RUU P-KS atau Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual adalah sebuah inisiatif DPR yang diusulkan kepada pemerintah untuk dibahas dan diselesaikan bersama dalam rangka pembangunan peradaban baru. RUU P-KS seyogyanya merupakan payung hukum yang mampu mencegah bertambahnya korban kekerasan seksual di negara tercinta ini.
RUU P-KS masuk dalam prolegnas (Program Legislasi Nasional) sejak tahun 2016 lalu. Namun, tahun ini tepatnya pada Kamis tanggal 2 Juli 2020 dalam rapat kerja disingkirkan dari program legislasi nasional prioritas dengan alasan bahwa RUU P-KS masuk dalam kategori pembahasan yang sulit.
Ketua Baleg (Badan Legislasi) yaitu Supratman Andi Atgas selaku politikus Gerindra, mengatakan bahwa ada sejumlah pemidanaan dalam RUU P-KS yang berkelindan dengan RKUHP. Oleh karenanya, terlebih dahulu harus mengesahkan RKUHP. Selain ketua Baleg, pada akhir periode kerja DPR 2014-2019, Ketua Panitia Kerja (Panja) Pembahasan RUU PKS Marwan Dasopang, politikus PKB, mengatakan hal serupa. Marwan beranggapan RUU P-KS –sebagai undang-undang lex specialis–harus selaras dengan KUHP terutama dari aspek bobot pemidanaan.
Disisi lain, beberapa lembaga perempuan termasuk Aksi Perempuan Indonesia Kartini ( API Kartini ) sepakat dengan apa yang disampaikan oleh Komisioner Komnas Perempuan yaitu Siti Aminah Tardi yang mengkritik beberapa kali anggapan RUU P-KS sebagai UU lex specialis yang kerap dibahas dalam rapat kerja DPR. RUU P-KS mengatur sembilan kekerasan seksual, yaitu pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual. Sementara RKUHP hanya mengatur dua jenis kekerasan, yaitu perkosaan dan pencabulan.
Selain dari pada itu, RUU PKS juga mengatur hukum serta hak-hak korban.
Jika menunggu pengesahan RKUHP terlebih dahulu, maka bersiaplah kita menyaksikan semakin bertambahnya jumlah korban kekerasan setiap harinya.
Jika ditelaah secara baik-baik akan lebih bijaksana ketika RUU P-KS disahkan tanpa harus menunggu pengesahan RKUHP, hanya saja pihak yang bertanggung jawab atas ini selalu mengeluarkan seribu alasan untuk menghindar dari pengesahan RUU P-KS .
Akibat tidak adanya payung hukum yang menjadi pelindung terjadinya kekerasan seksual, jumlah kekerasan serta korban kekerasan semakin bertambah, jika merunut pada catatan tahunan yang dikeluarkan Komnas Perempuan.
Saya tidak perlu mengangkat contoh yang jauh, baru-baru ini provinsi Sulawesi Selatan tepatnya di kota Pare-Pare terdapat satu insiden mengerikan, dimana terjadi pemerkosaan pada warga berinisial R dengan usia yang masih belia yaitu 14 tahun. Bulan April lalu, korban diperkosa oleh delapan (8) orang.
Insiden ini sontak menjadi sorotan dikarenakan pelaku hanya dijatuhi hukuman penjara selama 5 bulan. Dan parahnya ternyata kasus ini disembunyikan oleh aparat, dan pada akhirnya bocor juga. Saya pribadi tak habis pikir melihat dunia hukum yang berjalan diluar alur, inilah salah satu alasan mengapa RUU P-KS harus segera disahkan.
Kasus pemerkosaan terhadap anak yang masih dibawa umur dan dilakukan oleh 8 orang yang hanya dijatuhi vonis 5 bulan penjara dianggap timpang. Akibat hukum yang timpang ini mahasiswa bersama keluarga korban melakukan aksi demonstrasi di kejaksaan dengan isu tuntutan mengajukan saran untuk banding. Hanya saja aksi demonstrasi yang dilakukan pada tanggal 8 Juli 2020 ini tidak membuahkan hasil yang memuaskan, karena aparat hukum tidak merespon dengan baik, melainkan memperhadapkan massa aksi dengan anjing kemananan, sehingga banyak massa aksi yang menjadi korban gigitan anjing kemanan. Melihat kejadian seperti ini, saya dapat menyimpulkan bahwa hukum sedang dipermainkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Saya selaku Ketua DPK API Kartini Palopo turut berduka dengan disingkirkannya RUU P-KS yang menjadi harapan korban kekerasan seksual dari prolegnas prioritas 2020. Serta duka yang mendalam dengan banyaknya kasus kekerasan seksual yang semakin bertambah.
Yulianti J
*Penulis adalah Ketua DPK API Kartini Palopo
Terkait
Mary Jane Fiesta Veloso: Perjalanan Panjang Menuju Pembebasan
Orde Baru dan Depolitisasi Perempuan
Peringatan 16 HAKTP 2024