‘Tilik’ sebuah film pendek garapan sutradara Wahyu Agung Prasetyo . Semula aku tidak terkesan walaupun film ini banyak mendapat pujian di salah satu WAG yang ku ikuti (komentatornya laki-laki semua) tapi ternyata ada pendapat lain di media sosial yang isinya lebih banyak kritikan tentang betapa misoginisnya film ini. Jadi, aku memutuskan untuk menonton film itu.
Tilik atau membezuk orang sakit memang biasa dilakukan secara bersama baik di kota maupun di desa. Kadang menggunakan bis atau sewa mobil. Terlepas dari aspek sinematografi yang (menurut pendapat teman) bagus, sudut pengambilan gambar, lokasi dan isi ceritanya sangat menggambarkan perempuan.
Dari dialog hingga perdebatan, semuanya disajikan secara natural. Suka atau tidak suka, kita memang harus akui, memang seperti itulah ketika para ibu berkumpul, bergosip dengan nada negatif. Namun sempat terbersit di benakku, itu settingan film tahun berapa ya? Dialognya agak kuno walaupun disisipi soal internet dan medsos.
Dari pengalamanku setiap berkumpul dengan Ibu-ibu di arisan RT tiap bulan dan di beberapa komunitas ibu-ibu dengan latar belakang yang beragam, memang selalu ada pergunjingan. Namun di era masa kini, di masa semua sudah kenal media sosial, pergunjingan memiliki gaya yang berbeda. Sekalipun nyinyir tapi tetap rasional. Sudah bisa menerima perubahan jaman. Misalnya tentang perempuan yang jalan dengan laki-laki, merokok, pulang malam dan lain sebagainya. Tidak lantas langsung mencapnya sebagai perempuan ‘tidak benar’ selalu ada penjelasan yang rasional diikuti pemahaman mengenai profesi yang berbeda. Termasuk dalam mengikuti berita di medsos.
Justru disini misoginisnya, kenapa harus membangun dialog berisi pergunjingan negatif? Penulis skenario tetap bisa menghasilkan dialog yang natural dengan isian yang lebih bagus. Misalnya tentang masakan, tehnologi alat masak, kebun dan lainnya.
Kemajuan tehnologi memperluas jangkauan untuk mengakses informasi. Termasuk para ibu. Dialog saat ini tidak selalu seperti yang digambarkan dalam film tersebut. Percakapan tidak selalu berisi pergunjingan yang menjatuhkan karakter seseorang. Biasanya percakapan justru dimulai dari cerita mengenai keluarga sendiri lalu diakhiri dengan berita terbaru mengenai masakan atau alat masak.
Laki-laki juga Gemar Bergunjing
Bukan hanya perempuan atau ibu yang gemar bergosip atau bergunjing, kaum laki-laki juga. Aku juga memiliki komunitas yang terdiri hanya laki-laki dan aku satu-satunya perempuan. Setidaknya ada 4 komunitas laki-laki, satu komunitas terdiri dari para bapak yang seusia denganku, satu komunitas yang usianya sedikit lebih muda dari usiaku, lalu komunitas anak muda yang lagi-lagi terdiri dari laki-laki dan hanya aku perempuanya dengan rata-rata usia 15 tahun lebih muda dariku. Bahkan saat ini ada yang usianya rata-rata 24 tahun lebih muda, dan semua bergosip. Memang saat berkumpul dan bergosip biasanya diakhiri dengan mengolok-olok bahkan bullying namun tidak sampai mengurangi keakraban.
Misoginis lainnya, kejutan di ending. Benar-benar menampar dan membuatku ingin memaki penulisnya. Kenapa harus dibuat sosok Dian sebagai perempuan simpanan? Bisa saja kan kejutan dibuat dengan menampilkan sosok Dian sebagai perempuan yang bekerja di bidang desain atau ahli mesin yang bekerja di lapangan atau bahkan intelijen misalnya.
Memang perempuan memiliki hak untuk memilih jadi apapun, Pekerja seks sekalipun. Tapi perempuan simpanan atau istri kedua? Posisi ini juga merupakan tindak kekerasan terhadap perempuan, bukan hanya dari suami atau pasangan yang bertindak sembunyi-sembunyi namun juga dari perempuan itu sendiri. Kekerasan tidak dilihat hanya dari tindakan secara fisik namun juga psikis.
Ada sebuah film pendek lain sebagai perbandingan. Sowan, sebuah film yang telah banyak memenangkan penghargaan yaitu Best Short Film, Education Film Festival, Jakarta; Best Short Film, Indonesian Film Festival, Melbourne; nominasi untuk Best Short, Indonesia Film Festival, Jakarta; nominasi untuk Best Short, Indonesian France Film Festival, Jakarta; Official Screening, Los Angeles Indonesian Film Festival, America. Film yang di sutradarai oleh Bobby Prasetyo ini juga menampilkan tema dan dialog yang sederhana.
Sowan, kata dalam bahasa Jawa yang berarti berkunjung atau mengunjungi sebagai penanda silaturahmi. Sowan, film dengan latar belakang peristiwa 1965, berkisah tentang persahabatan Mien dan Murti, seorang penyanyi. Persahabatan keduanya direnggut oleh peristiwa 1965 yang menyeret Murti karena dianggap berafiliasi dengan PKI karena pernah diundang menyanyi dalam acara kongres partai.
Peristiwa yang hingga kini belum diungkap secara jelas namun stigmanya masih berlaku hingga kini. Kedua sahabat itu pun terpisahkan selama bertahun-tahun. Dari segi sinematografi jelas ‘Sowan’ memiliki banyak keunggulan. Namun kebalikan dari ‘Tilik’, ‘Sowan’ menampilkan dialog yang positif dengan tutur halus dan tidak membosankan. Film ini menciptakan ‘tatapan’ yang berbeda mengenai perempuan. Memang alur ceritanya sangat berbeda, dengan tema yang sederhana namun memiliki makna mendalam.
Walaupun di kedua film tersebut terdapat kejanggalan dalam pilihan dialog, pada Tilik, dialognya terlalu kuno untuk era masa kini sementara dialog Murti dan Mien di film Sowan, terlalu kekinian untuk percakapan dua remaja di era 60-an. Masih ada beberapa kejanggalan lain Di film Tilik tapi tidak perlu dibahas disini karena justru akan bias.
Dari kedua film tersebut terdapat beberapa peran yang dapat menjadi gambaran situasi sosial politik kita. Ada fakta yang semua orang tahu tapi coba ditutupi karena demi keamanan diri. Terlepas bahwa fakta itu adalah situasi yang bersifat positif atau negatif. Saling silang kepentingan membenarkan sikap manipulatif, pasif, pura-pura tidak tau dan menyerang. Ada peran yang bicara kebenaran, ada peran menenangkan demi kenyamanan dan keharmonisan semua pihak. Bagaimanapun sebuah karya audiovisual akan meninggalkan bekas ingatan dan kesan yang berbeda pada tiap orang. Itu kesan yang kutangkap dan interpretasiku atas kedua film tetsebut
Tatapan Perempuan
Menonton dan membandingkan kedua film di atas, aku jadi ingat status Facebook yang pernah ku buat 8 tahun yang lalu setelah membaca buku berjudul Tatapan Perempuan: Perempuan Sebagai Penonton Budaya Populer yang ditulis oleh Lorraine Gamman dan Margaret Marshment. Keduanya adalah dosen bidang kajian perempuan, Lorraine Gamman mengajar di Middlesex Polytechnic dan Margaret Marshment mengajar di University of Kent.
Esai-esai tentang budaya populer yang terdapat dalam buku ini mengupas berbagai kontradiksi dan kemungkinan dalam citra baru perempuan-perempuan perkasa seperti Cagney dan Lacey, Edwina Currie atau Madonna. Dalam ulasannya tentang film Spielberg pada The Color Purples-Alice Walker, dijelaskan bahwa ketika perempuan berhenti mendefinisi diri dalam hubungannya dengan laki-laki, maka mereka cenderung bisa menemukan kebahagiaan dalam diri mereka sendiri.
Kita tahu bahwa film Hollywood masih menjadi kiblat perfilman di Indonesia. Secara umum, film holliwood menempatkan perempuan diposisi pasif dan menempatkan posisi aktif pemeran laki-laki sebagai penentu pandangan. Perempuan juga ditempatkan sebagai tontonan seksual, seolah memang untuk ‘dilihat’ dan kenikmatan ini diidentifikasi sebagai salah satu struktur sentral sinema dominan, yang dikonstruksi berdasarkan hasrat maskulin.
Apakah cuma lelaki yang memandang? Apa yang terjadi jika perempuan yang menjadi pengamat? Apa yang terjadi jika perempuan memandang perempuan? Bagaimana kenikmatan penonton perempuan? Saatnya perempuan memberi tatapan berbeda pada film Indonesia.
Ernawati
Terkait
Kepemimpinan Perempuan, Menuju Maluku Utara Adil Makmur
Ibu Bumi, Darah Perempuan, Sebuah Seruan Perubahan
Harapan dan Tuntutan pada Pemerintahan Baru