Membunuh ayah kandung karena melakukan kekerasan seksual, benar atau salah? Pertanyaan tersebut terlontar dari tiga remaja perempuan setelah membaca berita tentang tiga orang kakak beradik, Angelina (18), Maria (17) dan Krestina (19) yang membunuh ayah mereka Mikhail Khachaturyan pada tanggal 27 Juli 2018 malam di Rusia.
Ketiga remaja diatas memiliki sikap berbeda. Remaja pertama secara mutlak menyetujui Hukuman Kebiri, remaja kedua mengatakan tidak tahu sedangkan remaja ketiga berpendapat bahwa otak (cara pandang) para pelaku-lah yang seharusnya diubah atau diperbaiki.
Sebuah pertanyaan kritis yang membutuhkan jawaban tepat, bukan sekedar salah dan benar atau setuju dan tidak setuju. Jawaban yang informatif, solutif, tanpa nilai-nilai konservatif dan tidak memihak.
Berita mengenai Khachaturyan bersaudara tersebut menyatakan bahwa kejadiannya berlangsung pada 2018 yang lalu. Ketiga anak perempuannya sudah mengalami kekerasan selama 3 tahun sejak sekitar tahun 2015 saat anak terkecil masih berusia 13 tahun. Sementara ibu mereka telah diusir oleh ayahnya. Undang-undang di Rusia ternyata tidak secara spesifik mengatur kasus kekerasan dalam rumahtangga (KDRT). Itu sebabnya ketiga anak tersebut tidak dapat membuat laporan atas kekerasan yang mereka alami. Kekerasan yang mereka terima kemungkinan membuat mereka takut dan tidak tahu harus melakukan apa. Selain itu ayah mereka telah menutup akses bagi mereka untuk berhubungan dengan pihak luar termasuk ibu mereka.
Bukan hanya di Rusia, tingkat kejahatan seksual terhadap anak masih terus terjadi, bahkan di negara dengan kesetaraan gender terbaik seperti Norwegia yang baru-baru ini menjatuhkan Hukuman pidana pada seorang pria karena melakukan kekerasan seksual terhadap 300 anak. Inggris, Amerika dan Afrika menempati urutan teratas pada kasus kekerasan terhadap anak.
Kekerasan Seksual Anak dan Solusi Pemerintah
Di Indonesia, berdasarkan data SIMFONI PPA, pada 1 Januari – 19 Juni 2020 telah terjadi 3.087 kasus kekerasan terhadap anak, diantaranya 852 kekerasan fisik, 768 psikis, dan 1.848 kasus kekerasan seksual. Sementara dari Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) sejak 1 Januari hingga 31 Juli 2020 tercatat ada 4.116 kasus kekerasan pada anak di Indonesia. Jika dirincikan ada 2.556 korban kekerasan seksual, 1.111 korban kekerasan fisik, 979 korban kekerasan psikis. Kemudian, ada 346 korban pelantaran, 73 korban tindak pidana perdanganan orang (TPPO) dan 68 korban eksploitasi. Sebanyak 3.296 korban anak perempuan dan 1.319 anak laki-laki.
Menyikapi tingginya angka kekerasan terhadap anak, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) untuk mengubah undang-undang perlindungan anak. Presiden Joko Widodo merespon dengan menetapkan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Perppu tersebut mengatur sanksi berat terhadap pelaku kekerasan seksual: pidana minimal 5 tahun penjara, bahkan membuka ruang untuk dijatuhkan hukuman mati. Perppu juga mengatur pidana tambahan berupa: pengumuman di publik, sanksi kebiri kimiawi dan pemasangan chip.
Menindaklanjuti Perppu tersebut pada tanggal 7 Desember 2020 lalu Presiden Joko Widodo telah menandatangani atau meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2020, tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak.
Presiden mempertimbangkan bahwa penetapan Perppu ini untuk mengatasi kekerasan seksual terhadap anak, memberi efek jera terhadap pelaku, dan mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap anak. Penerbitan Perppu ini sudah memunculkan sikap pro dan kontra dari para pemerhati anak.
Negara yang Menerapkan Hukum Kebiri
Mengenai Hukuman Kebiri, Fact Check EU, 17 April 2019 menyatakan bahwa ada banyak negara yang juga memiliki hukuman kebiri kimia, antara lain: Eropa utara, Swedia, Finlandia dan Jerman. Beberapa negara ini didokumentasikan dalam International Handbook of Penology and Criminal Justice, sebuah studi akademik dari tahun 2007 tentang sistem pemasyarakatan di seluruh dunia.
Selain negara-negara tersebut; penelitian tahun 2017 yang diterbitkan dalam European Journal of Social Sciences mengungkapkan bahwa Amerika Serikat, Argentina, Australia, Estonia, Israel, Selandia Baru, Polandia, Hongaria, Prancis, Islandia, Lithuania, Inggris, dan Belgia juga termasuk negara-negara Barat yang menerapkan kebiri kimia.
Denmark merupakan negara pertama yang menerapkan hukuman kebiri fisik (bedah) pada tahun 1929, kemudian pada tahun 1973 dilanjut dengan kebiri kimia. Sementara Korea Selatan menjadi negara pertama di Asia yang menerapkan hukuman kebiri kimia pada tahun 2011.
Kebiri kimia adalah suatu tindakan pemberian zat kimia atau obat untuk memberikan efek kebiri, yaitu penurunan hormon testosteron (hormon khusus pada laki laki). Prosedur kebiri bedah bersifat permanen, sedangkan kebiri kimia bersifat sementara. Setelah dilakukan penyuntikan kebiri kimia, maka hormon testosteron tak akan terbentuk.
Obat kebiri kimia ini dibagi berdasarkan jangka waktu, yaitu disuntik untuk 12 minggu (3 bulan), 6 bulan, dan 1 tahun. Ketika obat kimia mulai bekerja maka sinyal dari otak untuk memproduksi hormon akan diblock. Artinya, testis tak akan menerima perintah dari otak untuk memproduksi hormon testosteron yang mempengaruhi hasrat seksual atau libido.
Reaksi tubuh atas perubahan ini biasanya muka terasa seperti terbakar (terasa panas), sifat menjadi lebih tidak sabar, mengalami gangguan tidur pada malam hari sehingga digantikan dengan tidur sepanjang siang hari sehingga mempengaruhi perubahan mood.
Efek kebiri kimia ini bersifat sementara. Ketika bahan kebiri kimia tak lagi diberikan maka secara perlahan kondisi tubuh akan kembali seperti semula, artinya hasrat seksual akan kembali seperti semua karena pembentukan hormon sudah berjalan lancar kembali.
Studi terhadap negara-negara Eropa yang sudah menerapkan hal ini menunjukkan lebih dari 700 pelaku kekerasan seksual di Denmark yang di kebiri setelah berkali-kali dihukum, angka pengulangan kembali menurun dari 17 dan 50 persen menjadi hanya 2 persen.
RUU PKS Lebih Penting Ketimbang PP Kebiri
Tingginya angka kejahatan seksual baik terhadap orang dewasa maupun anak cukup membuat kita merasa marah dan bersepakat untuk memberikan hukuman setinggi-tingginya. Namun seperti juga saat memberikan jawaban benar atau salah, hukuman pun harus memenuhi asas keadilan bagi pelaku dan korban serta mempertimbangkan Hak Asasi Manusia. Sebenarnya, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual telah cukup memadai memenuhi keadilan bagi korban namun hingga kini Pemerintah masih tarik ulur dalam pembahasannya.
Kejahatan seksual, di dunia modern saat ini memiliki bentuk yang beragam selain pemaksaan persetubuhan. Dalam dunia digital mengambil bentuk seperti meminta untuk menunjukkan bagian tubuhnya melalui fitur chat atau video call, foto atau penyebaran konten intim nonkonsensual yang disebut sebagai kekerasan berbasis gender online.
Komnas Perempuan mencatat pada 2020, kasus kekerasan gender secara daring meningkat pesat. Hingga Oktober, terdapat 659 kasus yang sebagian di antaranya merupakan penyebaran konten intim nonkonsensual.
Hal ini berarti kejahatan seksual tidak sebatas hanya pada adanya dorongan untuk melampiaskan hasrat seksual. Kejahatan seksual bisa tetap terjadi tanpa adanya pemaksaan melalui persetubuhan. Dengan demikian hukuman kebiri menjadi tidak tepat termasuk pada kasus pernikahan anak. Pemaksaan pernikahan pada anak juga merupakan tindak kejahatan terhadap anak.
Hukuman Kebiri menekankan pada pengekangan hasrat seksual atau libido. Sementara hasrat seksual adalah hukum otak alamiah manusia karena otak yang memerintahkan untuk menghasilkan hormon. Pemenuhan hasrat seksual melalui aktivitas membawa kebahagiaan pada diri manusia, terlepas dari pandangan agama atas pelembagaan aktivitas seksual tersebut.
Sehingga tentu saja hasrat seksual merupakan hak yang paling asasi pada diri seseorang. Upaya pemenuhan dengan jalan pemaksaan-lah yang kemudian menjadi sebuah bentuk kejahatan. Tindakan ini sangat terkait dengan cara pandang yang menempatkan seks dan tubuh sebagai komoditas. Kejahatan seksual terhadap anak juga tidak terlepas dari pandangan konvensional mengenai hierarchy anak dan orangtua
Pola hubungan anak dan orangtua bukan hierarkhi kekuasaan, masing-masing memilik hak sebagai manusia dan warganegara. Kewajibannya adalah saling menghargai dan menghormati bukan saling bertanggungjawab. Anak bukan komoditas dan bukan alat produksi. Saat dilahirkan, seorang anak sudah memikul tanggungjawab pribadi sebagai manusia. Perlindungan hukum diberikan untuk menjaga pola hubungan antar manusia dengan landasan kasih sayang, termasuk didalamnya adalah pengasuhan dan penjagaan jasmani dan rohani
Masih berlakunya hierarkhi kekuasaan yang membuat orang dewasa merasa memiliki legitimasi untuk melakukan pemaksaan dan kekerasan. Melanggar tanggungjawab untuk melakukan penghormatan dan perlindungan terhadap hak anak. Cara pandang ini yang harus dirubah.
Salah satu bentuk pemenuhan tanggungjawab dalam perlindungan terhadap anak adalah pengetahuan akan hak seksualnya. Saat menjalani perkembangan tubuh, anak akan mulai menyadari kebutuhan seksualnya dalam bentuk yang paling sederhana adalah bentuk alat kelamin yang berbeda. Pemberian pengetahuan secara tepat akan menuntun pada pemahaman yang tepat termasuk saat haknya dilanggar.
Anak dan remaja saat ini dapat dengan mudah menjelajah dunia digital yang infornatif. Tanggungjawab orang dewasa adalah pemberian kerangka agar memiliki pemahaman yang tepat. Seks bukan hal yang tabu namun hak individu yang harus dipenuhi dengan rasa tanggungjawab bukan dengan melanggar hak individu lain.
Perppu Kebiri termasuk tehnis pelaksanaannya telah diterbitkan. Namun seperti pendapat remaja tadi, cara pandang kita yang terutama harus diubah. Bahwa emosi, hasrat, daya juang untuk pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani merupakan tanggungjawab individu tanpa melanggar atau menindas hak individu lainnya.
Dan untuk memenuhi keadilan bagi korban, Pemerintah masih memiliki PR untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Rancangan undang-undang ini telah memuat pasal-pasal yang komprehensif bagi penanganan korban sehingga korban menjadi yang utama untuk diperhatikan selain menetapkan hukuman bagi pelaku.
Ernawati
Terkait
Indonesia Gelap: Potret Ketidakadilan Struktural
Literasi Keuangan: Bijak Meminjam, Waspada Jerat Pinjol Ilegal
Kepemimpinan Perempuan, Menuju Maluku Utara Adil Makmur