Judul kalimat diatas merupakan penggalan dari Kitab Matius 7:21-23 yang diucapkan Yesus dalam pengajaran Kotbah di atas Bukit. Lebih lengkapnya seperti dibawah ini:
“Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga. Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga? Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!”
Kesannya sok religius banget ya. Maaf, ga ada maksud. Karena menurutku kedekatan hubungan dengan Tuhan tidak dibatasi oleh tingkat religiusitas seseorang. Bahkan juga tidak berhubungan sama sekali dengan intelegensia. Murni kepekaan Iman dan kepercayaan pribadi.
Kalimat dari kitab Matius ini muncul di benakku begitu saja. Dalam kehidupan rohaniku, sejak kecil terbiasa menghafal ayat. Namun setelah lahir baru, istilah dalam Iman Kristen untuk baptis dewasa, aku isi Alkitab sebagai Firman Tuhan, perkataan yang hidup. Bukan sekedar hafalan. Dan memang bagiku, Firman itu hidup.
Dulu, setelah dewasa Iman, pertama kali mendapat Kotbah dengan kitab ini, aku terkejut, takjub dan takut. Membayangkan jika kelak sudah berada di pintu surga, tinggal selangkah lagi dan tiba-tiba dihardik dengan kalimat “Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku”.
Tentu tidak mungkin kembali ke dunia untuk memperbaiki kesalahan. Kalimat itu terus terngiang-ngiang di benakku dan sepertimya menjadi pengingat untuk menegur ketika aku bersikap tidak menyenangkan hati Tuhan. Bukan hanya sekedar berbuat baik pada orang lain melainkan yang terutama dan sering kulakukan adalah, melewatkan waktu untuk datang ke hadirat-Nya.
Setiap orang bebas menafsirkan ini. Aku juga tidak ingin bersikap seolah-olah pendapatku benar. Tidak. Aku pun memiliki banyak kekeliruan, melakukan kesalahan dan berkata tidak menyenangkan. Dan kalimat ini hadir untuk mengingatkan. Mungkin terkait berbagai hal yang terjadi akhir-akhir ini. Memintaku untuk melakukan refleksi, benarkah ini, benarkah itu. Mungkin seperti ketika membaca sebuah berita dan diminta untuk melakukan konfirmasi kebenaran dan menganalisanya secara adil.
Mungkin seperti aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law atau aksi menolak penggusuran. Diterpa oleh berbagai kritikan tentang mengapa harus menolak atau besaran ganti rugi dalam penggusuran. Mencoba beradu argumen dalam benak sendiri dengan mengambil pendapat berbagai pihak. Seperti misalnya tentang para pekerja yang tidak paham isi Omnibus Law atau mereka tidak pernah mengalami jadi pengusaha. Tidak merasakan besaran tanggungjawab untuk mendanai sebuah perusahaan, sebuah proses produksi, memberi upah sekian puluh karyawan ditambah bagaimana perusahaan atau proses produksi bisa terus berjalan hingga beberapa tahun ke depan, termasuk pembayaran cicilan hutang modal di bank.
Bahwa pekerja punya mental babu, mental orang miskin yang tidak mau kerja keras, yang terlalu banyak menuntut dan banyak lagi. Satu per satu kuulas dan kucari basis analisa dan datanya. Lalu aku menempatkan diri pada apabila semua orang jadi pengusaha. Semua kerja manual bisa dikerjakan oleh mesin, termasuk menyalakan lampu kamar hanya dengan deteksi suara. Dan akhirnya sebuah happy ending karena semua orang mendapat penghasilan.
Too good to be true. Mungkin. Aku mencoba meletakkan semua proses produksi dan human being ke dalamnya. Ketika semua orang bisa melakukan kerja dari rumah atau pergi ke tempat kerja dan tinggal menggerakkan jari untuk memberi perintah pada mesin agar menjalankan pekerjaan manusia. Pabrik, mall, stasiun bis, kereta dan bandara hanya berisi suara mesin dan pengunjung yang berkomunikasi dengan mesin untuk dilayani.
Ketika semua jadi pengusaha dan proses produksi dijalankan oleh mesin. Pengantaran barang juga dilakukan oleh sopir yang digantikan oleh mesin? Mungkin dunia jadi lebih aman, tidak ada pencuri dan perampok karena semua orang jadi pengusaha. Apakah ini bisa menjadi jawaban bagi mereka yang tidak setuju dengan aksi penolakan terhadap Omnibus Law?
Apakah kemudian tidak akan terjadi lagi penyerobotan lahan dan penggusuran? Ketika ada satu atau sekelompok pengusaha menginginkan lahan pengusaha atau sekelompok pengusaha lain. Apakah yang terjadi kemudian adalah transaksi bisnis yang berlangsung secara damai? Mungkin berbeda saat ini ketika yang terjadi adalah penggantian uang bukan transaksi yang berlaku sesuai kesepakatan.
Banyak pihak yang memandang bahwa penggusuran bisa selesai dengan uang ganti rugi yang sesuai. Faktanya, warga daerah tergusur harus pergi meninggalkan seluruh jejak kehidupannya, bukan hanya lahan. Dan jejak itu tidak pernah kembali. Pun ketika memulai membuat jejak di tempat baru. Situasinya berbeda, petani yang dipaksa menjual lahan dan rumahnya, lebih sering dan kebanyakan hanya bisa ganti membeli rumah dengan lahan kecil atau tanpa lahan. Akibatnya adalah pengangguran. Jadi, penggusuran itu ibarat diperkosa dan dirampok. Pemerkosa dan perampoknya bisa saja dihukum penjara, harta dikembalikan namun tubuh yang pernah diperkosa tidak pernah kembali.
Jadi apa yang diinginkan Tuhan dengan kalimat diatas? Berbuat kebaikan, menyimpan pikiran-pikiran baik, beribadah dan menjalani hidup sesuai kehendak Tuhan? Faktanya dalam hidup ada kehendak politik dan kehendak manusia. Berbuat kebaikan dengan memberi sedekah namun dengan tetap mempertahankan status yang berbeda. Karena, tidak akan ada pengakuan kaya kalau tidak ada yang miskin. Apakah kemudian juga tidak ada penyebutan pengusaha apabila tidak ada pekerja, tidak ada negara jika tidak ada Rakyat.
Sebaik-baiknya adalah berbuat sebaik-baiknya. Semoga kelak Tuhan tetap mengenali dan mempersilahkan aku duduk di sebelah-Nya. “Ku yakin saat Kau berfirman, Ku menang saat Kau bertindak, Hidupku hanya ditentukan oleh perkataan-Mu, Ku aman karna Kau menjaga, Ku kuat karna Kau menopang. Hidupku hanya ditentukan oleh kuasa-Mu.” Dari kemarin lagu ini juga terngiang terus.
Ernawati
Terkait
Sebuah Refleksi di Hari Ulang Tahun TNI
Morowali Dibawah Tekanan Industri Ekstraktif dan Ancaman Kemiskinan
Hari Tani Nasional 2024, Mimpi Besar Kesejahteraan