Oleh: Ence Adinda Dianasta Almas
Terdapat satu hari dimana orang-orang yang membicarakan isu perempuan menjadi sorotan perhatian dunia. Hari dimana pencapaian dan kontribusi perempuan dalam menciptakan dunia yang setara untuk laki-laki dan perempuan baik dalam politik, budaya, pendidikan, sosial dan ekononomi diperingati secara global. Cita-cita untuk mencapai dunia yang bebas dari stereotip, prasangka, dan kekerasan, terbungkus rapih dalam agenda gerakan perempuan progresif yang diperingati setiap 8 Maret.
Namun karena situasi pandemi Covid-19, tahun 2021 menjadi tahun yang cukup unik. Peringatan tersebut terkonsentrasi di dunia digital, terutama melalui media sosial. Sehingga publikasinya pun lebih masif dari sebelumnya. Jutaan mata yang tertuju ke layar smartphone di setiap waktu setidaknya sempat menyaksikan, mengetahui, bahkan turut meramaikan agenda 8 Maret sebagai peringatan Hari Perempuan Internasional.
Namun adakah yang terlupa oleh kita?
Sebuah foto yang mengabadikan momen terbaik diri kita yang sedang turut serta dalam aksi sembari memegang poster khas aktivis perempuan bertuliskan “Create an equal world for all” tidak lupa kita posting di Instagram pada hari tersebut. Dilengkapi pula dengan caption yang mutakhir, megah nan puitis. Semakin banyak yang menyukai unggahan tersebut, semakin bahagia yang kita rasakan. Selamat! Kita berhasil membuka mata dunia – setidaknya followers kita – bahwa kita adalah pribadi yang progresif dan terlibat aktif dalam suatu gerakan besar nan penting. Itu adalah suatu langkah yang baik bagi gerakan ini, bukan?
Namun, benarkah itu tujuan utama kita sebagai aktivis perempuan? Atau kita hanya sedang lupa dan terbawa euphoria? Sudahkah followers kita memahami bahwa jutaan perempuan di luar sana, bahkan di sekitar kita sedang menjadi korban ketidakadilan dan terbungkam? Siapa yang seharusnya di hari itu menjadi sorotan dunia? Eksistensi kita sebagai aktivis ataukah perempuan-perempuan yang penderitaan dan suaranya dikubur dalam-dalam? Jadi selama ini, untuk siapa sebenarnya kita bersuara?
Siang itu matahari sedang terik-teriknya ketika aku sedang membersihkan rumah. Sayup-sayup terdengar suara pedagang lewat depan rumah, “sayur matang… sayur matang… sepuluh ribuan..”, kebetulan ini jam makan siang. Aku langsung menuju ke depan, ternyata itu suara dari tiga gadis kecil yang mungkin berusia 8, 10, dan 12 tahun kalau boleh aku menerka-nerka. Mereka membawa kantong plastik berisikan aneka sayur dan lauk-pauk. Kuputuskan untuk membeli beberapa untuk makan siang. Mereka tampak antusias membungkuskan pesanan dan menyiapkan kembalian.
Entah sudah berapa lama mereka berjalan di terik siang menjajakan dagangan, cukup tampak dari keringat dan pakaian mereka yang mulai kumal. Sambil lalu aku berpikir, kira-kira kondisi apa yang membuat anak sekecil itu harus ikut membantu perekonomian keluarga? Aku yakin dan sadari bahwa fakta ini hanya secuil dari sekian banyak kondisi yang dihadapi oleh kaum perempuan dari berbagai kelas dan usia di sekitar kita.
Sekarang mari kita instrospeksi diri bersama. Pada peringatan Hari Perempuan Internasional ini, kita – yang dikenal/memperkenalkan diri sebagai aktivis – apakah lebih sering mengedukasi masyarakat dengan mengangkat permasalahan perempuan ke permukaan, atau justru kitalah yang tampil di atas panggung sebagai pemeran utama? Di masa pandemi ini, gadis-gadis kecil yang seharusnya berada di rumah dan mengikuti kelas secara online atau mungkin sekedar bermain di rumah, malah harus berkeliling menjajakan dagangan hingga – setidaknya – siang hari. Bahkan mereka tidak sempat memikirkan bagaimana jika kulit mereka gosong? Gadis-gadis tersebut – beserta keluarganya – tidak memiliki “hak istimewa” untuk bisa memikirkan hal seperti itu.
Tanpa mengurangi rasa hormat, apa yang ingin aku sampaikan – ingatkan – adalah bahwa orang-orang sudah cukup menyaksikan kilauan kita di media sosial sebagai aktivis. Aku juga tidak begitu mengerti bagaimana kita saat ini berada pada situasi dimana kita sangat antusias untuk mendapatkan pengakuan sebagai pejuang keadilan. Namun, justru buta dan tuli ketika ketidakadilan sedang terjadi.
Kita sibuk untuk menampakkan eksistensi diri kita sebagai pelaku kampanye keadilan, namun justru lupa untuk mengusung apa yang sebenarnya kita perjuangkan. Sebaliknya, yang kita perlukan saat ini adalah individu-individu yang secara sadar, konsisten, dan gigih untuk mengangkat realitas perempuan yang masih terbelenggu dalam ketidakadilan tersebut ke permukaan agar masyarakat benar-benar melihat dan memahami bagaimana sebenarnya dunia yang kita tinggali ini.
Perlu kita sadari bahwa kita belum sampai pada kesetaraan kesempatan dan kedudukan yang diharapkan. Masih banyak kita temui kasus kekerasan terhadap perempuan di luar sana. Jutaan perempuan yang terjebak dengan suaminya yang abusif, gadis dan remaja yang terpaksa/dipaksa untuk menikahi pemerkosanya, hingga karyawati yang dilecehkan oleh atasannya sedang berusaha mencari dan mengharapkan bantuan dari kita yang mengaku memiliki kepedulian.
Jika kamu ingin menciptakan dunia yang lebih baik, kemudian memutuskan untuk terlibat dalam gerakan perempuan, maka kamu berada jalur yang tepat. Jika hati dan pikiranmu tergerak saat melihat banyak perempuan yang menjadi korban ketidakadilan, kemudian kamu memutuskan untuk mendukung gerakan perempuan, maka kamu berada di jalur yang benar.
Hari Perempuan Internasional seharusnya bukan menjadi ajang glamorisasi diri kita di tengah situasi ketidakadilan terhadap perempuan. Malahan seharusnya ini menjadi momen evaluasi dan proyeksi atas gerakan yang telah kita lakukan dan mempersiapkan rencana ke depan. Dunia ini mengaharapkan aksi yang konkrit dan realistis untuk memperjuangkan mereka yang terbungkam.
Aku berani untuk memulainya, dan aku harap kamu juga.
*Penulis adalah Dosen Universitas Muhammadiyah Malang
Terkait
Orde Baru dan Depolitisasi Perempuan
Peringatan 16 HAKTP 2024
Meretas Jalan Pendidikan Murah dan Berkualitas