4 Oktober 2024

Sekolah Gender: Tanah adalah Mama bagi Rakyat Papua

0Shares

Dewan Pimpinan Pusat Aksi Perempuan Indonesia Kartini (DPP API Kartini) menyelenggarakan Sekolah Gender bertema: Tanah adalah Mama bagi Rakyat Papua di zoom meeting dan disiarkan secara langsung di facebook @apikartinikita pada Sabtu, 30 Januari 2021.

Sekolah Gender menampilkan 3 (tiga)  narasumber, yaitu: Siska Rike Solossa, Yosepina Kareth, dan Fen Budiman. Sedangkan yang bertindak selaku moderator adalah Desta Nur Khoiriyah.

Siska R Solossa sebagai pembicara pertama menyampaikan bahwa di Papua budaya patriarki sangat kuat dan berakar dalam aspek ekonomi, tradisi dan produksinya. Rata-rata perempuan di Papua selama ini bertugas sebagai istri, ibu dan peladang di kebun.

Budaya patriarki ini masih sangat kuat dalam sistem keluarga dan sistem adat. Dalam sistem keluarga laki-laki memegang kontrol penuh. Sehingga dalam penjualan asset keluarga laki-laki-lah yang memegang kendali. Demikian pula dalam sistem adat, laki-laki memegang peranan sangat penting sehingga dalam rapat-rapat adat biasanya yang di dengar adalah suara laki-laki. Dampak dari kuatnya budaya patriarki ini adalah banyaknya kasus kekerasan dalam rumah tangga di masyarakat Papua.

“Sebenarnya banyak perempuan yang sudah andil di dalam masyarakat tetapi mereka tidak diberi kesempatan untuk menunjukkan perannya. Sehingga mereka tidak bisa menyampaikan suara, tidak mempunyai kontrol atas hidup dan masa depan. Oleh karena itu pendidikan bagi perempuan menjadi sangat penting,” tutur Siska.

Fen Budiman selaku perwakilan DPP API Kartini menyoroti bahwa negara harus menghormati dan menjaga kepercayaan masyarakat Papua yang menganggap bahwa tanah adalah mama. Dalam konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat 2 disebutkan bahwa: ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

Fen menyitir cuplikan sebuah lagu karya Doddie Latuharhary berjudul Tanah Papua: ‘Tanah Papua tanah yang kaya, Surga kecil jatuh ke bumi.’ Lagu tersebut menggambarkan bahwa tanah Papua kaya akan sumber daya alam dan keragaman hayati.

Namun, Fen menyayangkan selama ini telah terjadi eksploitasi tanah dan sumber daya alam di Papua yang meminggirkan masyarakat Papua dan masyarakat adat untuk mengolah dan mempertahankan sumber kehidupannya. Selain budaya patriarki, Fen melihat adanya corak eksploitasi kapitalisme yang sangat kental. Negara justru melakukan komodifikasi tanah kepada korporasi yang menguntungkan segelintir elit tanpa memperhatikan kepentingan rakyat maupun perempuan.

Yosepina Kareth meninjau dari aspek ekofeminisme. Tanah menurut orang asli Papua adalah suatu lahan, air dan ruang yang berada di atas tempat tertentu yang sudah diwariskan secara turun temurun oleh satu garis keturunan untuk mengelola agar dapat menghidupi kehidupan secara berkelanjutan berdasarkan hak adat.

Rakyat Papua, menurut Yosepina adalah orang yang berasal dari rumpun Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli Papua dan/atau yang diterima dan diakui sebagai orang asli papua oleh masyarakat hukum adat Papua (Deda & Mofu, 2014).

Ada relasi kuat antara manusia dan tanah. Dimana manusia dianggap berasal dari debu tanah, hidup dari tanah, mempunyai air dan darah, sehingga manusia adalah raja tanah dan mama adalah penjaga tanah. Sedangkan konsep tanah mengandung makna tanah adalah tempat manusia hidup, tempat bagi penghayatan karya Tuhan.

Sedemikian penting konsep tanah ini sehingga Yosepina menjelaskan bahwa tanah adalah aspek penting dalam kehidupan seorang Mama. Seorang Mama mampu membuka lahan dan mengelola tanah untuk kelangsungan hidup dalam keluarga. Tanah dan Mama adalah sumber dan pusat kehidupan kedua. Mama adalah tanah dan tanah adalah Mama.

Ekofeminisme memandang bahwa perempuan secara kultural dikaitkan dengan alam, seperti gunung-gunung seperti payudara, sungai itu air susu dan hutan serta pepohonan itu busananya.

“Mama juga menjaga gunung sebagai payudaranya. Sungai sebagai air susu, dan hutan sebagai pohon sebagai busana agar tidak diperkosa dan dikuasai oleh para pria. Dalam konsep ini, Mama selalu menjaga tanah karena menganggap tanah adalah dirinya dan tubuhnya sendiri. Jarang sekali ditemukan seorang Mama menjual tanah daripada menjaga dan mengelola untuk menghidupi keluarga dan anak-anaknya,” lanjut Yosepina.

Gerakan ekofeminisme menurut Carolyn Merchant dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu:

Pertama, Socialist Ecofeminism adalah gerakan transformasi untuk menciptakan dunia yang adil dan lestari. Dasar material dari semua kehidupan dan bahwa makanan, pakaian, tempat tinggal, dan energi yang sangat penting untuk pemeliharaan kehidupan manusia bukan sifat yang alamiah.

Kedua, Culture Ecofeminism; menganalisis masalah lingkungan dan kritiknya terhadap patriarki dan menawarkan alternatif yang dapat membebaskan perempuan dan alam. Perempuan adalah sejarah budaya yang lebih dekat dengan alam karena fisiologi mereka, peran sosial dan psikologi.

Ketiga, Sprititual Ecofemism; pandangan ini kerap menarik analogi dari peran perempuan dalam produksi biologis dan peran ibu pertiwi sebagai pemberi kehidupan dan pencipta segala sesuatu yang ada. Mereka meyakini bahwa kebudayaan memandang alam dengan saklral. Ekofeminisme sprititual berargumen bahwa ada hubungan yang dekat antara lingkungan dengan keyakinan bahwa Tuhan memberikan manusia kekuasaan atas bumi.

“Fakta sekarang, masyarakat Papua kurang memahami makna tanah sebagai Mama. Mereka hanya mengetahui sebatas tanah sebagai Mama tetapi tidak dengan makna dibaliknya, sehingga banyak masyarakat Papua yang dapat memperjualbelikan hak ulayat yang telah melekat dan turun temurun.”

Masyarakat Papua telah mengalami akulturasi budaya, sehingga masyarakat Papua bukan lagi masyarakat asli yang masih memegang nilai-nilai tradisional. Lahan yang dimiliki tidak sepenuhnya dapat mensejahterakan kehidupan masyarakat karena perubahan iklim yang tidak dapat diperkirakan menyebabkan panen menjadi terhambat akibat curah hujan yang tinggi atau gagal panen karena musim kemarau.

“Kebijakan pemerintah banyak yang justru menggadaikan hak ulayat masyarakat Papua sehingga tanah bukan lagi sebagai Mama yang patut dijaga,” pungkas Yosepina. (*)

Indah Pratiwi

0Shares
×

Salam Sejahtera

× Hai