Waria sebagai individu patologis dianggap sebagai makhluk yang layak dihina juga layak dikasihani. Waria dalam pandangan masyarakat mayoritas masih dianggap sebagai individu dengan permasalahan sosial. Selain mereka dianggap bermasalah dengan cara mengekspresikan diri secara wanita, mereka juga dianggap bermasalah dengan seksualitasnya. Berangkat dari dua persoalan itulah waria tidak diterima oleh sebagian keluarganya.
Keluarga adalah bagian sistem terkecil dari masyarakat. Waria harus mengerti dirinya terlebih dahulu sebelum ia menjelaskan dirinya kepada keluarganya lalu kepada masyarakat awam. Keluarga menjadi salah satu support system pertama yang semestinya diperoleh oleh waria. Namun biasanya hal ini terhalang oleh norma sosial, norma agama dan beberapa aturan masyarakat.
Seringkali waria mengalami kekerasan dalam keluarganya. Tak sedikit waria yang keluar dari rumah, terusir dari rumah dan terpaksa meninggalkan keluarganya. Hingga waria harus menjalani hidupnya di jalanan penuh tantangan. Tentu saja dengan kemampuan dan skill individu yang beragam. Tidak semua waria memiliki tingkat pendidikan yang sama. Pengalaman hidup mereka juga sangat minim di awal proses pencarian jati dirinya.
Biasanya, waria untuk mempertahankan hidupnya mereka bekerja sebagai pengamen keliling untuk keprluan makan sehari-hari. Dalam perkembangannya, pekerjaan pengamen seolah menjadi keharusan dan gaya hidup waria itu sendiri. Sebagai contoh, di yogyakarta salah satu profesi terbanyak waria adalah pengamen.
Pekerjaan sebagai pengamen sendiri penuh tantangan dan resiko. Profesi pengamen pun masih dipandang sebelah mata. Kehidupan pengamen seringkali dianggap menggelandang, sehingga rentan dengan ancaman hukuman sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 504 dan Pasal 505 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Waria sering menjadi bulan-bulanan satuan pamong praja dan dianggap sebagai pelanggar ketertiban umum, sering mendapat bully-an hingga pandangan peyoratif.
Pengamen secara umum adalah seniman jalanan yang bekerja dengan berbagai medium seni seperti alat musik gitar, suara, ekspresi dan laku gaya yang feminine. Penampilan yang menarik dan otentik inilah yang membuat mereka eksis dan bisa berbagi ruang karya serta pengalaman pada masyarakat. Hal ini disampaikan oleh Ibu Rully Mallay, “Mengamen adalah kerja seni serta profesi yang sudah selayaknya diperlakukan setara dengan profesi-profesi lainnya.”
Daya tarik itulah yang ditonjolkan agar penonton atau audiens memberikan nominal uang ala kadarnya untuk bekal mereka bertahan hidup. Salah contoh pengamen waria yang terkenal dengan kelucuannya adalah Wik Wik Ambyar. Ia mengamen karena memang mempunyai jiwa seni dan keahlian menghibur. Salah satu tujuannya mengamen adalah untuk menghibur masyarakat. Berbeda lagi dengan Inul, seorang waria senior yang mengatakan bahwa ia mengamen adalah untuk menghidupi anak yatim dan untuk membantu orang tua serta janda-janda miskin. Biasanya, hasil kerja mengamen sebagian disisihkan untuk kerabat dekatnya.
Jalan panjang waria yang menjadikan mengamen sebagai alat perlawanan masih panjang. Waria mengamen, selain untuk berjuang hidup juga untuk menunjukkan pada negara bahwa mereka ada. Sayangnya, negara masih memandang mereka sebagai pengganggu ketertiban umum. Solusi dari negara untuk memberdayakan waria masih bias dan minim. Perlu penegasan bahwa negara memberi ruang bagi waria agar bisa memperoleh pekerjaan yang sama seperti masyarakat pada umumnya.
Terakhir, mengamen bagi waria adalah sebuah bentuk perjuangan dan perlawanan sekaligus. Ia ada dan akan tetap berlanjut sampai era millennial sekarang. Dengan mengamen, keberadaan waria menajadi mudah diidentifikasi dan terlihat. Dengan mengamen pula waria bisa bertahan untuk hidupnya. Ketika keberadaan waria diterima tentu akan membuat mereka dengan rela hati dan riang gembira menghibur masyarakat.
Jessica Ayudya Lesmana
Terkait
Morowali Dibawah Tekanan Industri Ekstraktif dan Ancaman Kemiskinan
Hari Tani Nasional 2024, Mimpi Besar Kesejahteraan
Sunat Perempuan, Tradisi Berbalut Agama yang Membahayakan