Kehidupan Anak Dengan HIV/AIDS atau yang disingkat ADHA selama ini masih memprihatinkan. Selain mendapatkan stigma buruk dan disisihkan dalam pergaulan, tak sedikit yang harus kehilangan haknya untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
Kondisi ini dialami oleh Seroja. Anak Perempuan yang lahir dari pasangan suami istri positif HIV/AIDS ini harus menjadi yatim piatu diusia 10 tahun. Seroja sendiri divonis positif HIV/AIDS. Tak hanya menjadi yatim piatu di usia dini, Seroja pun harus meninggalkan bangku sekolah. Pernah ada seorang ibu yang baik hati mendaftarkan kembali Seroja ke Sekolah Dasar dimana dia dulu bersekolah, namun sampai masa sekolah aktif ia tak kunjung dipanggil oleh pihak sekolah. Seroja kini tak lagi mengenyam pendidikan di bangku sekolah.
Stigma negatif terhadap HIV/AIDS ini seringkali memperburuk situasi ADHA maupun ODHA (orang dengan HIV/AIDS). Sebagai contoh, ayah Seroja sebelum meninggal selalu denial (menyangkal) terhadap statusnya yang positif HIV/AIDS. Ia bilang bahwa ia orang baik-baik dan tak pernah melakukan perbuatan asusila. Akibatnya, dia menolak disebut positif HIV/AIDS dan tidak mau melanjutkan pengobatannya. Parahnya lagi, anaknya Seroja yang positif HIV terpaksa mengikuti ayahnya yang tidak melanjutkan pengobatan sehingga daya tahan tubuhnya menurun drastis dan ia terserang penyakit TBC.
Penyakit AIDS yang diakibatkan virus HIV telah menjadi momok bagi siapa pun. Bukan hanya karena risiko kesehatan yang dihadapi, tapi juga stigma negatif masyarakat yang diarahkan kepada ODHA/ADHA. Mereka kerap diasosiasikan sebagai seseorang yang memiliki lingkup pergaulan seksual bebas dan tidak sehat, misalnya tunasusila dan mereka yang menggunakan jasanya. Padahal tidak selalu penderita HIV/AIDS merupakan seseorang yang memiliki citra negatif, karena ibu rumah tangga bisa saja tertular dari suaminya. Kemudian ibu yang hamil menularkan virusnya kepada bayi dan anak-anak yang masih polos dan tak berdosa.
Kasus Anak dengan HIV/AIDS di Indonesia
HIV yang merupakan singkatan dari Human Immunodeficiency Virus adalah jenis dari virus yang menyerang imunitas tubuh seseorang, sehingga rentan terserang berbagai macam penyakit. Sementara Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh akibat serangan HIV.
Sejak pertama kali dilaporkan pada 1994, temuan kasus HIV/AIDS pada anak di Indonesia terus bertambah. Pertama kali kasus HIV/AIDS pada anak di Indonesia terjadi di Bojonegoro, Jawa Timur, setelah seorang ibu pengidap HIV melahirkan bayi perempuan. Hingga 2018, pengidap HIV pada anak dan remaja (di bawah 19 tahun) terus bertambah, mencapai 2.881 orang. Jumlah tersebut meningkat dari tahun 2010, yaitu sebanyak 1.622 anak terinfeksi HIV. Dari sisi usia, rentang anak berusia 15-19 tahun merupakan kelompok yang paling banyak terinfeksi HIV, diikuti kelompok anak usia 0-4 tahun, kemudian usia 5-14 tahun.
Tahun 2019, 1.434 anak usia 15-19 tahun terinfeksi HIV. Jumlah ini setara dengan 49 persen total anak yang terinfeksi HIV pada 2018. Sementara pada kelompok usia 0-4 tahun, 988 anak (34 persen) tertular HIV. Rentang usia 0-4 tahun merupakan kelompok yang paling menunjukkan peningkatan paling tinggi dibandingkan usia 5-14 tahun dan 15-19 tahun. Jika pada 2010 terdapat 390 anak usia 0-4 tahun terinfeksi HIV, jumlahnya meningkat lebih dari 2,5 kali lipat menjadi 988 anak pada 2018.
Melihat data pengobatan terapi antiretroviral (ART) yang dilakukan anak dengan HIV/AIDS, Pulau Jawa merupakan wilayah dengan populasi paling banyak, diikuti Pulau Sumatera, Bali dan Nusa Tenggara, Papua dan Maluku, Kalimantan, serta Sulawesi. Terapi obat-obatan anti-HIV atau ART berfungsi menekan jumlah virus agar tetap stabil, tetapi tidak membunuh virus HIV atau menyembuhkannya.
Setidaknya terdapat 2.223 anak terinfeksi HIV di Pulau Jawa yang menjalani terapi antiretroviral pada 2018. Jika dilihat dari sebaran provinsi, DKI Jakarta merupakan daerah dengan jumlah ADHA yang sedang mendapatkan pengobatan antiretroviral terbanyak, yaitu 640 anak. Setelah DKI Jakarta, diikuti Jawa Barat (621 anak), Jawa Tengah (412 anak), Jawa Timur (399 anak), dan Bali (256 anak).
Penularan HIV pada Janin
HIV bisa ditularkan melalui hubungan seks vaginal, oral, ataupun anal dengan pasangan yang terinfeksi, dengan berbagi jarum suntik atau pisau cukur bersama orang yang terinfeksi, atau ditularkan melalui transfusi darah dari orang yang terinfeksi. HIV juga bisa ditularkan oleh ibu ke bayinya.
Cara penyebaran HIV/AIDS dari ibu yang positif HIV kepada bayinya terjadi pada masa kehamilan, saat persalinan, dan selama menyusui. Tanpa pengobatan, bayi memiliki kemungkinan 25 persen terinfeksi. Tapi risiko bayi terinfeksi bisa dikurangi dengan pengobatan yang tepat selama kehamilan, termasuk monitoring muatan virus, mengonsumsi obat yang diresepkan, menghindari prosedur kehamilan tertentu, menjalani operasi sesar jika muatan virus terlalu tinggi, dan tidak memberi ASI.
Kementerian Kesehatan mencatat, prenatal merupakan faktor risiko yang cukup banyak menyumbang peningkatan penyakit AIDS. Pada periode 2009-2017 setidaknya terdapat 3.020 kasus AIDS yang dilaporkan karena faktor prenatal. Salah satu cara mencegah bertambahnya jumlah anak yang terinfeksi HIV adalah melakukan pencegahan penularan HIV dari ibu kepada anak (PPIA). Di Indonesia, program Prevention of Mother-to-Child HIV Transmission (PMTCT) telah dilaksanakan sejak 2004, khususnya di daerah dengan tingkat epidemi HIV tinggi.
Pencegahan dan Menghapus Stigma
Penanggulangan HIV/AIDS tidak melulu berupa pelayanan pengobatan kepada pengidap HIV, tetapi juga bisa melalui pencegahan dini. Ibu hamil saat memeriksakan kehamilannya sebaiknya diperiksa status HIV-nya agar apabila positif dapat segera diberi tindakan pengobatan. Dengan begitu, penularan kepada bayi dapat diminimalisasi sehingga kesehatan ibu dan anak yang dikandungnya terjamin.
Model pencegahan seperti ini sukses dilakukan di sejumlah negara. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memberi syarat keberhasilan sebuah negara harus mampu menekan hingga kurang dari 2 persen penularan HIV dari ibu kepada anak dan kurang dari 50 kasus infeksi baru dalam 100.000 kelahiran.
Kuba menjadi negara pertama di dunia yang mampu mencapai target tersebut pada 2015 lalu. Selain Kuba, WHO juga mengumumkan, Belarus dan Armenia juga berhasil menghentikan penyebaran HIV dan sifilis dari ibu kepada anak.
Pada 2016, WHO menyatakan, Thailand menjadi negara pertama di Asia yang berhasil menghapus penularan HIV dan sifilis dari ibu dan anak. Sukses Thailand berawal dari perhatian kuat pada penanganan prakelahiran mulai dari kota-kota besar hingga desa-desa miskin.
Hampir semua perempuan hamil menjalani pemeriksaan HIV. Sebanyak 95 persen dari mereka yang dinyatakan positif HIV menjalani penanganan khusus untuk mencegah penularan kepada bayi. Semua bayi yang lahir dari perempuan positif HIV mendapat obat penangkal reproduksi virus.
Indonesia seharusnya berkaca pada kesuksesan yang dicapai negara-negara lain dalam mencegah penyebaran HIV/AIDS. Sehingga negara mempunyai kebijakan terkait pencegahan infeksi HIV pada anak dan bayi. Negara juga harus menyediakan fasilitas layanan HIV, merumuskan anggaran pelayanan HIV, dan memproduksi obat-obatan untuk HIV. Kuncinya adalah komitmen kebijakan yang konsisten dan berkelanjutan dengan melibatkan elemen masyarakat supaya tidak makin banyak anak dan bayi terinfeksi HIV.
Tidak sepatutnya kita mendiskriminasi atau mengucilkan anak-anak atau siapa pun yang mengidap HIV. Bagi anak-anak, tentu saja hal itu akan mempengaruhi tumbuh kembangnya. Namun, minimnya edukasi terkait penyakit HIV kepada masyarakat, telah melahirkan stigma negatif terhadap penderitanya. Mereka yang seharusnya mendapatkan support untuk bangkit malah dijauhkan. Bagaimana seharusnya pemerintah bersikap untuk menghapuskan stigma negatif tersebut?
Pemerintah berkewajiban untuk melakukan edukasi kepada masyarakat tentang apa itu HIV, bagaimana penularan dan pencegahannya secara terus-menerus. Tentunya, negara tidak bergerak sendirian, tetapi harus melibatkan peran aktif seluruh elemen masyarakat termasuk lembaga pendidikan. Kementerian Sosial dalam hal ini bisa mendorong peran Pekerja Sosial Masyarakat (PSM), karena mereka adalah warga yang dengan kesadaran, tanggung jawab sosial dan didorong rasa kebersamaan kekeluargaan serta kesetiakawanan sosial secara sukarela mengabdi di bidang kesejahteraan sosial.
Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Agar kelak mampu bertanggung jawab dalam keberlangsungan bangsa dan negara, setiap Anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, maupun sosial. Untuk itu, perlu dilakukan upaya perlindungan untuk mewujudkan kesejahteraan Anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya tanpa perlakuan diskriminatif.
Negara telah memberi jaminan atas hak-hak anak tersebut dalam Undang-Undang. Keberadaan anak dengan HIV/AIDS tertuang dalam Pasal 59 Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 atas perubahan Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai anak yang memerlukan perlindungan dan perlindungan khusus. Adapun hak-hak anak itu meliputi hak hidup, hak untuk tumbuh kembang, hak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi, serta hak berpartisipasi atas masa depan.
Dalam rangka menyambut peringatan Hari Anak Nasional yang diperingati setiap tanggal 23 Juli, marilah kita bersama-sama bergerak dalam upaya pencegahan dan penghapusan stigma terhadap anak dengan HIV/AIDS. Melalui gerakan ini diharapkan masyarakat lebih aware, karena ADHA bukan kutukan sehingga mereka juga berhak hidup secara wajar. ***
Dr. Latri Mumpuni Margono, M. Si.
*Penulis adalah staf Bidang Litbang Fakir Miskin Puslitbangkesos Kementerian Sosial Republik Indonesia dan pemerhati bidang perlindungan anak dan HIV/AIDS. Pernah menjadi Ketua Pokja untuk Anak dan Perempuan pada Komnas Penanggulangan HIV Nasional, menjadi fasilitator dan tim penyusun modul-modul dan media pembelajaran IMS, Kesehatan Reproduksi dan HIV/AIDS.
Terkait
Resensi Buku: Menghadang Kubilai Khan
Sunat Perempuan, Tradisi Berbalut Agama yang Membahayakan
Dari Aktivisme Borjuis ke Solidaritas Sejati: Membangun Gerakan Sosial yang Inklusif