menengah.
Perkawinan
Bulan Oktober 1929, Jean Paul Sartre dan Simone de Beauvoir menjadi sepasang kekasih. Simone mengatakan bahwa perkawinan adalah sesuatu yang tidak mungkin karena ia tidak mempunyai mahar. Hubungan mereka cukup panjang sebagai kekasih, namun Simone de Beauvoir memilih untuk tidak menikah dan membangun rumah tangga.
The Second Sex yang diterbitkan di Perancis mengangkat tentang eksistensialis feminis dan menjelaskan tentang revolusi moral. Sebagai seorang eksistensialis, de Beauvoir yakin bahwa seseorang tidak dilahirkan sebagai perempuan, tapi menjadi satu. Analisis de Beauvoir pada konsep Hegel tentang the Other (yang lain). Hal ini merupakan konstruksi sosial atau masyarakat yang menentukan. Perempuan dianggap “yang lain” telah menjadi dasar penindasan terhadap perempuan. Huruf besar O dalam “the Other” menunjukkan keseluruhan.
Akhirnya, de Beauvoir mengkritik keras kesewenang-wenangan laki-laki atas perempuan. Dengan mengagung-agungkan tradisi, agama, adat istiadat mereka (kaum laki-laki) mengklaim memiliki hak otoritas atas perempuan. Laki-laki berhak mendominasi dan mengatur hidupnya. Segala hukum dan aturan-aturan yang membuat adalah laki-laki bukan perempuan. Maka dalam tulisan-tulisannya ia menguak bagaimana perempuan berbicara dan melihat dirinya.
Dalam tulisannya Woman: Myth and Reality of The Second Sex, de Beauvoir mengatakan bahwa laki-laki telah menjadikan perempuan “yang lain” atau the Other dalam masyarakat dengan menerapkan sebuah aura yang salah tentang “misteri” sekitar mereka. Ia mengatakan bahwa laki-laki tidak memahami perempuan dan masalahnya serta tidak membantu perempuan. Dan stereotip selalu terjadi di masyarakat dari kelompok masyarakat kelas secara hierarkis atas kepada kelompok masyarakat kelas bawah. Ia menjelaskan dalam tulisannya bahwa kejadian yang sama terjadi secara hierarkis terhadap identitas, seperti ras, kelas sosial dan agama. Dan yang paling nyata dari segalanya adalah stereotip terhadap perempuan untuk mengukuhkan sebuah organisasi masyarakat yang patriarkis.
Konsep utama gerakan feminis 1970-an terkait langsung dengan pemikiran bahwa pemahaman gender merupakan bentukan masyarakat (social construction) yang dia angkat dalam The Second Sex. Simone de Beauvoir berkontribusi dalam gerakan pembebasan perempuan Perancis dan keyakinannya bahwa perempuan bisa mandiri secara ekonomi dan kesejajaran dalam pendidikan.
The Second Sex yang ditulis oleh Simone de Beauvoir dimulai dengan pertanyaan What is a woman? (Apakah seorang perempuan?). Usaha mempertanyakan siapakah perempuan baru terlihat pada karya de Beauvoir ini. Karya ini melihat perempuan dari pandangan yang analitis bukan dari argumentasi ilmiah seperti pendefinisian bahwa perempuan adalah rahim misalnya. Simone berargumen bahwa dalam masyarakat patriarkal, ciri maskulin diposisikan sebagai ciri positif sedangkan ciri feminin diposisikan sebagai ciri negatif atau apa yang disebut oleh de Beauvoir sebagai the Other (yang lain). Padahal menurut eksistensialisme manusia dikutuk bebas (Man is condemned to be free) termasuk perempuan.
Tahun 1970-an ia menandatangani Manifesto of the 343 tahun 1971, sebuah daftar perempuan penting yang menuntut agar perempuan bisa melakukan aborsi, yang saat itu di Perancis dianggap illegal. (*)
Kredit Foto: PV Mulher
Penulis: Dra Hj. Tetty Yukesti, M. Si.
*Penulis adalah dosen Sastra Inggris FISIB Universitas Pakuan Bogor yang sangat serius mendalami masalah feminisme dan gender. Ia sudah menulis sejumlah artikel terkait isu feminisme dan gender di beberapa surat kabar. Tetty berpendidikan S2 dari Kajian Wilayah Amerika, Universitas Indonesia.
Terkait
Cerita Perempuan Batulawang, Memperjuangkan Hak Atas Tanah
6 Keunggulan Swedia sebagai Negara Sosial Demokrasi
Jelang Konferensi Anti Fasisme, Perempuan Venezuela: Kami Anti Fasisme!