Jakarta – Diskusi bertema Menjadi Tenaga Medis Berperspektif Gender diselenggarakan oleh Dokter Tanpa Stigma Bekerjasama dengan Lingkar Studi Feminis (LSF) pada Sabtu, 20 Juni 2020. Bertindak sebagai moderator adalah dr. Sandra Suryadana, selaku founder Dokter Tanpa Stigma.
Sebagai pembuka, dr. Sandra Suryadana menyampaikan bahwa banyak tenaga medis yang tidak memiliki perspektif kesetaraan gender. Hal ini berdampak pada banyaknya tenaga medis yang masih memberikan stigma negatif pada pasien dan bahkan bersikap diskriminatif. Sudah banyak keluhan dari pasien yang disampaikan baik secara diam-diam maupun terang-terangan karena merasa tidak nyaman. Tenaga medis telah dididik untuk memperlakukan pasien dengan baik, namun seringkali tanpa sadar melakukan sikap diskriminatif dan berujung hilangnya rasa percaya pasien.
Tenaga medis juga manusia biasa, namun seringkali ekspektasi masyarakat terhadap tenaga medis jauh di luar kewajaran. Oleh karena itu diskusi online ini diharapkan menjadi ajang pembelajaran bersama dalam membangun tenaga medis yang berperspektif gender.
Dalam presentasinya yang berjudul Peranan Tenaga Medis dalam Politik, dr. Adinda Bunga Syafina, Sp.B (Dokter Bedah di RSUD Agats, Papua) menyatakan bahwa dirinya bukan ahli politik dan bukan pula praktisi politik praktis. Namun ia meyakini bahwa seorang dokter harus berwawasan luas, tidak hanya paham dunia klinis saja tetapi juga harus paham politik yang akan berkontribusi dalam pembuatan kebijakan publik.
Peranan tenaga medis dalam politik bisa dilihat pada kilas sejarah. Dimana, pendidikan adalah salah satu bentuk politik etis Belanda yang muncul karena ada aspirasi baru, cara hidup baru, cara baru untuk merasa, berpikir dan berperilaku di Hindia Belanda. Tujuan dari diterapkannya politik etis bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda adalah untuk melakukan transformasi mental, menanamkan kasih sayang dan menanamkan kesetiaan sejati pada Ratu (saat itu kontrol militer telah mapan). Pemikiran Belanda menganggap bahwa pendidikan adalah metode paling sesuai untuk mengubah pribumi yang dianggap bodoh dan primitif agar menjadi patuh, beradab dan produktif.
Di sisi lain ada keinginan untuk maju dari pelajar Indonesia. Pelajar Indonesia mulai berhasrat untuk bersatu dan memajukan bangsa melalui pendidikan, kemajuan sains, teknologi dan pengobatan yang berawal dari Jawa ke seluruh nusantara. Merakalah yang nantinya berpartisipasi dalam pergerakan nasional. Jadi, peranan dokter dalam politik itu adalah historis. Sehingga, jika ada seorang dokter yang hanya ingin mengabdi pada masalah klinis, penerbitan jurnal dan penanganan pasien saja tanpa terlibat dalam politik itu adalah ahistoris.
Ilmu kedokteran mengilhami para dokter di Indonesia untuk mengkritik pemerintah kolonial, misalnya karena tingginya prevalensi penyakit diantara penduduk asli dan standar pelayanan medis yang tidak memadai. Ilmu Kedokteran juga memberikan analogi mengenali bagaimana menangani suatu masalah, melihat kondisi pasien dan bagaimana cara mengatasi masalah tersebut. Analogi dalam ilmu kedokteran tersebut ternyata tidak hanya berlaku di dunia medis saja namun bisa dipraktekkan dalam memahami problem masyarakat Indonesia. Hal inilah yang pada akhirnya menimbulkan banyaknya kritik pada pemerintah kolonial Belanda.
Ada beberapa tokoh yang saat itu bergerak, antara lain: Jeremias Kalijadoe, WK Tehupeiory, Abdul Rasjid yang berperan dalam membentuk Perkumpulan Dokter Hindia Belanda (Vereeniging van Indische Artsen; VIG). Abdul Rasjid akhirnya menjadi anggota Volksraad (cikal bakal perlemen Hindia Belanda). Tokoh terkenal lain: Soetomo, Tjipto Mangunkusumo.
Namun, setelah penyerahan kekuasaan Hindia Belanda kepada pemerintahan baru Republik Indonesia (1949) ada himbauan agar para dokter fokus bekerja di institusi medis, membuat sistem kesehatan nasional dan mundur dari aktivitas politik. Hal ini disebabkan karena jumlah dokter di Indonesia masih sangat sedikit. Menurut Abdul Rasjid jumlahnya baru sekitar 600 orang.
Nah, siapakah dokter perempuan pertama di Indonesia? Marie Thomas adalah dokter perempuan pertama di Indonesia. Dia berasal dari Manado dan merupakan anak dari seorang pegawai di jaman kolonial. Melalui beasiswa dari sebuah yayasan yang memberikan dana pendidikan bagi dokter perempuan yaitu Studiefonds voor Opleiding van Vrouweliike Indlandsche Asrten (SOVIA), Marie Thomas mendaftar ke Stovia (1902). Hal ini tidak bisa dilepaskan dari peran Aletta Jacob (dokter perempuan pertama di Belanda). Ini adalah sebuah contoh, bagaimana perempuan bisa mendukung dan memajukan perempuan lainnya dan bukan saling menjatuhkan sebagaimana mitos yang sering muncul.
Begitulah, Marie Thomas akhirnya lulus dari STOVIA dan menjalani ikatan dinas sebagai dokter pemerintah setidaknya selama sepuluh tahun dan pernah bertugas di Centrale Burgelijke Ziekenhuis (CBZ) yang kini menjadi Rumah Sakit Tjipto Mangunkusumo dan menjadi spesialis Indonesia pertama di bidang OBGYN.
Bagaimana keterlibatan tenaga medis dalam politik saat ini? Saat ini pendekatan baru dalam penanganan kesehatan terpusat dengan konsep kesehatan global. Inisiatif kesehatan global ini seringkali melampaui wewenang pemerintah pusat dan jarang bergantung pada sistem pelayanan kesehatan nasional. Kita bisa melihat bahwa seringkali kita dipaksa mengikuti standar WHO tanpa melihat guidline yang telah dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Bangkitnya kesehatan global berdampak pada status dan peran sosial para dokter yang mulai terkikis. Dimana, yang dulunya dominan di kesehatan global menjadi subordinat dalam prakarsa kesehatan global. Kondisi ini sama seperti yang dilakukan pada masa kolonial Hindia Belanda pada saat sebelum Indonesia merdeka.
Pertanyaannya sekarang, ada berapa dokter yang menjadi anggota DPR? Ternyata dalam pelantikan DPR RI Oktober 2019, dari 575 anggota DPR RI hanya ada 7 orang dokter (2 perempuan dan 5 laki-laki). Dimana, 2 orang duduk di luar Komisi IX dan 5 orang berada di Komisi IX DPR RI yang fokus membahas isu kesehatan. Jumlah keseluruhan anggota DPR yang duduk di Komisi IX adalah 54 orang. Sehingga bisa dibayangkan dari 54 orang anggota Komisi IX yang berwenang membahas isu kesehatan ternyata hanya ada 5 orang dokter di dalamnya.
Mengapa data ini menjadi penting? Karena DPR dan pemerintah adalah pembentuk dan pengambil kebijakan yang akan diberlakukan pada masyarakat (publik). Memang tidak ada jaminan bahwa seorang tenaga medis pasti akan memperjuangkan isu kesehatan. Sebagai contoh, kita bisa melihat, dari sejumlah anggota Komisi IX DPR RI, yang cukup familiar bagi kita dan masyarakat hanya ada dr. Ribka Tjiptaning yang salah satu perjuangannya adalah menentang kenaikan iuran BPJS dan menentang komersialisasi kesehatan. Memang agak sulit kita melihat track record anggota Dewan Yang Terhormat selama mereka menjabat.
Bagaimana Peran Tenaga Medis Saat ini? Selama ini kita melihat peran tenaga medis seperti adanya Perhimpunan Dokter Indonesia Bersatu, ada beberapa dokter yang mengkritik pemerintah di sosial media. Namun peran mereka masih sangat sporadis dan tidak terstruktur. Nah, bagaimana seharusnya peran tenaga medis saat ini?
Menurut dr. Bunga, semua tenaga medis seharusnya berperan dalam membangun peradaban, baik yang duduk di dalam pemerintahan maupun di luar pemerintahan, misalnya aktif dalam memberikan masukan atas penentuan kebijakan yang akan dibuat, memberikan kerangka berpikir yang runut dalam setiap permasalahan bangsa.
“Setiap tenaga medis harus menjadi garda terdepan dalam setiap perubahan. Apabila bisa berperan dari dalam sistem sebagai penentu kebijakan itu akan lebih baik lagi. Namun bagi yang berada di luar sistem, bisa memperkaya diri dengan wawasan seperti belajar tentang perspektif gender agar ketika bertemu dengan pemangku kepentingan dan masyarakat bisa memberikan sumbang saran permasalahan bangsa,” tegas dr. Bunga.
Terakhir, dr. Bunga menyoroti 2 artis papan atas yang duduk di Komisi IX DPR RI. “Ternyata di Komisi IX ada dua artis yang kita kenal, yaitu Krisdayanti dan Arzeti. Harapannya, mereka juga bisa ikut berkontribusi dalam isu-isu kesehatan dan tidak hanya duduk diam,” pungkasnya.
Indah Pratiwi
Terkait
Literasi Keuangan: Bijak Meminjam, Waspada Jerat Pinjol Ilegal
Kepemimpinan Perempuan, Menuju Maluku Utara Adil Makmur
Ibu Bumi, Darah Perempuan, Sebuah Seruan Perubahan