16 April 2024

Resensi Film: The Miracle of The Sun

Mungkin kita membutuhkan keajaiban tapi bisa jadi keajaiban itu adalah diri kita sendiri.
0Shares

Film yang mengisahkan tentang sebuah peristiwa ajaib di bulan Oktober 1917 di Fatima, Portugis. Kisah ini bermula dari penuturan 3 orang anak, Lucia (berusia 10 tahun) dan kedua sepupunya, Jacinta dan Francisco tentang perjumpaan ketiganya dengan Bunda Maria. Penuturan ketiganya menggemparkan penduduk desa, termasuk pihak gereja dan pemerintah setempat, dalam film ini diwakili oleh sosok walikota. Lucia dan kedua sepupunya harus menghadapi ketidakpercayaan penduduk desa dan bahkan juga orangtua mereka atas kesaksian mereka berjumpa dengan Bunda Maria

Film ini menyentak dan memukau kesadaranku di tengah sosial media yang dibanjiri sticker Avatar, artis dan grup band Korea. Sempat terlintas juga nama Greta Thunberg dan George Floyd. Tanpa sadar aku membayangkan dan membandingkan posisi anak-anak tersebut. Untuk menambah referensi, setelah melihat film ini, aku menjelajahi informasi mengenai kondisi Portugis pada masa itu dan review dari berbagai pihak. Aku menikmati film ini dan melompat dari satu artikel ke artikel lain. Sebuah penjelajahan yang mengasikkan. Rasanya aku rela melewatkan makan siangku untuk ini.

Film ini dibuka dengan adegan berganti-ganti antara percakapan Lucia muda dengan Bunda Maria dan wawancara Professor Nicols dengan Suster Lucia yang tua dan anggun. Dua lokasi dan waktu yang berbeda. Pada awalnya agak membingungkan apalagi dengan latar belakang pencahayaan yang gelap di dalam gua. Professor Nichols adalah seorang penulis yang sedang mengerjakan sebuah buku tentang penampakan. Suster Lucia menjawab pertanyaan Nicols dengan sabar, pertanyaan yang sama sepanjang hidupnya.

Film ini menggambarkan keraguan seorang ibu, walikota, dan pendeta pada kisah Lucia dan kedua sepupunya. Pada saat pendeta dan ibu tidak mempercayai, justru penduduk desa mulai percaya dan mengikuti pesan damai yang dibawa oleh Lucia. Walikota khawatir bahwa pengaruh pesan damai tersebut akan membuat pemerintah menutup gereja. Walikota memanggil ketiga anak tersebut dan menginterogasi mereka berulang-ulang. Walikota berupaya membuat Lucia dan kedua sepupunya membuat pernyataan bahwa mereka berbohong.

Ibu yang menyangsikan cerita Lucia, menjadi emosional dan tertekan sehingga meminta akan agar Lucia menghentikan kegilaannya. Lucia membuat puluhan dan bahkan ratusan umat berziarah ke Fatima untuk berdoa bersama, menyaksikan Bunda Maria dan memohon kesembuhan serta keselamatan bagi anak laki-laki mereka yang sedang pergi berperang (Perang Dunia I).

Penduduk desa yang putus asa dan ketakutan karena wabah penyakit dan perang seperti mendapat secercah harapan. Namun ketika Bunda Maria tidak juga menampakkan diri, penduduk mulai merasa gelisah. Kegelisahan ini membuat keluarga, penduduk desa, gereja dan walikota, gusar lantas menuduh Lucia dan kedua sepupunya hanya mengada-ada.

Dapat dibayangkan perasaan Lucia, tertekan, gelisah dan mulai ragu. Dalam keputusasaan, Lucia berteriak memohon agar Bunda Maria menampakkan diri. Pada akhirnya Bunda Maria memberikan penampakan terakhirnya. Ia tersenyum dan dengan suaranya yang meneduhkan mengatakan bahwa perang akan segera berakhir, yang sakit akan sembuh jika dia mulai percaya, orang harus lebih banyak berdoa. Bunda Maria juga mengatakan bahwa perang yang lebih besar adalah apa yang akan terjadi jika orang berdosa tidak bertobat.

Saat itu ada 70.000 orang yang datang dan menyaksikan Lucia berkomunikasi dengan roh, dan “keajaiban” terjadi.

Sepanjang film ini kita disuguhi pergulatan seorang anak untuk meyakinkan orang-orang dewasa. Pergulatan antara percaya pada diri sendiri atau menyerah pada ketidakpercayaan orang banyak. Dibutuhkan mental yang kuat, bahkan untuk tidak menyangsikan dirinya sendiri.

Lucia tampil sebagai pengecualian bagi perempuan. Dimana pada masa perang kaum perempuan tidak banyak dilibatkan, kecuali untuk pemenuhan kebutuhan domestik. Sedangkan, pemuka agama memiliki peran penting bersama pemerintah lokal dalam mengamankan masyarakat.

Sulit membayangkan suara Lucia didengar oleh penduduk desa. Kita semua mungkin pernah merasakan situasi seperti ini. Saat orang lain menyangsikan cerita seorang anak. Rasa sakitnya akan terbawa hingga dewasa. Namun, Lucia menunjukkan keteguhan Yang luarbiasa. Ia tetap bertekad membawa pesan perdamaian. Dan tekadnya membuahkan hasil.

Dalam gereja Khatolik, pastur atau pendeta adalah seorang laki-laki dengan diiringi beberapa anak laki-laki (putra altar) saat menjalankan misa. Tentu agak berbeda karena di film ini justru tidak banyak menceritakan tentang peran anak laki-laki, termasuk Francisco sepupu Lucia. Pemimpin gereja memiliki peran kuat bagi masyarakat. Hingga saat ini di beberapa daerah di Indonesia situasi ini masih berlaku seperti di NTT misalnya, pandangan pendeta atau pastur sangat menentukan. Sehingga ketika Lucia tampil dengan ceritanya, pemimpin gereja merasa terganggu.

Film ini mampu memperlihatkan sisi gereja (agama) tanpa berusaha mempengaruhi, penonton bebas menafsirkan. Tokoh sentral Lucia lebih banyak menonjolkan kekerasan hatinya untuk meyakinkan penduduk desa. Salah satu pelajaran yang bisa dipetik dari film ini.

Keseluruhan film ini tidak menghadirkan emosi berlebihan namun di akhir film, tanpa sadar aku disergap keharuan yang membuatku meneteskan airmata. Saat Lucia digendong ayahnya sesudah terjadi keajaiban dari matahari. Rasanya sebuah beban terangkat. Terasa ringan dan melegakan.

Bagiku, keajaiban itu bukan pada pembuktian atas kebenaran kata-kata Lucia atau kehadiran Bunda Maria. Perasaan bahagia yang meluap. Kemenangan, tapi bukan kemenangan karena the truth. Bagiku, the miracle is the people itself. People is the miracle of miracle. Kadang dalam hidup kita menghadapi kesulitan dan berharap akan datangnya keajaiban. Harapan membutuhkan kesabaran, tekad dan mental yang kuat. Mungkin kita membutuhkan keajaiban tapi bisa jadi keajaiban itu adalah diri kita sendiri. Sungguh, keseluruhan film ini  luarbiasa.

*******

Sedikit latar belakang pada masa itu. Tahun-tahun itu adalah masa yang berat bagi Portugis. Pada awalnya Portugis tidak terlibat dalam Perang Dunia I dan tetap netral hingga sekitar tahun 1914-1915. Inggris meminta Portugis untuk membantu dan melindungi koloni-nya di Afrika, sehingga terjadi bentrokan dengan pasukan Jerman di selatan Angola Portugis, yang berbatasan dengan Afrika Barat Laut Barat. Ketegangan antara Jerman dan Portugis juga muncul sebagai hasil dari perang U-Boat Jerman, yang berusaha memblokade Inggris, yang saat itu menjadi pasar terpenting bagi produk Portugis. Pada akhirnya, ketegangan menghasilkan deklarasi perang pertama antara Jerman dengan Portugis pada bulan Maret 1916.  Tercatat sebanyak 12.000 orang portugal telah meninggal selama Perang Dunia I, termasuk tentara Afrika  yang ditempatkan di garda depan. Kematian warga sipil di Portugis melampaui 220.000 : 82.000 yang disebabkan oleh kekurangan pangan dan 138.000 oleh flu Spanyol.

Flu Spanyol, juga dikenal sebagai pandemi Flu 1918, adalah pandemi influensa yang sangat mematikan yang disebabkan oleh virus H1N1 influenza. Pandemi ini berlangsung sejak Februari 1918 hingga April 1920 dan telah menginfeksi 500 juta orang-sekitar sepertiga dari populasi dunia pada saat itu dalam empat gelombang berturut-turut. Jumlah kematian diperkirakan telah berada di angka 17 – 50 juta, menjadikannya salah satu pandemi paling mematikan dalam sejarah manusia.

Portugis memobilisasi sekitar 100.000 orang selama perang, dan menurut Livro de Estaística melakukan CEP, sekitar 1.759 di antaranya diberi cuti disabilitas. Namun, jumlah ini sulit dipastikan mengingat pelayanan kesehatan dari Corpo Expedicionário  português (CEP) (Pemberi informasi terdepan Eropa), di mana pendaftaran, pencatatan dan pengobatan tidak memadai. Ketidakmampuan secara spesifik dan dalam situasi perang juga dalam mengidentifikasi penyakit, terutama penyakit jiwa, seringkali didiagnosis sebagai fisik atau sebagai Cobardia (Cowardice) atau Herança Genéta (penyakit keturunan). Penyakit yang ditemui terutama akibat pertempuran, paru, dermatologis dan venereal, gangguan kejiwaan yang dikategorikan sebagai kelelahan mental (asthenia), keterasingan, dan epilepsi.

Ernawati

0Shares
×

Salam Sejahtera

× Hai