Transformasi sering disebut dengan perubahan, sedangkan transformasi sosial atau perubahan sosial merupakan suatu perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Perubahan sosial merupakan perubahan pada lembaga sosial dalam suatu masyarakat, baik dalam sistem struktur sosial, interaksi sosial dan lainnya.
Ada tidaknya transformasi sosial bisa ditelusuri dan membandingkan sejarah perkembangan masyarakat dalam sebuah negara. Demikian pula, untuk melihat peranan perempuan dalam perubahan sosial, bisa melihat dari sejarah perkembangan masyarakat Indonesia.
Sejarah Perkembangan Masyarakat Indonesia
August Babel dalam Women Under Socialism mengatakan bahwa perempuan merupakan korban revolusi yang pertama. Sedangkan Engels menyatakan bahwa kekalahan perempuan yang paling hebat dalam sejarah kemanusiaan adalah saat sistem keluarga berubah dari matriarkat menjadi patriarkat. Dari prima horde menjadi keluarga patrilineal.
Apa itu patriarki? Patriarki menurut Sylvia Walby dalam Theorizing Patriarchy adalah sebuah sistem kekuasaan/pemerintahan yang mana kaum laki-laki mengatur dan mengendalikan masyarakat melalui posisi mereka sebagai kepala rumah tangga.
Pada jaman komunal primitif (jaman perburuan), perempuan memiliki kedudukan dan peran yang sangat penting dalam keberlangsungan kehidupan masyarakat. Pada masa ini sudah ada pembagian kerja, laki-laki berburu dan perempuan tinggal di goa meramu dan menunggu anak. Namun pada masa ini belum ada hierarki gender, karena hidup mereka masih berkelompok dalam horde dan mereka mencari makan dan hidup bersama. Tanpa berburu perempuan bisa memberi makan anggota kelompoknya.
Pada jaman pertanian perempuan mulai berpikir tentang rumah. Sehingga lahirlah hukum perkawinan, warisan dan keturunan. Mulai ada pergeseran. Kejayaan perempuan sebagai produsen tidak berlangsung lama. Laki-laki mulai mengambil alih peran. Konsep matriarkat berubah menjadi konsep patrilineal dan dimulailah masa perbudakan dalam peradaban manusia. Masa ini kemudian dikenal dengan jaman feodalisme, dimana mulai ada strata sosial dan kepemilikan pribadi.
Di Indonesia, kita bisa menengarai bahwa lahirnya feodalisme disokong dan dilanggengkan oleh sistem kolonialisme. Cirinya adalah adanya eksploitasi sumber daya manusia dan sumber daya alam oleh kolonialisme Belanda. Situasi ini melahirkan perlawanan dan pejuang-pejuang perempuan yang menentang feodalisme dan kolonialisme. Salah satu tokohnya yang menonjol adalah RA Kartini.
Ciri masyarakat pada sistem kapitalisme menempatkan perempuan pada posisi subordinat atau di ranah domestik. Sistem kapitalisme telah merampas peran perempuan sebagai produsen saat revolusi industri. Satu sisi revolusi industri membebaskan perempuan dari perbudakan di masa feodalisme, tapi sisi lain membuat beban ganda bagi perempuan. Perjuangan upah layak mulai diperjuangkan oleh kaum buruh yang lahir dari sistem produksi kapitalistik.
Budaya patriarki masih dilanggengkan oleh kapitalisme maka peran perempuan pada masa Orde Lama masih subordinat atau menjadi masyarakat kelas kedua. Sukarno dalam Sarinah memberikan gambaran yang gamblang pada peran perempuan, “Laki-laki kerja dari matahari terbit sampai matahari terbenam, perempuan kerja tiada henti siang dan malam.”
Setelah runtuhnya kolonialisme Belanda dan Fasisme Jepang, pergerakan dan perjuangan kaum perempuan semakin mewarnai kemerdekaan Republik Indonesia. Gagasan-gagasan kesetaraan dituangkan dalam tuntutan hak-hak dalam bidang hukum, politik dan upah. Dalam catatan sejarah, di masa Orde Lama ini berbagai ormas dan gerakan perempuan mencapai puncak perkembangannya.
Situasi menjadi berbalik seratus delapan puluh derajat pada masa Orde Baru. Pada masa Orde Baru (1967-1998), gerakan perempuan progresif seolah-olah mati bahkan dimatikan. Sebagai gantinya muncul organisasi-organisasi bentukan pemerintah, seperti Dharma Wanita yang merupakan organisasi yang isinya adalah istri-istri PNS dan PKK yang dipimpin oleh istri-istri pejabat.
Organisasi-organisasi tersebut memainkan peranan untuk mendomestifikasi kembali peran perempuan. Bahwa kewajiban perempuan itu adalah mengerjakan urusan-urusan domestik dalam istilah yang saat ini popular yaitu: macak, manak dan masak, narimo ing pandum dan konco wingking.
Ketika era Reformasi berjaya, situasi mulai terbuka dan demokratis. Gagasan-gagasan kesetaraan juga semakin meluas dan mendapatkan tempatnya kembali. Situasi ini ditandai oleh perkembangan teknologi yang cukup drastis, sehingga memaksa masyarakat menerima perubahan-perubahan secara cepat.
Apakah Keadilan dan Kesetaraan Gender telah Terwujud?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, maka kita harus melihat pada data dan fakta. Pertama, angka kekerasan terhadap perempuan makin meningkat. Pada 2019 lalu, masih ada 431.471 kasus kekerasan yang menimpa perempuan Indonesia. Bahkan, di banding 12 tahun sebelumnya (2008), jumlah ini meningkat hampir delapan kali lipat atau 792 persen (data Komnas Perempuan).
Kedua, masih minimnya partisipasi politik perempuan ditandai dengan tidak tercapainya kuota 30%. Di ruang politik, faktanya tak lebih baik. Jumlah perempuan di parlemen belum pernah menembus 30 persen. Pada pemilu 2019, keterwakilan perempuan di parlemen baru 20,87 persen. Di jabatan pemerintahan, dari 34 Kementerian, jumlah PNS perempuan di angka 40,9 persen. Hanya 22,38 persen jabatan eksekutif (eselon) yang terisi oleh perempuan.
Ketiga, marjinalisasi dan ketimpangan ekonomi yang cukup tinggi. Dalam urusan ekonomi, ketidaksetaraan itu makin kentara. Hingga 2019, baru 55,5 persen perempuan Indonesia berusia 15 tahun ke atas yang berpartisipasi dalam angkatan kerja (baik bekerja atau mencari pekerjaan). Bandingkan dengan laki-laki yang mencapai 83,13 persen. Kesenjangan juga berlaku pada upah. Merujuk ke BPS, pada Februari 2019, rata-rata laki-laki mendapat upah Rp 2,8 juta, sedangkan perempuan hanya Rp 2,1 juta.
Keempat, akses kesehatan dan pendidikan yang belum merata. Omnibus Law, terutama RUU Cipta Kerja, berpotensi semakin mendiskriminasi dan mengeksploitasi pekerja perempuan, dengan menghilangkan hak atas cuti haid, hamil, dan melahirkan.
Ketimpangan juga sangat nyata pada kesempatan meniti karier. Meskipun jumlah perempuan yang menikmati pendidikan tinggi lebih tinggi dari laki-laki (data Dikti: perempuan 3,4 juta, sedangkan laki-laki 3,1 juta), tetapi jumlah perempuan yang terserap di dunia kerja, profesi, dan jenjang karir, justru lebih sedikit. Misalnya, perempuan yang berkarir di bidang sains hanya 30 persen, guru iptek 36 persen, bisnis swasta 18 persen, peneliti 31 persen, dan engineer 29 persen.
Hantaman Pandemi Covid-19 membuat situasi perekonomian merosot tajam. Pandemi covid-19 juga telah merubah pola sosial kemasyarakatan. Namun demikian, pandemic juga telah merombak sistem lama yang gagap teknologi menjadi era digitalisasi.
Saatnya Perempuan Menjadi Subjek pembangunan
Telah tiba saatnya bagi kaum perempuan untuk menjadi subjek. Di tengah derasnya arus transformasi sosial perempuan harus menjadi subjek dari pembangunan. Sehingga, perempuan tak lagi hanya menjadi objek namun harus mampu membangun kemandirian termasuk kemandirian ekonomi. Di tengah kiprahnya, perempuan harus mulai melibatkan diri dalam organisasi-organisasi sebagai wadah perjuangan bersama.
Saatnya kaum perempuan memanfaatkan berbagai ruang publik untuk mengartikulasikan kepentingan-kepentingannya untuk menuju kesetaraan, keadilan dan kemakmuran. Melalui berbagai kegiatan, kaum perempuan harus mampu mengambil panggung-panggung politik agar terlibat dalam pengambilan kebijakan-kebijakan yang strategis. Serta, memanfaatkan sebaik mungkin serbagai platform digital untuk kepentingan yang membawa manfaat bagi diri sendiri dan orang banyak.
Diena Mondong, Ketua Umum API Kartini
*Materi disampaikan dalam Sekolah Gender I: Peran Perempuan dan Transformasi Sosial yang diselenggarakan oleh DPW API Kartini DKI Jakarta di Gigabites Cafe pada Sabtu,19 Desember 2020.
Terkait
Cerita Perempuan Batulawang, Memperjuangkan Hak Atas Tanah
Resensi Buku: Menghadang Kubilai Khan
Sunat Perempuan, Tradisi Berbalut Agama yang Membahayakan