10 Februari 2025

Perempuan, Seks dan Perang

Perjuangan perempuan dari berbagai Latar belakang, memobilisir diri dan melakukan upaya perdamaian dengan cara perempuan.
0Shares

“…Seks adalah hukum otak alamiah manusia! Sementara seksualitas murni ialah keinginan berkontak secara inderawi (gesekan daging) dan individu berhak melakukannya diluar kontraktual.”

~Azhar Jusardi

Mari membandingkan pertunjukan panggung Lysistrata dengan film ‘Pray The Devil Back to Hell‘, sebuah film dokumenter yang luarbiasa. Baik Lysistrata maupun Pray The Devil Back To Hell berkisah tentang perang dan seks. Upsss, nanti dulu. Bukan berarti dalam kedua kisah tersebut bertaburan adegan seks. Tidak, bukan itu. Kedua kisah tersebut justru menceritakan bagaimana perempuan menggunakan seks sebagai senjata perdamaian.

Baik Lysistrata dan Pray The Devil Back to Hell menceritakan tentang perjuangan perempuan dari berbagai Latar belakang, memobilisir diri dan melakukan upaya perdamaian dengan cara perempuan. Para perempuan menolak untuk berhubungan seks dengan suami-suami mereka hingga para suami setuju untuk meletakkan senjata dan mengakhiri perang.

Lysistrata adalah sebuah komedi Yunani kuno oleh Aristophanes. Awalnya dilakukan di Athena klasik pada 411 SM. Ini adalah kisah komik tentang misi seorang perempuan untuk mengakhiri Perang Peloponnesia antara negara-negara kota Yunani. Caranya dengan menolak melakukan seks dalam bentuk apapun. Lysistrata membujuk para perempuan di kota-kota yang bertikai untuk menahan hak-hak seksual dari suami dan kekasih mereka sebagai cara untuk memaksa para lelaki menegosiasikan perdamaian — sebuah strategi, bagaimanapun, yang mengobarkan pertempuran antar jenis kelamin. Dramatis Personae dalam komedi kuno bergantung pada interpretasi para ahli terhadap bukti tekstual. Daftar ini didasarkan pada terjemahan Alan Sommerstein tahun 1973

Pray the Devil Back to Hell adalah film dokumenter yang disutradarai oleh Gini Reticker dan diproduksi oleh Abigail Disney. Film yang ditayangkan perdana di Fries Film Tribeca 2008, di mana ia memenangkan penghargaan untuk dokumenter terbaik. Film ini memiliki rilis teater di New York City pada tanggal 7 November 2008.

Film ini mendokumentasikan sebuah pergerakan perdamaian yang disebut Aksi Massa Perempuan Liberia untuk Perdamaian. Dimotori oleh pekerja sosial Leymah Gbowee, gerakan tersebut dimulai dengan sholat dan bernyanyi di pasar ikan. Leymah Gbowee menyatukan perempuan Kristen dan Muslim Monrovia, Liberia dalam berdoa bersama untuk kedamaian dan berdemonstrasi tanpa kekerasan.

Dalam demonstrasi damai tersebut, mereka berpakaian putih untuk melambangkan perdamaian. Aksi yang diikuti oleh ribuan perempuan ini menjadi kekuatan penekan pemerintah. Melalui gerakan ini, mereka menjadikan Ellen Johnson Sirleaf sebagai presiden perempuan Liberia pertama di Afrika. Film ini juga mengilhami perjuangan perempuan di Sudan untuk memobilisasi perempuan Afrika mengajukan petisi perdamaian dan keamanan

Seks dan Seksualitas

Definisi seks berbeda dengan seksualitas. Di muka telah disampaikan bahwa Azhar Jusardi mendefinisikan seks adalah hukum otak alamiah manusia. Sementara seksualitas murni ialah keinginan berkontak secara inderawi (gesekan daging) dan individu berhak melakukannya diluar kontraktual.

Seks menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia, bahkan dalam perang sekalipun. Tentu kita masih ingat tentang kisah para Jugun Ianfu. Memang bukan kisah yang menyenangkan namun kita bisa melihat bagaimana seks menjadi kebutuhan yang tak terpisahkan dengan perang. Tinggal bagaimana usaha dalam pemenuhan kebutuhan tersebut, dengan cara lembut, ada kesepakatan, diwarnai romantika atau pemaksaan. Yang terakhir ini yang menjadi momok bagi kaum perempuan

Satu hal yang kita sepakati bahwa seks dan hasrat seksual terdapat secara alamiah pada manusia. Dalam kerangka berfikir yang benar, kita akan memisahkan antara seks dan seksualitas. Sehingga tidak ada pembenaran pada tindakan pemaksaan hubungan seks. Dari kedua kisah diatas, setidaknya terdapat 3 (tiga) hal yang sama yaitu: seks, perempuan dan perang. Kaum perempuan menyadari kerugian yang ditimbulkan oleh perang seperti resiko kehilangan suami akibat tewas dalam pertempuran, menipisnya bahan makanan dan perubahan sistem budaya dan tatanan kehidupan baik di perdesaan maupun perkotaan. Oleh karena itu kaum perempuan bersepakat untuk menyerukan perdamaian dan mengakhiri perang.

Perang Peloponnesian membentuk kembali dunia Yunani kuno. Pada tingkat hubungan internasional, -Athena, negara kota terkuat di Yunani di masa awal perang- menurun menjadi hampir lengkap, sementara Sparta semakin mapan sebagai kekuatan utama Yunani. Ongkos mahal yang harus dibayar adalah meluasnya kemiskinan dan Athena benar-benar hancur, tak pernah mendapatkan kembali kemakmuran pra-perangnya.

Namun, perang juga menempa karakter masyarakat Yunani menjadi lebih halus. Konflik antara kelompok demokratik Athena dan oligarki Sparta, yang memiliki faksi politik pendukung masing-masing, membuat perang menjadi hal yang jamak di Yunani. Peperangan Yunani kuno, yang awalnya merupakan konflik terbatas dan diformalkan, berubah menjadi peperangan antar negara-kota, lengkap dengan kekejaman dalam skala besar. Mengoyak tabu agama dan budaya, merusak tatanan pedesaan, dan menghancurkan seluruh kota. Perang Peloponnesian menandai akhir yang dramatis dari abad ke-5 SM dan zaman keemasan Yunani.

Can a bullet pick a choose?

Menarik ucapan salah seorang dari mereka, jangan sampai kelak anak-anak kita setelah dewasa mempertanyakan peran kita:

‘Mom, what are you doing during the crisis?’

It would be ashamed when children are starving

It would be ashamed when they’ve been raped

Seks bagaikan dua sisi mata uang, pada rejim perang, seks digunakan sebagai instrumen penundukkan seperti yang terjadi pada perang Liberia dan kolonialisasi Jepang. Sementara di tangan para perempuan pemberani, seks menjadi alat untuk mengakhiri perang. Namun seringkali seks digunakan sebagai instrumen penundukan kaum perempuan. Begitu pun seks di era kapitalistik ini, ia hanya dianggap sebagai komoditas.

Perang abad ini memang mengambil bentuk yang berbeda, namun masih terdapat unsur yang sama. Tinggal bagaimana perempuan mengambil peran dalam peperangan ini. Perempuan memiliki corak perjuangan sendiri yang unik dan berbeda. Apapun bentuk dan metode perjuangan yang dipilih, perempuan turut berperan. Ketika, angka kekerasan seksual masih menempati posisi teratas dari tindak kekerasan terhadap perempuan. Maka, peperangan saat ini adalah menuntut disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Mari tabuh genderang perang melawan kekerasan seksual!

Ernawati

1 September 2020

Sumber Pustaka:

  • Upaya Memisahkan Cinta-seksual dan Pentingnya Nalar akan Bias Kenikmatan – https://go.shr.lc/2SgswSd – Azhar Jusardi
  • Membangun Konsep Neuronal Hedonisme (Imanensi Etis) – https://go.shr.lc/3bcgcZ4 – Azhar Jusardi
0Shares
×

Salam Sejahtera

× Hai