Suyatin Kartowiyono adalah seorang tokoh sejarah yang mungkin hampir dilupakan oleh bangsanya. Padahal sejak remaja gigih memperjuangkan martabat bangsanya terutama kaum perempuan yang jauh masih tertinggal dibanding perempuan bangsa-bangsa lain. Ia dapat mencurahkan tenaga dan pikiran karena dukungan penuh dari kedua orang, suami tercinta dan anak-anaknya.
Suyatin muda sudah bergabung dengan Jong Java ketika masih menjadi pelajar di Yogyakarta. Ia kemudian diangkat menjadi penulis dan redaktur majalah Jong Java. Setelah lulus dari MULO, ia bekerja guru di sebuah sekolah swasta. Tahun 1926 Soejatin dan beberapa guru lainnya mendirikan Putri Indonesia Cabang Yogyakarta dan diangkat sebagai ketua. Ia adalah inisiator dan panitia pelaksana Kongres Perempuan yang kemudian menjadi Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Ikut mendirikan dan memimpin organisasi Persatuan Wanita Republik Indonesia( Perwari) dan mempelopori tuntutan berlakunya Undang-Undang Perkawinan.
Bersama Perwari, Sujatin dikenal cukup keras menentang poligami. Menurut Nina Nurmilla dalam Women, Islam and Everyday Life: Renegotiating Polygamy in Indonesia, saat tengah menjabat Ketua Umum Perwari pada 1954, Sujatin memimpin pergerakan demonstrasi Perwari menentang pernikahan kedua Presiden Soekarno sampai-sampai mendapat ancaman pembunuhan (2009, hlm. 51).
Latar Belakang Keluarga
Suyatin lahir di Desa Kalimenur, Wates dekat Yogyakarta pada tanggal 9 Mei 1907. Ayahnya adalah seorang terpelajar yang bernama Mahmud Joyohadirono seorang Kepala Setasiun yang mempunyai 3 (tiga) orang istri. Dua orang istrinya telah meninggal dunia dan ibunda dari Suyatin adalah istri ketiga. Ibunya bernama R.A. Kiswari adalah cucu bupati Ngawi, Sumonegoro yang berasal dari kalangan keraton namun tak pernah mengenal huruf latin.
Hanna Rambe dalam biografi Sujatin Kartowijono Mencari Makna Hidup menceritakan bahwa Suyatin kecil adalah anak perempuan yang tomboy, dia tak suka bermain boneka dan lebih senang berenang, memanjat pohon, dan mencuri buah-buahan tetangga. Hobinya membaca dan berorganisasi menurun dari ayahnya. Sejak kecil dia suka membaca buku-buku karya Hans Christian Andersen, Karl May dan cerita petualangan Winnetou si orang Indian bersama sahabatnya Old Shatterhand. Ketika beranjak remaja, ia mendapatkan hadiah buku Door Duisternis Tot Licht yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang.
Sejak membaca kisah Kartini, Suyatin mulai bersimpati kepada penderitaan dan perjuangan Kartini. Ia ingin menyebarluaskan buah pikiran Kartini yang gilang gemilang dan memberikan pendidikan kepada kaum perempuan. Ia juga menentang adat feodal sebagaimana diajarkan oleh Kartini. Dimana, ia melihat bahwa budaya feodal ini masih banyak melingkupi keluarga keraton dari pihak ibunya. Suyatin sangat membenci adat orang keraton yang mempunyai banyak selir dan merendahkan perempuan.
Suyatin menolak berbahasa kromo Inggil dengan orang keraton dan bersikeras menggunakan bahasa Indonesia. Ia juga lebih senang memanggil Gusti Kanjeng Ratu Dewi yang merupakan saudara perempuan Sri Sultan Hamengku Bowono Kedelapan dengan sebutan Nyonya Dewi. Ketika mendapatkan hadiah lomba pawai dari Sri Sultan, ia pun memilih mengucapkan terima kasih seraya membungkuk seperti memberi hormat kepada orang tua atau guru ketimbang sikap menyembah ala keraton.
Perjuangan dan Balada Cinta Suyatin
Sumpah Pemuda yang dicetuskan pada tanggal 28 Oktober 1928 oleh mengikrarkan sumpah untuk berbangsa, berbahasa dan bertanah air satu, yaitu Indonesia. Pada saat itu pulalah timbul hasrat pada kaum perempuan untuk mengadakan sebuah pertemuan se-Indonesia. Kemudian terbentuklah Panitia Kongres Perempuan Indonesia yang pertama di Yogyakarta. Terpilihlah Ny. Sukonto dari Wanita Utomo sebagai Ketua, Nyi Hajar Dewantoro dari Wanita Taman Siswa terpilih sebagai Wakil Ketua, dan Suyatin dari Putri Indonesia menjadi pelaksana.
Susan Blackburn dalam buku Kongres Perempuan Pertama, Tinjauan Ulang menyatakan bahwa Suyatin dikenal sebagai pengagum dan anak didik Sukarno dan Ki Hajar Dewantoro. Hubungan eratnya dengan para perempuan muda, khususnya para guru membuatnya mampu menyelenggarakan kongres yang menyita waktunya itu. Dalam bukunya diceritakan bagaimana menyiapkan kongres, mencari meja dimana-mana, dan bersepeda mengitari kota, karena di masa itu mereka belum menggunakan telepon atau mesin tik.
Suyatin sering membuat patah hati laki-laki. Saat sibuk mengurus Kongres Perempuan Pertama, terjadi masalah pelik dalam kehidupan cintanya. Tunangannya yang bekas anggota Jong Java dan melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum di Batavia (Jakarta) mendadak libur dan menjenguk Suyatin ke Yogyakarta. Demi suksesnya kongres perempuan, Suyatin terpaksa menolak ajakan tunangannya berkencan ke Kaliurang dan nonton bioskop. Gusarlah sang tunangan dan menganggap ia tak dipedulikan lagi. Saat tunanganya sampai ke Jakarta, Suyatin pun menulis surat dan memutuskan pertunangan karena menurutnya tak lulus ujian. Baru diuji sekian hari karena persiapan kongres saja sudah marah, bagaimana nanti kalau sudah menikah?
Tahun berikutnya, Desember 1929, Kongres Perempuan Indonesia diadakan di Jakarta. Panitia menyiapkan sebuah gedung milik keluarga Thamrin di Gang Kenari, daerah Salemba. Menjelang pertemuan kongres panitia diperiksa dan dilarang. Namun, setelah ditunjukkan surat perijinan yang sudah diurus Suyatin, polisi pun memperbolehkan kongres dilanjutkan. Ternyata, pemeriksaan tersebut adalah imbas dari penangkapan Sukarno di Yogyakarta.
Kongres berikutnya diselenggarakan bulan Desember 1930 di Surabaya. Saat itu, ia sedang menjalin cinta dengan seorang mahasiswa THS (Institut Teknologi Bandung sekarang). Seperti tunangan pertama, tiba-tiba ia ke Yogyakarta disaat Suyatin sedang sibuk menyiapkan ceramah untuk kongres di Surabaya. Sia-sialah kedatangannya dari Bandung karena Suyatin tak sempat menemuinya dan berangkat ke Surabaya. Begitulah, mereka berselisih jalan dan berujung pertunangan pun gagal untuk yang kedua kalinya.
Namun, jodoh tak lari kemana. Suyatin akhirnya menemukan tambatan hatinya pada pemuda bernama Pudiarso Kartowiyono. Mereka bertemu pertama kali saat acara peringatan hari Kartini, tahun 1932. Suyatin kebetulan menjadi Ketua Panitia Peringatan dan Kartowiyono datang sebagai tamu. Singkat cerita, mereka saling menyelami pandangan hidup dan cita-cita masing-masing.
Pudiarso Kartowiyono bukan orang kaya, bukan sarjana, dan tak punya pangkat. Ia pernah bekerja di pemerintahan Hindia sebagai ahli pembukuan dan bergaji besar tapi ditinggalkan karena ingin menjadi wiraswasta. Ia adalah murid Bung Karno dan penganut jalan pikiran Dr. Setiabudi. Pada saat melamar Suyatin, Kartowiyono sedang tak punya pekerjaan. Di tengah kecaman keluarga, mereka akhirnya menikah tanggal 14 September 1932.
Suyatin meninggal Pada tanggal 1 Desember 1983, tepatnya pada hari kamis dini hari pukul 03.30 WIB. Sujatin Kartowijono meninggal dunia pada usia 76 tahun, di rumah sakit Cipto Mangunkusumo setelah menderita sakit beberapa lama. Sujatin Kartowijono dimakamkan di TPU (Tempat Pemakaman Umum) Tanah Kusir Jakarta Selatan.
Indah Pratiwi
Terkait
Orde Baru dan Depolitisasi Perempuan
Peringatan 16 HAKTP 2024
Meretas Jalan Pendidikan Murah dan Berkualitas