20 April 2024

Bagaimana Pandemi dan Bencana Mempengaruhi Partisipasi Politik Perempuan?

Kredit Foto: perempuanberkisah.id

0Shares

“Pandemi dan bencana sangat berdampak pada perempuan. Sayangnya, kebijakan yang ada saat ini masih sangat lemah dan walaupun ada perempuan di DPR juga kurang menyentuh isu-isu tersebut. Sehingga ini harus menjadi PR kita pada pemilu 2024 nanti,” terang dokter Sandra Suryadana pada diskusi virtual pada Selasa, 26 Januari 2021.

Diskusi Virtual diselenggarakan oleh Berdikari Online dan disiarkan secara langsung di Facebook dengan tajuk: Peluang Politik Perempuan di pemilu 2024. Hadir sebagai narasumber diskusi, antara lain: dr. Sandra Suryadana (Dokter Tanpa Stigma), Titi Anggraini (Perludem), dan Minaria C Natalia (API Kartini). Tampil sebagai moderator diskusi adalah Farhan Abdillah Dalimunthe.

Dokter Sandra menjelaskan bahwa ada empat isu penting dalam pandemi dan bencana yang membuat perempuan sangat terdampak. Keempat isu tersebut adalah: kekerasan, kesehatan, ketenagakerjaan, lingkungan dan bencana.

Selama pandemi covid-19, Komnas Perempuan mencatat angka kekerasan terhadap perempuan meningkat tajam, mulai dari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender online (KBGO). Hambatan yang dihadapi perempuan korban selama pandemi adalah sulitnya mengakses layanan pendampingan.

Dokter Sandra juga menyoroti tingginya angka pernikahan anak selama pandemi. Ia menyampaikan data dari Dirjen Badan Peradilan Agama yang mencatat kurang lebih ada 34.000 permohonan dispensasi perkawinan terhitung sejak Januari sampai dengan Juni 2020.

“Padahal sudah ada revisi dari UU Perkawinan tentang batas usia perkawinan. Perubahan Pasal 7 yang mengatur tentang usia boleh kawin laki-laki dan perempuan. Disepakati bahwa batasan usia yang dibolehkan melakukan perkawinan antara laki-laki dan perempuan adalah sama, usia 19 tahun, bagi perempuan dan laki-laki adalah usia 19 tahun. Nah, dengan meningkatnya angka pernikahan anak selama pandemi ini justru menimbulkan pertanyaan besar. Sejauh mana implementasi revisi UU Perkawinan itu di masyarakat?” tanya dokter Sandra.

Dari sisi kesehatan, meskipun angka kematian perempuan karena covid-19 lebih rendah tetapi perempuan sangat terdampak karena kerja-kerja perawatan banyak dilimpahkan pada perempuan. Peran perawatan anak dan kerja domestik lainnya hanya dilimpahkan pada perempuan sehingga menambah beban fisik dan mental perempuan. Beban perempuan bertambah karena harus menambah penghasilan selama pandemi dan menjalankan kerja perawatan di rumah atau merawat keluarga yang terkena covid-19.

Ada 3 hambatan di sektor kesehatan, menurut dokter Sandra. Pertama, sulitnya perempuan mengakses layanan kesehatan reproduksi selama pandemi, juga layanan kesehatan mental mengingat beban mental berlapis yang dialami selama pandemi. Kedua, tidak diakomodirnya kebutuhan tenaga medis perempuan, seperti cuti menstruasi selama bertugas. Ketiga, abainya pemerintah pada kelompok-kelompok marginal seperti disabilitas, lansia dan anak-anak.

Isu ketenagakerjaan perempuan. Data dari Kementerian Tenaga Kerja menyebutkan lebih dari 600 ribu pekerja perempuan dirumahkan selama pandemi ini. Selain itu, banyak pekerjaan yang dilimpahkan pada perempuan tidak bisa dionlinekan, antara lain: Pekerja Rumah Tangga (PRT).

Isu terakhir adalah lingkungan dan bencana. Data dari OXFAM saat melakukan survei Tsunami tahun 2004 menyatakan bahwa perempuan 4 kali lebih rentan meninggal dalam bencana. Hal ini disebabkan: 1) perempuan tidak diberi ketrampilan penyelamatan diri seperti berenang dan memanjat pohon; 2) beban domestik perempuan mempengaruhi pertimbangan perempuan saat evakuasi; 3) budaya yang mengungkung perempuan memperlambat dan menghambat proses evakuasi, contoh menunggu ijin suani, pakaian yang menyulitkan ruang gerak; 4) perempuan rentan mengalami kekerasan seksual selama di pengungsian dan kesulitan mengakses layanan kesehatan reproduksi; dan 5) perempuan sering kekurangan gizi karena mengorbankan makanannya untuk keluarga lain.  

“Nah, banyaknya dampak langsung yang dialami perempuan akibat pandemi dan bencana di periode 2019-2024 ini bisa menjadi pedang bermata dua. Satu sisi dia bisa menjadi pemicu bagi partisipasi perempuan dalam pemilu namun bisa juga menjadi faktor penghambat partisipasi perempuan dalam pemilu 2024,” tuturnya.

Menurutnya, karena perempuan adalah kelompok yang terdampak maka bisa menyadari bahwa banyak kebijakan yang tidak sensitif gender yang semakin terpampang nyata selama pandemi dan bencana. Pengalaman pribadi akan mampu membentuk perspektif dan menggerakkan perempuan menjadi agen perubahan sekaligus juga bisa menjadi penghambat perubahan.

“Semoga pandemi segera berlalu, karena jika perempuan terus menerus disibukkan dengan urusan domestik maka urusan publik diambil alih laki-laki. Pandemi dan bencana yang tak tertangani dengan baik juga akan menghilangkan kepercayaan masyarakat pada pemerintah dan politikus termasuk yang perempuan. Ketidakmampuan perwakilan perempuan menyentuh isu-isu sosial pada masyarakat kecil dan marjinal ini pada ujungnya akan menghilangkan kepercayaan masyarakat dan menghambat partisipasi mereka dalam pemilu 2024 nanti,” tegasnya.

Terakhir, dokter Sandra menyampaikan harapannya di Pemilu 2024 nanti akan tercapai kuota perwakilan perempuan di parlemen. Dan para perempuan yang duduk di parlemen nantinya mempunyai perspektif gender dan berpihak pada rakyat kecil sehingga mampu membentuk kebijakan-kebijakan yang sensitif gender.***

Humaira

0Shares
×

Salam Sejahtera

× Hai