“Jika kamu percaya hidup bukanlah tentang menunggu badai berlalu, tetapi tentang belajar menari di tengah hujan, jangan sekali-kali kamu gadaikan kegembiraan pada ‘jika’ dan ‘nanti’, agar tak kehilangan kebahagiaan yang melimpah di sini dan saat ini.” ~E. Rokayat Asura dalam buku Raden Dewi Sartika halaman 194.
Sebuah buku sejarah Dewi Sartika yang ditulis apik oleh E. Rokayat Asura dan diterbitkan oleh Penerbit Imania, Cetakan Pertama Tahun 2019. Penulis buku ini tak mau terjebak pada versi penulisan sejarah yang kaku. Sehingga memilih bentuk novel untuk menghidupkan tokoh sejarahnya.
Raden Dewi Sartika yang sering disebut dengan panggilan kecilnya Enden Uwi adalah seorang perempuan yang gigih memperjuangkan pendidikan bagi perempuan di awal pergerakan. Untuk mengajarkan batik kepada siswanya, Dewi Sartika meminta bantuan Sosrokartono dan Kardinah (adik RA Kartini).
Dewi Sartika adalah sosok perempuan tegas yang memiliki sikap menolak perjodohan dan poligami. Ia menolak pinangan dua laki-laki bangsawan sebelum akhirnya memilih seorang duda dari kalangan rendah sebagai suaminya. Raden Agah, adalah seorang suami, pembimbing yang sabar dan seorang teman berdiskusi bagi Uwi. Ia juga pendidik dan aktivis Sarikat Dagang Islam yang dekat dengan HOS Cokroaminoto.
Masa Kecil Dewi Sartika
Raden Ayu Dewi Sartika lahir di Bandung tahun 1884. Ayahnya bernama Raden Rangga Somanagara, sedangkan ibunya bernama Raden Ayu Permas. Ia terlahir dari keluarga keturunan menak Bandung yang mempunyai kedudukan dan karier bagus. Sehingga mendapatkan kesempatan bersekolah di Eerste Klasse Inlandsche School, sebuah sekolah kelas satu untuk anak-anak Belanda dan kaum priyayi.
Sampai usia Uwi 9 tahun, perjalanan karier ayahanda Raden Rangga Somanagara terbilang sukses. Diawali sebagai juru tulis Hoofd Jaksa Bandung, kemudian tahun 1866 menjadi Asisten Wedana Bandung. Tiga tahun kemudian ditugaskan menjadi Asisten Wedana Distrik Banjaran, kemudian menjadi Asisten Wedana Palasari dan Wedana Gandasoli. Saat Dewi Sartika lahir, ayandanya bertugas menjadi Patih Afdeling Mangunreja. Tujuh tahun kemudian Raden Rangga Somanagara menjadi Patih Bandung.
Merasa tidak puas atas pengangkatan Raden Aria Adipati Martanegara sebagai Bupati Bandung, Raden Rangga Somanagara membuat keonaran. Sebuah ledakan keras mengiringi acara penyambutan Bupati Bandung. Ledakan keras tersebut berasal dari sebuah dinamit yang sengaja diledakkan di Tegallega Receterrein tempat para pejabat Belanda dan bangsawan Bandung menyelenggarakan pacuan kuda.
Sejak itu, kehidupan Uwi berubah. Ayahnya dianggap sebagai pemberontak dan dibuang ke Ternate. Ibundanya Raden Ayu Rajapermas memilih mengikuti suaminya hidup bersama kaum buangan dan menitipkan Uwi kepada kerabatnya, Patih Afedeling Cicalengka yang bernama Adiningrat. Saking takutnya dianggap membantu pemberontak, Patih Adiningrat memperlakukan Uwi sebagai abdi dalem. Setiap hari, Uwi harus tidur bersama abdi dalem lainnya dan mengerjakan semua pekerjaan para abdi dalem.
Pada usia sepuluh tahun, Dewi Sartika membuat kehebohan. Ia ‘menyulap’ anak-anak abdi dalem di kepatihan bisa baca tulis dan mengucapkan beberapa kata dalam Bahasa Belanda. Sejak saat itu semangatnya untuk mendidik kaum perempuan terus berkobar.
Delapan tahun tinggal bersama Uwaknya di Kepatihan Afdeling Cicalengka, akhirnya Uwi bertemu kembali dengan ibundanya, Raden Ayu Rajapermas. Ayahnya Raden Rangga Somanagara telah wafat di tanah pengasingan dan tidak meninggalkan apapun kepada istri dan anak-anaknya karena semua harta bendanya disita oleh Belanda.
Membangun Sekolah Khusus Perempuan
Berkat bantuan sang ibu, Uwi mulai mewujudkan impiannya mengajar anak-anak perempuan agar bisa mendiri dan tidak hanya bergantung kepada suami di kemudian hari. Mulanya, ia mengajar kerabat terdekat di rumah. Mengajarkan ketrampilan menyulam, memasak dan pelajaran baca tulis. Sampai suatu hari datanglah Tuan C. Den Hammer ke rumah dan menawarinya mengajar di sekolah bumi putera. Namun, karena tidak lulus sekolah dan tidak mempunyai ijazah mengajar maka Uwi menolak dengan halus.
Dengan kedatangan Tuan Hammer, cita-cita membangun sekolah khusus kaum perempuan yang selama ini menjadi impiannya semakin membesar. Untuk mewujudkannya, Uwi rela mendatangi Bupati Bandung yang tak lain adalah musuh besar keluarganya. Atas kegigihannya, Raden Adipati Aria Martanegara, Bupati Bandung pun luluh hatinya dan bersedia membantu meluluskan keinginan Uwi membangun sekolah khusus perempuan.
Tepat pada 16 Januari 1904 berdirilah Sakola Istri atau Sekolah Perempuan yang bertempat di salah satu ruangan di Paseban Wetan Pendopo Dalem Kabupaten Bandung. Begitu sekolah diresmikan ada 60 anak perempuan yang terdaftar. Pada tahun 1905, Sakola Istri secara resmi dipindahkan ke Ciguriangweg. Sakola Istri menekankan pelajaran membaca, menulis, dikte, berhitung, menyanyi dan baris-berbaris sebagai latihan jasmani. Ketrampilan berbahasa diajarkan Bahasa Belanda dan Melayu.
Pada 5 November 1910, Dewi Sartika menghadiri peresmian Perkumpulan Kautamaan Istri yang dibentuk oleh Tuan Boissevain. Perkumpulan ini kemudian mengumpulkan dana tetap yang disumbangkan untuk Sakola Istri. Setahun kemudian Sakola Istri berganti nama Sakola Kautamaan Istri. Atas persetujuan suaminya, ia mendirikan organisasi Kautamaan Istri yang dipusatkan di Tasikmalaya.
Menurut E Rokayat Asura, Dewi Sartika menerbitkan sebuah tulisan berjudul De Inlandsche Vrouw atau Perempuan Bumiputera. Melalui tulisan ini, pembaca bisa mengikuti bagaimana pikiran-pikiran Dewi Sartika tentang upaya mengangkat derajat perempuan bumiputera.
“Alangkah sedihnya mereka yang tidak bisa membaca dan menulis, karena orang yang demikian ibarat hidup di dalam kegelapan atau umpama orang buta yang berjalan di tengah hari. Jadi awewe mah kudu sagala bisa. (Makanya, jadi perempuan itu harus segalanya bisa).” kata Dewi Sartika***
Indah Pratiwi
Terkait
Mary Jane Fiesta Veloso: Perjalanan Panjang Menuju Pembebasan
Orde Baru dan Depolitisasi Perempuan
Peringatan 16 HAKTP 2024